Senin, 21 September 2015

Mencoba untuk Setia


Bertahan untuk setia kepada pasangan adalah salah satu bagian yang paling sulit dalam hidup perkawinan. Mengapa?
Perjalanan relasi suami-istri, diawali dengan relasi romantis (pada masa pacaran). Saat-saat awal ini menjadi saat yang begitu manis, karena di sini, perasaan lah yang bermain. Rasa jatuh cinta dialami sebagai sebuah perasaan yang intens, membangkitkan semangat, dan membuat jantung berdegup. Rasa jatuh cinta yang begitu kuat, membuat masing-masing berusaha memberikan yang terbaik, menyenangkan partnernya. Pengenalan pribadi satu sama lain juga masih pada permukaan, sehingga masih ada rasa sungkan terhadap partner, sungkan untuk berbicara dan berbuat seenaknya. Prioritas masih pada menjaga perasaan partner, demi lanjutnya relasi.
Selanjutnya, semakin lama relasi berlangsung, kedua pribadi menjadi semakin terbiasa dengan relasi ini. Bahwa “Ia adalah pacarku,” atau “Ia adalah suami/istriku,” menjadi hal yang biasa. ‘Kondisi terbiasa’ itu memang membuat kita merasa semakin nyaman untuk membuka diri lebih, membuat kita nyaman untuk menampilkan diri apa adanya, karena kedudukan kita sebagai pacar/pasangan semakin kokoh, kita semakin punya perasaan percaya diri dalam relasi itu, tidak terlalu mengkhawatirkan relasi itu, tidak terlalu ambil pusing dengan relasi itu. Akan tetapi, di sisi lain, ‘kondisi terbiasa’ ini juga menjadi saat di mana kita merasakan semua hal yang manis itu mulai berkurang, karena perasaan jatuh cinta yang begitu kuat dan menggebu-gebu di awal relasi, seolah mereda, menjadi tenang dan datar-datar saja. Kita menyadari bahwa saat ini, pacar/pasangan kita menjadi seperti sahabat, atau seperti saudara kandung kita.
Perilaku apa adanya (seringkali juga seenaknya) yang semakin ditunjukkan pasangan kita, ditambah dengan menjadi tenangnya perasaan jatuh cinta karena keterbiasaan, membuat kita merasa bahwa relasi tidak lagi begitu manis, dan membuat kita merasa kecewa. “Kok ternyata hanya begini?” Apalagi ketika kita sudah menempuh hidup berkeluarga, kita masing-masing akan tenggelam dalam kesibukan peran kita, sebagai ayah yang mencari nafkah, sebagai ibu yang mengurus pekerjaan rumah tangga. Kita berpikir bahwa pasangan kita telah menurunkan kualitasnya sebagai partner (alias berubah, tak lagi seperti dulu), dan mudah bagi kita melihat orang lain lebih baik daripada pasangan kita. 
Kehidupan sebuah relasi, cepat atau lambat, pasti akan sampai pada keadaan “terbiasa” ini. Relasi pria dan wanita, yang pada awalnya bersifat romantis, semakin lama berubah bentuk menjadi relasi persahabatan/persaudaraan. Di sini, kita menghadapi tantangan itu. Dalam keadaan yang menjadi biasa-biasa ini, kita menginginkan relasi yang ‘lebih.’ Perasaan jatuh cinta yang menggebu-gebu memang luar biasa, dan pengalaman ini menggoda kita untuk mencarinya lagi. Akan tetapi, dengan menyadari bahwa semuanya akan berujung sama, yaitu kondisi “keterbiasaan,” kita bisa lebih bijaksana menyikapi godaan ketidaksetiaan itu.
Kita harus ingat, bahwa semua orang, akan tampak begitu baik di awal relasi, karena masih ada perasaan sungkan. Orang lain juga tampak begitu menarik ketika masih banyak dari kepribadian mereka yang menjadi misteri buat kita. Akan tetapi, semua daya tarik itu menjadi semakin meredup seiring dengan waktu, seiring dengan proses kita semakin mengenal mereka. Semua relasi, akan sampai pada kondisi ‘terbiasa.’ Jadi, untuk apa kita mencoba terjun ke dalam relasi lain, toh nantinya akan berujung sama?
Sesungguhnya, mencintai tidak hanya dilakukan dengan mengandalkan perasaan (hati), melainkan juga dengan akal budi. Jatuh cinta, sebagai perasaan, memang sangat menyenangkan. Akan tetapi, perasaan itu sendiri (sama seperti perasaan lain-lainnya) naik dan turun. Jadi, manakala perasaan cinta itu hilang, kita masih punya akal budi untuk tetap bertahan pada pasangan kita. Saat kita tidak bisa mencintai dengan perasaan, kita masih bisa mencintai dengan akal budi dan kehendak kita. Jangan hanya bergantung pada perasaan. Bertahanlah dengan pikiran dan kehendak yang kuat, dan pada saatnya perasaan itu akan hidup lagi. Ingat, perasaan memang selalu naik-turun.
Kita mungkin mudah tertarik kepada orang lain, atau bahkan jatuh cinta. Itu semua wajar, sangat wajar. Yang penting adalah bagaimana kita tetap mengarahkan hati kita dengan pikiran dan kehendak kita. Dan kita tidak sendirian berjuang, kita selalu bisa minta tolong kepada Tuhan yang akan menguatkan niat kita selalu.

