Sabtu, 20 Desember 2014

Sesudah 'Ledakan' Itu

Bertengkar dengan anak, adalah hal yang biasa kita alami sehari-hari. Di sini lah sisi positif ibu rumah tangga terletak, yaitu kita lebih percaya diri untuk menegakkan batasan. Kita yakin dengan otoritas kita, dan kita tidak merasa bersalah saat melarang atau memarahi anak, karena kita tau bahwa anak kita sudah cukup merasa dicintai oleh kita.
Akan tetapi, di sisi lain, stress yang kita alami, menjadi sisi negatif yang membuat kita lebih berisiko untuk 'mudah meledak'. Rasa lelah yang bertumpuk-tumpuk karena pekerjaan yang tiada habisnya, rasa jengkel karena begitu pendeknya waktu pribadi kita, rasa jenuh karena terbatasnya relasi dan komunikasi kita dengan orang dewasa lain, itu semua menjadi sumber stress yang sering kita sendiri kurang menyadarinya. Kita tidak menyadari bahwa stress itu perlahan-lahan tertimbun dan heran mengapa tiba-tiba suatu saat kita merasa bad mood, begitu suntuk dan mudah tersulut emosi.
Ledakan emosi menjadi bagian yang tak terelakkan dalam mengasuh anak, dan semua orangtua melakukan kesalahan ini, termasuk ibu terbaik sekalipun. Lantas, pertanyaannya, bagaimana efeknya untuk anak? Ledakan emosi ini otomatis diikuti oleh rasa bersalah, dan kita khawatir anak mengalami imbas negatif dari perilaku kita yang buruk itu.
Adalah baik bagi anak untuk mengalami sisi kemanusiaan dari diri kita, yaitu bahwa kita, sebagai orangtua, tetaplah manusia biasa yang punya kelemahan. Akan tetapi, ada hal lain yang perlu dilakukan untuk mencegah efek negatif terhadap relasi anak-orangtua, yaitu berdamai dengan anak.

Segeralah berdamai dgn anak. Hal ini penting agar anak nantinya bisa memahami bhw cinta dan benci adalah perasaan-perasaan yg sama dalam satu tali/garis, dgn cinta di ujung satunya dan benci di ujung satunya lagi. Dalam sebuah relasi, kita berjalan-jalan di antara ujung2 itu, kadang kita merasa sangat sayang, tapi kadang kita merasa marah dan benci. Tapi, benci tetap tidak terpisah dengan cinta.

Berdamai tidak berarti kita menuruti kemauan anak, tapi kita jelaskan bahwa yg dilakukan anak itu tidak baik, dan membuat kita marah. Mintalah agar anak meminta maaf kepada kita. Tapi kemudian kita juga meminta maaf atas perilaku kita (yg 'meledak') dan membuat anak takut. Khusus untuk teriakan, menurut saya pribadi, tidak perlu kita meminta maaf, karena teriakan adalah salah satu cara menunjukkan keseriusan/ketegasan kita dalam memberi batasan kepada anak. Akhiri dengan pelukan.

Penegakan batasan, memang menjadi bagian tersulit dalam mengasuh anak. Namun ada prinsip yang bisa memperlancar proses setting limits ini.
1. Kasih, otonomi, dan batasan, harus dlm porsi seimbang. Semakin kita ingin meningkatkan dan mempertegas batasan, semakin kita harus meluangkan waktu untuk membuat anak merasa dicintai. Selain hal ini membuat efektif setting limits, ini juga bertujuan agar kita tidak merasa bersalah saat bertindak tegas kepada anak.
2. Beri cukup warning kepada anak sebelum kita 'meledak.' Tingkatkan volume suara dan ekspresi wajah. (Ayo, coba latihan dari level 1-10 ). Ini penting agar anak merasa aman karena merasa bahwa dia bisa memprediksi tindakan kita. Bayangkan kalau kita hanya memberi peringatan halus (level 1), kemudian tiba-tiba loncat ke level 10 (teriakan super keras dgn tindakan kasar menyeret anak), pasti anak akan terkejut dan sangat takut.

