Bertahan untuk setia kepada pasangan adalah salah satu bagian yang paling sulit dalam hidup perkawinan. Mengapa?
Perjalanan relasi
suami-istri, diawali dengan relasi romantis (pada masa pacaran). Saat-saat awal
ini menjadi saat yang begitu manis, karena di sini, perasaan lah yang bermain. Rasa
jatuh cinta dialami sebagai sebuah perasaan yang intens, membangkitkan
semangat, dan membuat jantung berdegup. Rasa jatuh cinta yang begitu kuat,
membuat masing-masing berusaha memberikan yang terbaik, menyenangkan
partnernya. Pengenalan pribadi satu sama lain juga masih pada permukaan,
sehingga masih ada rasa sungkan terhadap partner, sungkan untuk berbicara dan
berbuat seenaknya. Prioritas masih pada menjaga perasaan partner, demi
lanjutnya relasi.
Selanjutnya, semakin lama
relasi berlangsung, kedua pribadi menjadi semakin terbiasa dengan relasi ini.
Bahwa “Ia adalah pacarku,” atau “Ia adalah suami/istriku,” menjadi hal yang
biasa. ‘Kondisi terbiasa’ itu memang membuat kita merasa semakin nyaman untuk
membuka diri lebih, membuat kita nyaman untuk menampilkan diri apa adanya,
karena kedudukan kita sebagai pacar/pasangan semakin kokoh, kita semakin punya
perasaan percaya diri dalam relasi itu, tidak terlalu mengkhawatirkan relasi
itu, tidak terlalu ambil pusing dengan relasi itu. Akan tetapi, di sisi lain,
‘kondisi terbiasa’ ini juga menjadi saat di mana kita merasakan semua hal yang
manis itu mulai berkurang, karena perasaan jatuh cinta yang begitu kuat dan
menggebu-gebu di awal relasi, seolah mereda, menjadi tenang dan datar-datar
saja. Kita menyadari bahwa saat ini, pacar/pasangan kita menjadi seperti
sahabat, atau seperti saudara kandung kita.
Perilaku apa adanya
(seringkali juga seenaknya) yang semakin ditunjukkan pasangan kita, ditambah
dengan menjadi tenangnya perasaan jatuh cinta karena keterbiasaan, membuat kita
merasa bahwa relasi tidak lagi begitu manis, dan membuat kita merasa kecewa.
“Kok ternyata hanya begini?” Apalagi ketika kita sudah menempuh hidup
berkeluarga, kita masing-masing akan tenggelam dalam kesibukan peran kita,
sebagai ayah yang mencari nafkah, sebagai ibu yang mengurus pekerjaan rumah tangga.
Kita berpikir bahwa pasangan kita telah menurunkan kualitasnya sebagai partner
(alias berubah, tak lagi seperti dulu), dan mudah bagi kita melihat orang lain
lebih baik daripada pasangan kita.
Kehidupan
sebuah relasi, cepat atau lambat, pasti akan sampai pada keadaan “terbiasa”
ini. Relasi pria dan wanita, yang pada awalnya bersifat romantis, semakin lama
berubah bentuk menjadi relasi persahabatan/persaudaraan. Di sini, kita
menghadapi tantangan itu. Dalam keadaan yang menjadi biasa-biasa ini, kita
menginginkan relasi yang ‘lebih.’ Perasaan jatuh cinta yang menggebu-gebu
memang luar biasa, dan pengalaman ini menggoda kita untuk mencarinya lagi. Akan
tetapi, dengan menyadari bahwa semuanya akan berujung sama, yaitu kondisi
“keterbiasaan,” kita bisa lebih bijaksana menyikapi godaan ketidaksetiaan itu.
Kita harus ingat, bahwa
semua orang, akan tampak begitu baik di awal relasi, karena masih ada perasaan
sungkan. Orang lain juga tampak begitu menarik ketika masih banyak dari
kepribadian mereka yang menjadi misteri buat kita. Akan tetapi, semua daya
tarik itu menjadi semakin meredup seiring dengan waktu, seiring dengan proses
kita semakin mengenal mereka. Semua relasi, akan sampai pada kondisi
‘terbiasa.’ Jadi, untuk apa kita mencoba terjun ke dalam relasi lain, toh
nantinya akan berujung sama?
Sesungguhnya, mencintai tidak
hanya dilakukan dengan mengandalkan perasaan (hati), melainkan juga dengan akal
budi. Jatuh cinta, sebagai perasaan, memang sangat menyenangkan. Akan tetapi,
perasaan itu sendiri (sama seperti perasaan lain-lainnya) naik dan turun. Jadi,
manakala perasaan cinta itu hilang, kita masih punya akal budi untuk tetap
bertahan pada pasangan kita. Saat kita
tidak bisa mencintai dengan perasaan, kita masih bisa mencintai dengan akal
budi dan kehendak kita. Jangan hanya bergantung pada perasaan. Bertahanlah
dengan pikiran dan kehendak yang kuat, dan pada saatnya perasaan itu akan hidup
lagi. Ingat, perasaan memang selalu naik-turun.
Kita mungkin mudah tertarik
kepada orang lain, atau bahkan jatuh cinta. Itu semua wajar, sangat wajar. Yang
penting adalah bagaimana kita tetap mengarahkan hati kita dengan pikiran dan
kehendak kita. Dan kita tidak sendirian berjuang, kita selalu bisa minta tolong
kepada Tuhan yang akan menguatkan niat kita selalu.
“The truth is that the more intimately you know
someone, the more clearly you’ll see their flaws. That’s just the way it is.
You might think you love someone until you see the way they act when they’re
out of money, or under pressure, or hungry, for goodness’ sake. Love is
choosing to serve someone and be with someone in spite of their filthy heart.
Love is patient and kind, love is deliberate. Love is hard. Love is pain and
sacrifice, it’s seeing the darkness in another person and defying the impulse
to jump ship.” (NN)
Kenyataannya, semakin kita
mengenal seseorang, semakin jelas kita melihat kekurangan yang ada pada diri
mereka. Memang begitu. Kau mungkin berpikir bahwa kau mencintai dia, sampai kau
melihatnya bertindak ketika sedang kehabisan uang, ketika dia sedang stress
(dalam tekanan), ketika dia sedang lapar. Cinta adalah memilih untuk melayani
seseorang, dan untuk tetap bersama dengan seseorang meskipun ia memiliki hati
yang ‘kotor’. Cinta itu sabar dan baik hati, cinta itu merupakan sebuah niat.
Mencintai itu berat. Mencintai itu menyakitkan dan menuntut pengorbanan diri.
Cinta itu melihat sisi gelap orang lain, dan menepis godaan untuk ‘loncat berpindah’.
“This is the meaning
of true love : to give until it hurts.”
(Mother Theresa)
Arti
cinta sejati adalah : memberi sampai sakit.