“The truth is that the more intimately you know someone, the more clearly you’ll see their flaws. That’s just the way it is. You might think you love someone until you see the way they act when they’re out of money, or under pressure, or hungry, for goodness’ sake. Love is choosing to serve someone and be with someone in spite of their filthy heart. Love is patient and kind, love is deliberate. Love is hard. Love is pain and sacrifice, it’s seeing the darkness in another person and defying the impulse to jump ship.” (NN)

Kenyataannya, semakin kita mengenal seseorang, semakin jelas kita melihat kekurangan yang ada pada diri mereka. Memang begitu. Kau mungkin berpikir bahwa kau mencintai dia, sampai kau melihatnya bertindak ketika sedang kehabisan uang, ketika dia sedang stress (dalam tekanan), ketika dia sedang lapar. Cinta adalah memilih untuk melayani seseorang, dan untuk tetap bersama dengan seseorang meskipun ia memiliki hati yang ‘kotor’. Cinta itu sabar dan baik hati, cinta itu merupakan sebuah niat. Mencintai itu berat. Mencintai itu menyakitkan dan menuntut pengorbanan diri. Cinta itu melihat sisi gelap orang lain, dan menepis godaan untuk ‘loncat berpindah’. 


“This is the meaning of true love : to give until it hurts.” (Mother Theresa)
Arti cinta sejati adalah : memberi sampai sakit.

Rabu, 19 Agustus 2015

Mempertahankan Ikatan Perkawinan

Tak peduli seberapa lama pacaran, maupun seberapa lama usia pernikahan, mempertahankan relasi suami-istri adalah suatu hal yang sungguh sulit. Ada pernikahan yang kandas ketika usianya baru seumur jagung, tapi ada juga pernikahan yang kandas justru sesudah bertahun-tahun sukses melewati badai dan rintangan. Ada pasangan yang hancur pernikahannya karena masa sulit, tapi ada juga pasangan yang justru hancur relasinya pada masa sukses mereka.
Mempertahankan relasi suami-istri selalu membutuhkan komitmen, perjuangan, dan pengorbanan. Relasi akan terus mengalami naik-turun, masa bahagia dan masa sulit. Saya hanya ingin membagikan apa yang selama ini berusaha saya camkan dalam pikiran saya pada saat harus berjuang mempertahankan relasi perkawinan saya. Hanya 2 hal, dan tentu saja mudah untuk diingat.

1. Rasa cinta tidak terpisah dari rasa benci, dan sebaliknya, rasa benci tidak terpisah dari rasa cinta.
Jangan bertanya, apakah perasaan kita terhadap seseorang adalah benci, atau cinta. Itu adalah sebuah pertanyaan konyol, karena rasa benci dan rasa cinta terletak dalam satu garis, satu benang, dengan benci di ujung kiri dan cinta di ujung kanannya. Perasaan kita terhadap seseorang yang kita alami selama sebuah relasi, akan selalu berjalan-jalan di antara dua ujung itu.