Batasan harus ditegakkan, karena tanpa batasan, anak justru akan merasa ketakutan dan tidak aman, karena dia tidak tahu sejauh mana dirinya akan sampai jika tidak ada orang lain yang memasang 'pagar' itu. Sebagai contoh, jika kita memperingatkan anak saat anak mulai bertindak agresif menyakiti adiknya, dia justru akan merasa aman karena tahu bahwa rasa marahnya tidak akan berlanjut sampai pada tingkat yang membahayakan keselamatan adiknya, yang tentu saja akan ia sesali.

Kadang saya berpikir bahwa mendidik anak adalah bagaikan mengendalikan kuda delman. Kita bertanggung jawab untuk mengarahkan, menjaga agar anak kita tidak salah jalan, dan itu tentu saja bukan tugas ringan. Setiap hari adalah perjuangan. Tapi inilah tugas mulia yang diberikan Tuhan, dan pasti kita akan mampu melakukannya. :)

Rabu, 17 September 2014

PR untuk Ibu

Setiap tahap perkembangan membutuhkan stimulasi dan bentuk dukungan khusus. Berikut akan dibahas apa saja dukungan yang perlu diberikan untuk mendukung tiap tahap perkembangan emosi anak berdasarkan teori Stanley I. Greenspan, M.D. (Cukup panjang dan membosankan untuk dibaca ya... hehe.. tapi inilah PR kita. Semangat!)

 0-3 bulan

Membantu bayi :

1.   Bereaksi terhadap stimulus-stimulus sensorik
Yaitu dengan memberikan beraneka stimulus :
Stimulus suara : mengajak bicara, membunyikan mainan-mainan yg berbunyi.
Stimulus visual : memberikan mainan berwarna-warni, menunjukkan ekspresi wajah
Stimulus sentuhan : memberikan boneka berbulu halus
Stimulus gerak di udara : mengayun-ayun bayi

2.   Mengatasi over-excitability (untuk bayi yang terlalu sensitif)
Dilakukan dengan secara bertahap memberikan stimulus yang membuat bayi merasa kurang nyaman, dimulai dari intensitas yang bayi merasa nyaman dengannya, kemudian ditingkatkan perlahan-lahan sampai pada intensitas yang bayi merasa tidak nyaman. Latih bayi untuk tetap tenang dan ‘tidak kacau’ menghadapi stimulus-stimulus tersebut. Contoh : memberikan musik yang sangat lembut, kemudian diperkeras suaranya, atau diganti jenisnya ke musik-musik yang beritme cepat.

3.   Mengatasi under-arousal (untuk bayi yang hiposensitif)
Menyajikan stimulus-stimulus yang menarik bagi bayi, yang bisa menarik perhatian bayi, contoh : berbicara dengan suara yang lebih bersemangat, memberikan mainan yang berwarna mencolok.

4.   Menggunakan indera yang lemah
Dilakukan dengan memberikan stimulus yang bayi mempunyai penerimaan lemah terhadap stimulus tersebut bersamaan dengan stimulus yang bayi mempunyai penerimaan baik terhadapnya. Contoh : bayi yang lemah dalam penggunaan indera telinga, distimulasi dengan memberikan stimulus suara bersamaan dengan stimulus visual (yang lebih disukainya), sehingga sambil berbicara kita menunjukkan benda-benda atau gambar.

2-7 bulan

Membantu bayi :
1.   Membentuk relasi dengan Anda
Yaitu dengan cara :
  • Menunjukkan sikap hangat dan menarik. Berikan bahasa-bahasa kasih, senyuman, pelukan, ciuman.
  • Membuat bayi merasa nyaman saat mengalami kehadiran Anda.
2.   Bereaksi terhadap sapaan Anda
  • Menyapa bayi dengan stimulus-stimulus yang membuatnya merasa nyaman (sesuaikan dengan sifatnya yang hipersensitif atau hiposensitif). Tepat sebelum bayi merasa bosan, segera ganti aktivitas ‘menyapa’ ini. Jangan terlalu lama menstimulasi bayi. Bayi butuh saat-saat relaks, dan dia menikmati kebersamaan dengan Anda dalam saat-saat relaks ini juga, jadi cukup Anda hadir di sana menemani dia. Dia butuh saat-saat santai namun dengan rasa aman bahwa Anda ada di dekatnya. “Simply relaxing together.”
Jika bayi menunjukkan rasa marah terhadap stimulasi, tetaplah tenang dan jangan menyalahkan diri sendiri. Berusahalah untuk menyapa dia dengan bahasa-bahasa kasih sambil mencari-cari jenis stimulasi yang disukainya.