2. Jangan katakan, atau lakukan sesuatu yang tolol, yang berpotensi berdampak jangka panjang pada saat kita sedang berada di ujung benci. Kata-kata tertentu berpotensi melekat dalam pikiran pasangan kita seumur hidupnya, dan tindakan tertentu berpotensi mengubah keadaan secara permanen.
Contoh :
Jangan katakan : "Aku ingin cerai," "Aku menyesal menikah denganmu."
Jangan lakukan : selingkuh, mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, membunuh, atau tindakan kriminal lainnya :p

Mempertahankan relasi suami-istri berarti mengalahkan rasa cinta kita terhadap diri sendiri, dan itu hanya mungkin kita lakukan kalau kita memandangnya sebagai sebuah bentuk rasa tunduk kita kepada Tuhan. Kita berjuang, dan Tuhan takkan pernah lepas tangan  :)

Sabtu, 20 Desember 2014

Sesudah 'Ledakan' Itu

Bertengkar dengan anak, adalah hal yang biasa kita alami sehari-hari. Di sini lah sisi positif ibu rumah tangga terletak, yaitu kita lebih percaya diri untuk menegakkan batasan. Kita yakin dengan otoritas kita, dan kita tidak merasa bersalah saat melarang atau memarahi anak, karena kita tau bahwa anak kita sudah cukup merasa dicintai oleh kita.
Akan tetapi, di sisi lain, stress yang kita alami, menjadi sisi negatif yang membuat kita lebih berisiko untuk 'mudah meledak'. Rasa lelah yang bertumpuk-tumpuk karena pekerjaan yang tiada habisnya, rasa jengkel karena begitu pendeknya waktu pribadi kita, rasa jenuh karena terbatasnya relasi dan komunikasi kita dengan orang dewasa lain, itu semua menjadi sumber stress yang sering kita sendiri kurang menyadarinya. Kita tidak menyadari bahwa stress itu perlahan-lahan tertimbun dan heran mengapa tiba-tiba suatu saat kita merasa bad mood, begitu suntuk dan mudah tersulut emosi.
Ledakan emosi menjadi bagian yang tak terelakkan dalam mengasuh anak, dan semua orangtua melakukan kesalahan ini, termasuk ibu terbaik sekalipun. Lantas, pertanyaannya, bagaimana efeknya untuk anak? Ledakan emosi ini otomatis diikuti oleh rasa bersalah, dan kita khawatir anak mengalami imbas negatif dari perilaku kita yang buruk itu.
Adalah baik bagi anak untuk mengalami sisi kemanusiaan dari diri kita, yaitu bahwa kita, sebagai orangtua, tetaplah manusia biasa yang punya kelemahan. Akan tetapi, ada hal lain yang perlu dilakukan untuk mencegah efek negatif terhadap relasi anak-orangtua, yaitu berdamai dengan anak.

Segeralah berdamai dgn anak. Hal ini penting agar anak nantinya bisa memahami bhw cinta dan benci adalah perasaan-perasaan yg sama dalam satu tali/garis, dgn cinta di ujung satunya dan benci di ujung satunya lagi. Dalam sebuah relasi, kita berjalan-jalan di antara ujung2 itu, kadang kita merasa sangat sayang, tapi kadang kita merasa marah dan benci. Tapi, benci tetap tidak terpisah dengan cinta.

Berdamai tidak berarti kita menuruti kemauan anak, tapi kita jelaskan bahwa yg dilakukan anak itu tidak baik, dan membuat kita marah. Mintalah agar anak meminta maaf kepada kita. Tapi kemudian kita juga meminta maaf atas perilaku kita (yg 'meledak') dan membuat anak takut. Khusus untuk teriakan, menurut saya pribadi, tidak perlu kita meminta maaf, karena teriakan adalah salah satu cara menunjukkan keseriusan/ketegasan kita dalam memberi batasan kepada anak. Akhiri dengan pelukan.

Penegakan batasan, memang menjadi bagian tersulit dalam mengasuh anak. Namun ada prinsip yang bisa memperlancar proses setting limits ini.
1. Kasih, otonomi, dan batasan, harus dlm porsi seimbang. Semakin kita ingin meningkatkan dan mempertegas batasan, semakin kita harus meluangkan waktu untuk membuat anak merasa dicintai. Selain hal ini membuat efektif setting limits, ini juga bertujuan agar kita tidak merasa bersalah saat bertindak tegas kepada anak.
2. Beri cukup warning kepada anak sebelum kita 'meledak.' Tingkatkan volume suara dan ekspresi wajah. (Ayo, coba latihan dari level 1-10 ). Ini penting agar anak merasa aman karena merasa bahwa dia bisa memprediksi tindakan kita. Bayangkan kalau kita hanya memberi peringatan halus (level 1), kemudian tiba-tiba loncat ke level 10 (teriakan super keras dgn tindakan kasar menyeret anak), pasti anak akan terkejut dan sangat takut.