3-10 bulan

Membantu bayi :
1.   Berinteraksi timbal balik
Hal yang bisa dilakukan :
  • Tarik perhatian bayi
  • Cari gerakan apa yang bisa dilakukan bayi Anda dan lakukan itu agar ia bisa mengikuti/mencontoh Anda (misal : tersenyum, memegang pipi).

2.   Mengalami emosi-emosi
Cobalah merespon ekspresi emosi bayi secara simpatik.
Berikut ini adalah jenis-jenis emosi yang cenderung ditunjukkan bayi :
  • Rasa ingin tahu
  • Rasa tergantung (keinginan manja)
  • Rasa sayang
  • Rasa marah
Berikan kesempatan kepada bayi untuk mengekspresikan emosi-emosi itu dan berhati-hatilah untuk tidak menunjukkan penolakan ekstrim terhadap salah satu jenis emosi tertentu supaya tidak menghambat perkembangan area emosinya. (Orangtua yang membentak anak saat anak menunjukkan rasa marah, akan membuat anak menganggap bahwa marah adalah emosi yang tidak baik yang harus dilenyapkan/ditekan sesegera mungkin).

3.   Melakukan aktivitas yang melibatkan beberapa fungsi indra.
Contoh : main cilukba (melibatkan mata, telinga, gerak).


9-18 bulan

Membantu bayi :
1.   Mengorganisir emosi dan perilakunya
Dengan cara :
  • Mengajak beraktivitas sesuai moodnya.
  • Merespon perilakunya yang memberikan sinyal-sinyal emosi untuk kita (perilaku yang mengekspresikan emosinya).

2.   Menjadi tetap terkendali saat mengalami emosi-emosi.
Dengan cara :
  • Membacakan emosi bayi. Contoh “Kamu marah ya…”
  • Mengajarkan cara ekspresi emosi yang lebih tepat. Contoh : “Ayo, jangan menangis, coba tunjukkan mana yang kamu mau.”
  • Saat bayi menjadi kacau, ajak ia berpaling ke aktivitas yang membuat dia merasa senang dan tenang lagi, sambil memberikan sikap hangat dan menenangkan (yang membuat dia merasa aman).

3.   Memahami fungsi benda-benda
Tunjukkan berbagai benda dan fungsinya, cara memakai/menggunakannya.

4.   Merasa tetap dekat dengan Anda walaupun berpisah jarak dengan Anda
Cobalah untuk pergi dari sisinya (misal : pergi ke ruang sebelah atau pergi beberapa meter darinya). Saat itu, pastikan Anda tetap berkomunikasi lewat tatapan mata, suara.
Tetap berikan waktu yang banyak untuk saling peluk. Ia butuh menyeimbangkan antara kebutuhannya akan kemandirian dan ketergantungan.

5.   Menghormati batasan/peraturan
Berikan beberapa peraturan, misal : larang dia untuk menuang air di lantai, makan di dalam kamar tidur, membuka roll tissue WC. Jangan langsung menjauhkan anak dari benda yang tidak boleh dipegang/dimainkannya, tapi katakan dulu “Kamu tidak boleh …”

Beri alternatif kepada anak untuk menyalurkan protesnya “Kamu tidak boleh memukul mama, tapi kamu bisa memukul bantal.”

6.   Mengembangkan kepribadian yang unik
  • Sering menghabiskan waktu bersama anak agar dia merasa berharga.
  • Mendukung dan mengagumi inisiatif anak.

Karena masa ini adalah tahap di mana anak mengembangkan sense of self-nya, maka hargai kemampuan-kemampuan barunya dan ikuti inisiatif anak.


18-36 bulan

Membantu anak :
1.   Mengkonstruksi ide
  • Bermain bersama anak, menunjukkan sikap antusias terhadap aktivitas yang sedang digemari anak.
  • Gunakan aktivitas yang sedang digemari anak untuk mengenalkan permainan pura-pura.
  • Bantu anak mengenal fungsi berbagai objek serta peran orang-orang.
  • Berikan kesempatan kepada anak untuk berfantasi, namun kemudian tegaskan tentang realita.

2.   Bersikap positif terhadap berbagai jenis emosi
  • Bermain pura-pura dengan melibatkan topik-topik emosi : kemarahan, kesedihan, kecemasan.
  • Membaca ekspresi emosi anak lewat perilakunya.
  • Mendiskusikan perasaan-perasaan anak dengan empati (penuh pemahaman).

3.   Menggunakan ide emosional ketika mengalami stress
Dilakukan dengan cara :
Terbiasa mengungkapkan perasaan lewat kata-kata, berbicara asertif. Saat memarahi anak, menjelaskan lewat kata-kata yang menggambarkan perasaan, tidak hanya langsung menghukum. Contoh : “Mama marah ketika kamu lempar dengan mainanmu”.

4.   Mengembangkan keunikan
  • Memberi ruang kepada sifat-sifat uniknya.
  • Memberi pujian secara personal tentang kelebihan uniknya. Contoh : “Mama suka rumah yang kamu buat.”  “Mama suka pilihan warnamu.”

5.   Menggunakan kata-kata untuk mendeskripsikan
Dukung anak untuk menguasai perbendaharaan kata yang banyak dengan rajin mengenalkan benda-benda.


30-48 bulan

Membantu anak :

1.   Memahami hubungan sebab-akibat
Dengan cara :
  • Membalas komunikasi anak, dan mengarahkan pembicaraan pada hal-hal yang logis.
  • Memberi kesempatan kepada anak untuk berinteraksi, bermain bersama teman-temannya.
  • Menemani anak bermain pura-pura, dengan mengikuti arahan cerita anak maupun menambah topik-topik cerita.

2.   Menggunakan ide-ide dalam cakupan wilayah emosi yang luas.
Perhatikan emosi-emosi apa yang membuat anak merasa tidak nyaman, misalnya :
  • Rasa kehilangan, perpisahan
  • Rasa marah dan keinginan agresif (menyerang, membalas orang lain)
  • Rasa ingin tahu tentang tubuh
  • Rasa tergantung pada orang lain, cinta dan intimacy.
  • Keinginan untuk mandiri
Bantu anak untuk menerima emosi-emosi itu dengan cara :
  • Mengajak bicara tentang perasaan-perasaannya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa.
  • Menjaga kondisi tetap terkendali dengan bereaksi tenang saat anak sedang kacau.

3.  Menggunakan fantasi namun tetap memahami realita, bisa membedakan fantasi dengan realita
Menerima dengan antusias fantasi yang diceritakan anak, namun di akhir, tetap menegaskan realita.

4.   Berelasi dalam lingkaran relasi 3 orang
Bantu anak membangun relasi seimbang dengan ayah dan ibunya. Dukung ia untuk dekat pada ibu maupun ayahnya.
Kadangkala, Anda boleh berada di pihak anak, bersekutu dengan anak, tapi biarkan anak tahu bahwa Anda tetap mencintai pasangan Anda. Izinkan juga anak bersekutu dengan pasangan Anda untuk ‘melawan’ Anda, tapi Anda segera menyambut anak kembali ketika ia ingin bersama Anda lagi. Anak perlu merasa aman karena mengetahui perseteruan, pertengkaran adalah hal yang wajar terjadi dan bersifat sementara saja, namun relasi cinta itu takkan pernah goyah. Anak perlu juga mengetahui bahwa ia tak akan bisa menggoyahkan hubungan cinta antara ayah-ibunya. Kestabilan relasi suami-istri adalah hal yang penting untuk memupuk rasa aman anak.