Batasan harus ditegakkan, karena tanpa batasan, anak justru akan merasa ketakutan dan tidak aman, karena dia tidak tahu sejauh mana dirinya akan sampai jika tidak ada orang lain yang memasang 'pagar' itu. Sebagai contoh, jika kita memperingatkan anak saat anak mulai bertindak agresif menyakiti adiknya, dia justru akan merasa aman karena tahu bahwa rasa marahnya tidak akan berlanjut sampai pada tingkat yang membahayakan keselamatan adiknya, yang tentu saja akan ia sesali.

Kadang saya berpikir bahwa mendidik anak adalah bagaikan mengendalikan kuda delman. Kita bertanggung jawab untuk mengarahkan, menjaga agar anak kita tidak salah jalan, dan itu tentu saja bukan tugas ringan. Setiap hari adalah perjuangan. Tapi inilah tugas mulia yang diberikan Tuhan, dan pasti kita akan mampu melakukannya. :)

Rabu, 17 September 2014

PR untuk Ibu

Setiap tahap perkembangan membutuhkan stimulasi dan bentuk dukungan khusus. Berikut akan dibahas apa saja dukungan yang perlu diberikan untuk mendukung tiap tahap perkembangan emosi anak berdasarkan teori Stanley I. Greenspan, M.D. (Cukup panjang dan membosankan untuk dibaca ya... hehe.. tapi inilah PR kita. Semangat!)

 0-3 bulan

Membantu bayi :

1.   Bereaksi terhadap stimulus-stimulus sensorik
Yaitu dengan memberikan beraneka stimulus :
Stimulus suara : mengajak bicara, membunyikan mainan-mainan yg berbunyi.
Stimulus visual : memberikan mainan berwarna-warni, menunjukkan ekspresi wajah
Stimulus sentuhan : memberikan boneka berbulu halus
Stimulus gerak di udara : mengayun-ayun bayi

2.   Mengatasi over-excitability (untuk bayi yang terlalu sensitif)
Dilakukan dengan secara bertahap memberikan stimulus yang membuat bayi merasa kurang nyaman, dimulai dari intensitas yang bayi merasa nyaman dengannya, kemudian ditingkatkan perlahan-lahan sampai pada intensitas yang bayi merasa tidak nyaman. Latih bayi untuk tetap tenang dan ‘tidak kacau’ menghadapi stimulus-stimulus tersebut. Contoh : memberikan musik yang sangat lembut, kemudian diperkeras suaranya, atau diganti jenisnya ke musik-musik yang beritme cepat.

3.   Mengatasi under-arousal (untuk bayi yang hiposensitif)
Menyajikan stimulus-stimulus yang menarik bagi bayi, yang bisa menarik perhatian bayi, contoh : berbicara dengan suara yang lebih bersemangat, memberikan mainan yang berwarna mencolok.

4.   Menggunakan indera yang lemah
Dilakukan dengan memberikan stimulus yang bayi mempunyai penerimaan lemah terhadap stimulus tersebut bersamaan dengan stimulus yang bayi mempunyai penerimaan baik terhadapnya. Contoh : bayi yang lemah dalam penggunaan indera telinga, distimulasi dengan memberikan stimulus suara bersamaan dengan stimulus visual (yang lebih disukainya), sehingga sambil berbicara kita menunjukkan benda-benda atau gambar.

2-7 bulan

Membantu bayi :
1.   Membentuk relasi dengan Anda
Yaitu dengan cara :
  • Menunjukkan sikap hangat dan menarik. Berikan bahasa-bahasa kasih, senyuman, pelukan, ciuman.
  • Membuat bayi merasa nyaman saat mengalami kehadiran Anda.
2.   Bereaksi terhadap sapaan Anda
  • Menyapa bayi dengan stimulus-stimulus yang membuatnya merasa nyaman (sesuaikan dengan sifatnya yang hipersensitif atau hiposensitif). Tepat sebelum bayi merasa bosan, segera ganti aktivitas ‘menyapa’ ini. Jangan terlalu lama menstimulasi bayi. Bayi butuh saat-saat relaks, dan dia menikmati kebersamaan dengan Anda dalam saat-saat relaks ini juga, jadi cukup Anda hadir di sana menemani dia. Dia butuh saat-saat santai namun dengan rasa aman bahwa Anda ada di dekatnya. “Simply relaxing together.”
Jika bayi menunjukkan rasa marah terhadap stimulasi, tetaplah tenang dan jangan menyalahkan diri sendiri. Berusahalah untuk menyapa dia dengan bahasa-bahasa kasih sambil mencari-cari jenis stimulasi yang disukainya.