5.   Mencapai stabilitas emosi
  • Mengatasi perasaan kehilangan dan perpisahan
Bantu anak menjadi lebih mandiri dengan mengajak anak berinteraksi dan bersahabat dengan temannya.
Saat anak tidak mau berpisah, bantu ia untuk tenang, kemudian ajak bicara tentang perasaannya, kekhawatirannya. Ajak ia berpikir bahwa fantasi menakutkan yang dipikirkannya itu bukan realita.

  • Mengatasi perasaan marah dan agresif
Saat anak marah, tunjukkan empati lewat kata-kata, tapi tetap berikan batasan yang tegas terhadap perilakunya.
Jangan biarkan kemarahan anak membuat Anda kacau atau takut. Bantu anak untuk kembali tenang dan segera berdamai, menyambut anak saat ia selesai marah.

  • Mengelola perasaan ingin tahu tentang tubuh
Beri kesempatan kepada anak untuk menyalurkan rasa ingin tahunya, tapi jangan biarkan ia melebihi batas-batas privasi Anda dan orang-orang. Ajarkan ia untuk menghormati privasi orang lain.

Sabtu, 05 April 2014

Pengasuhan dan Pendidikan yang Semakin Impersonal

Stanley I. Greenspan, M.D. dan T. Berry Brazelton, M.D. dalam bukunya "The Irreducible Needs of Children" mengatakan keprihatinan mereka atas situasi zaman ini, di mana dunia berubah menjadi semakin impersonal, termasuk dalam hal pengasuhan dan pendidikan. 
Semakin impersonalnya dunia bisa dilihat dari relasi antar teman, antar anggota keluarga, yang mana mode komunikasinya telah berubah menjadi semakin impersonal, kehilangan sentuhan personal, bahkan saat-saat kebersamaan yang ada pun atmosfer nya impersonal. Interaksi satu sama lain semakin sedikit. 
Semakin impersonalnya pengasuhan dan pendidikan anak, bisa dilihat dari fenomena dalam keluarga di mana anak-anak kurang diayomi secara emosional dengan kehangatan.  Anak-anak diberi 'institutional love' (cinta 'buatan'), karena mereka diasuh oleh orang lain yang bukan orangtua, bahkan dititipkan di tempat penitipan anak. 
Perubahan dunia menjadi semakin impersonal, juga dapat dilihat dari pendekatan yang digunakan, yaitu semakin berorientasi pada teknologi, bersifat konkrit, dan materialistis. Contohnya, sistem kesehatan mental (psikiatri) semakin menekankan pada penggunaan obat daripada psikoterapi; penanganan gangguan perilaku anak (psikologi), dilakukan dengan penegakan disiplin menggunakan metode hadiah-hukuman, dan berfokus pada penegakan disiplin saja semata-mata; pendidikan lebih berorientasi pada penggunaan materi pelajaran. Pendekatan yg berbasis pada kasih sayang, semakin ditinggalkan. 
Pertanyaannya, mengapa dunia berubah dramatis menjadi semakin impersonal, semakin menepis sisi-sisi kemanusiaan? Mengapa kita berinteraksi dengan anak, dengan keluarga, dengan cara-cara yang semakin impersonal? 
Jawabnya adalah karena meskipun manusia punya dua sisi (yg bagaikan dua sisi kepingan koin) -  
  • competitive mastery, yaitu sisi kompetitif dengan sifat kemandirian, kemampuan diri.
  • nurturing care, yaitu sisi ketergantungan, dengan sifat lemah, rapuh, tidak berdaya, membutuhkan perhatian orang lain 
manusia tidak nyaman dengan sisi ketergantungan itu, dan lebih nyaman dengan sisi kompetitifnya. 

Manusia memandang bahwa untuk hidup, kemampuan berkompetisilah yang lebih penting, sehingga lebih fokus mengembangkan kemampuan diri sendiri untuk bertahan hidup dan berkompetisi. Sementara itu, karena merasa tidak nyaman dengan sisi nurturing care yang mengandung kelemahan dan ketergantungan, manusia pun jadi berusaha menolak sisi kelemahan dan ketergantungannya ini. Dan ini juga lah yang secara tidak langsung mengakibatkan orangtua fokus mengasah kemampuan anak untuk mandiri, berjuang sendiri, mengembangkan kemampuan diri, sementara sisi ketergantungan anak berusaha ditekan. 