3-10 bulan

Membantu bayi :
1.   Berinteraksi timbal balik
Hal yang bisa dilakukan :
  • Tarik perhatian bayi
  • Cari gerakan apa yang bisa dilakukan bayi Anda dan lakukan itu agar ia bisa mengikuti/mencontoh Anda (misal : tersenyum, memegang pipi).

2.   Mengalami emosi-emosi
Cobalah merespon ekspresi emosi bayi secara simpatik.
Berikut ini adalah jenis-jenis emosi yang cenderung ditunjukkan bayi :
  • Rasa ingin tahu
  • Rasa tergantung (keinginan manja)
  • Rasa sayang
  • Rasa marah
Berikan kesempatan kepada bayi untuk mengekspresikan emosi-emosi itu dan berhati-hatilah untuk tidak menunjukkan penolakan ekstrim terhadap salah satu jenis emosi tertentu supaya tidak menghambat perkembangan area emosinya. (Orangtua yang membentak anak saat anak menunjukkan rasa marah, akan membuat anak menganggap bahwa marah adalah emosi yang tidak baik yang harus dilenyapkan/ditekan sesegera mungkin).

3.   Melakukan aktivitas yang melibatkan beberapa fungsi indra.
Contoh : main cilukba (melibatkan mata, telinga, gerak).


9-18 bulan

Membantu bayi :
1.   Mengorganisir emosi dan perilakunya
Dengan cara :
  • Mengajak beraktivitas sesuai moodnya.
  • Merespon perilakunya yang memberikan sinyal-sinyal emosi untuk kita (perilaku yang mengekspresikan emosinya).

2.   Menjadi tetap terkendali saat mengalami emosi-emosi.
Dengan cara :
  • Membacakan emosi bayi. Contoh “Kamu marah ya…”
  • Mengajarkan cara ekspresi emosi yang lebih tepat. Contoh : “Ayo, jangan menangis, coba tunjukkan mana yang kamu mau.”
  • Saat bayi menjadi kacau, ajak ia berpaling ke aktivitas yang membuat dia merasa senang dan tenang lagi, sambil memberikan sikap hangat dan menenangkan (yang membuat dia merasa aman).

3.   Memahami fungsi benda-benda
Tunjukkan berbagai benda dan fungsinya, cara memakai/menggunakannya.

4.   Merasa tetap dekat dengan Anda walaupun berpisah jarak dengan Anda
Cobalah untuk pergi dari sisinya (misal : pergi ke ruang sebelah atau pergi beberapa meter darinya). Saat itu, pastikan Anda tetap berkomunikasi lewat tatapan mata, suara.
Tetap berikan waktu yang banyak untuk saling peluk. Ia butuh menyeimbangkan antara kebutuhannya akan kemandirian dan ketergantungan.

5.   Menghormati batasan/peraturan
Berikan beberapa peraturan, misal : larang dia untuk menuang air di lantai, makan di dalam kamar tidur, membuka roll tissue WC. Jangan langsung menjauhkan anak dari benda yang tidak boleh dipegang/dimainkannya, tapi katakan dulu “Kamu tidak boleh …”

Beri alternatif kepada anak untuk menyalurkan protesnya “Kamu tidak boleh memukul mama, tapi kamu bisa memukul bantal.”

6.   Mengembangkan kepribadian yang unik
  • Sering menghabiskan waktu bersama anak agar dia merasa berharga.
  • Mendukung dan mengagumi inisiatif anak.

Karena masa ini adalah tahap di mana anak mengembangkan sense of self-nya, maka hargai kemampuan-kemampuan barunya dan ikuti inisiatif anak.


18-36 bulan

Membantu anak :
1.   Mengkonstruksi ide
  • Bermain bersama anak, menunjukkan sikap antusias terhadap aktivitas yang sedang digemari anak.
  • Gunakan aktivitas yang sedang digemari anak untuk mengenalkan permainan pura-pura.
  • Bantu anak mengenal fungsi berbagai objek serta peran orang-orang.
  • Berikan kesempatan kepada anak untuk berfantasi, namun kemudian tegaskan tentang realita.

2.   Bersikap positif terhadap berbagai jenis emosi
  • Bermain pura-pura dengan melibatkan topik-topik emosi : kemarahan, kesedihan, kecemasan.
  • Membaca ekspresi emosi anak lewat perilakunya.
  • Mendiskusikan perasaan-perasaan anak dengan empati (penuh pemahaman).

3.   Menggunakan ide emosional ketika mengalami stress
Dilakukan dengan cara :
Terbiasa mengungkapkan perasaan lewat kata-kata, berbicara asertif. Saat memarahi anak, menjelaskan lewat kata-kata yang menggambarkan perasaan, tidak hanya langsung menghukum. Contoh : “Mama marah ketika kamu lempar dengan mainanmu”.

4.   Mengembangkan keunikan
  • Memberi ruang kepada sifat-sifat uniknya.
  • Memberi pujian secara personal tentang kelebihan uniknya. Contoh : “Mama suka rumah yang kamu buat.”  “Mama suka pilihan warnamu.”

5.   Menggunakan kata-kata untuk mendeskripsikan
Dukung anak untuk menguasai perbendaharaan kata yang banyak dengan rajin mengenalkan benda-benda.


30-48 bulan

Membantu anak :

1.   Memahami hubungan sebab-akibat
Dengan cara :
  • Membalas komunikasi anak, dan mengarahkan pembicaraan pada hal-hal yang logis.
  • Memberi kesempatan kepada anak untuk berinteraksi, bermain bersama teman-temannya.
  • Menemani anak bermain pura-pura, dengan mengikuti arahan cerita anak maupun menambah topik-topik cerita.

2.   Menggunakan ide-ide dalam cakupan wilayah emosi yang luas.
Perhatikan emosi-emosi apa yang membuat anak merasa tidak nyaman, misalnya :
  • Rasa kehilangan, perpisahan
  • Rasa marah dan keinginan agresif (menyerang, membalas orang lain)
  • Rasa ingin tahu tentang tubuh
  • Rasa tergantung pada orang lain, cinta dan intimacy.
  • Keinginan untuk mandiri
Bantu anak untuk menerima emosi-emosi itu dengan cara :
  • Mengajak bicara tentang perasaan-perasaannya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa.
  • Menjaga kondisi tetap terkendali dengan bereaksi tenang saat anak sedang kacau.

3.  Menggunakan fantasi namun tetap memahami realita, bisa membedakan fantasi dengan realita
Menerima dengan antusias fantasi yang diceritakan anak, namun di akhir, tetap menegaskan realita.

4.   Berelasi dalam lingkaran relasi 3 orang
Bantu anak membangun relasi seimbang dengan ayah dan ibunya. Dukung ia untuk dekat pada ibu maupun ayahnya.
Kadangkala, Anda boleh berada di pihak anak, bersekutu dengan anak, tapi biarkan anak tahu bahwa Anda tetap mencintai pasangan Anda. Izinkan juga anak bersekutu dengan pasangan Anda untuk ‘melawan’ Anda, tapi Anda segera menyambut anak kembali ketika ia ingin bersama Anda lagi. Anak perlu merasa aman karena mengetahui perseteruan, pertengkaran adalah hal yang wajar terjadi dan bersifat sementara saja, namun relasi cinta itu takkan pernah goyah. Anak perlu juga mengetahui bahwa ia tak akan bisa menggoyahkan hubungan cinta antara ayah-ibunya. Kestabilan relasi suami-istri adalah hal yang penting untuk memupuk rasa aman anak.

5.   Mencapai stabilitas emosi
  • Mengatasi perasaan kehilangan dan perpisahan
Bantu anak menjadi lebih mandiri dengan mengajak anak berinteraksi dan bersahabat dengan temannya.
Saat anak tidak mau berpisah, bantu ia untuk tenang, kemudian ajak bicara tentang perasaannya, kekhawatirannya. Ajak ia berpikir bahwa fantasi menakutkan yang dipikirkannya itu bukan realita.

  • Mengatasi perasaan marah dan agresif
Saat anak marah, tunjukkan empati lewat kata-kata, tapi tetap berikan batasan yang tegas terhadap perilakunya.
Jangan biarkan kemarahan anak membuat Anda kacau atau takut. Bantu anak untuk kembali tenang dan segera berdamai, menyambut anak saat ia selesai marah.

  • Mengelola perasaan ingin tahu tentang tubuh
Beri kesempatan kepada anak untuk menyalurkan rasa ingin tahunya, tapi jangan biarkan ia melebihi batas-batas privasi Anda dan orang-orang. Ajarkan ia untuk menghormati privasi orang lain.