Pertanyaan selanjutnya, mengapa ini baru terjadi sekarang? 
Di masa lalu, peran mengayomi, yang menerima sisi ketergantungan, kelemahan, terletak dan terealisir pada peran maternal (ibu). Sementara ayah menjalankan peran sisi kompetitifnya. Saat itu, ibu diharapkan tinggal di rumah bersama anak-anak dan menikmati kesenangan dari peran merawat, mengayomi, bukan menikmati kesenangan dari sebuah karir kompetitif. Sekarang, hal itu sudah berubah. Kesetaraan jender menyebabkan wanita juga mempunyai hak untuk menikmati kesenangan dari karir (mengambil sisi kompetitif). Sebenarnya, hal ini baik, karena dengan keadaan yang adil demikian, pria juga mengemban tugas mengasuh anak. Akan tetapi, masalahnya adalah untuk mencapai lagi keseimbangan antara sisi nurturing care dan sisi kompetitif (sebagaimana jaman dulu), praktek di lapangan nya sangatlah sulit. Belum ditemukan jalan untuk mengembalikan keseimbangan itu.

Kamis, 27 Februari 2014

Pentingnya Relasi dalam 3 Tahun Pertama

Pada usia 0-3 tahun, seorang anak idealnya mempunyai relasi yang kokoh dengan satu pengasuh utamanya (primary caregiver), demikian kata Stanley I. Greenspan, M.D. dan T. Berry Brazelton, M.D. Dalam rentang usia 0-3 tahun, pengasuh utama ini diharapkan adalah orang yang sama, sehingga bisa memberikan pengayoman yang konsisten, terus-menerus dan berkesinambungan, karena hanya dengan jalan itulah anak bisa memperoleh rasa aman. Apabila anak terlanjur tergantung kepada seorang pengasuh utamanya, dan kemudian tiba-tiba pengasuh utama tersebut menghilang (meninggalkan anak), maka anak tidak mampu mengembangkan rasa aman yang kokoh dalam dirinya (inner sense of security nya tidak terbentuk baik).

Ketika terjadi masalah yang serius dalam hal relasi anak dengan pengasuh utamanya selama 3 tahun pertama, maka yang terancam adalah :

  1. Harga diri anak (self-esteem)
  2. Kemampuan untuk peduli terhadap orang lain
  3. Motivasi untuk belajar

Pada 3 tahun pertama kehidupan, anak membentuk dasar-dasar pembelajaran tentang intimacy (relasi intim dengan orang lain). Pengalaman relasi intim pertama anak dengan primary caregiver nya di mana anak pertama kali membangun kepercayaan terhadap orang lain, membuat anak belajar tentang kehangatan dan kasih sayang. Melalui interaksi anak dengan primary caregivernya, anak juga belajar untuk berinisiatif bertindak, mengorganisir perilakunya, bertindak dengan tujuan, dan inilah yang merupakan dasar kemampuan berpikir logis dan terorganisir. 


Relasi dengan primary caregiver juga merupakan tempat belajar yang pertama bagi anak dalam mengelola emosi. Alasannya adalah karena bermacam-macam emosi yang berbeda-beda terjadi di dalam sebuah relasi dan merupakan bagian dari sebuah relasi; ada kesenangan, kegembiraan, kepercayaan, tetapi juga ada kemarahan, kejengkelan, kekecewaan, pertentangan, sikap negatif. Bayi perlu belajar bahwa dia bisa merasakan perasaan-perasaan negatif itu, marah, jengkel, membangkang kepada orangtuanya, namun dengan keyakinan bahwa orangtuanya tetap ada di sisinya. Hanya dengan cara itulah dia memahami bahwa rasa marah/benci dan rasa cinta bukan terpisah sama sekali (bahwa perasaan-perasaan itu tidak berdiri sendiri-sendiri), melainkan bisa berhubungan satu sama lain. Dia bisa sekali waktu merasa benci namun tetap mencintai orang yg sama. 

Tiap anak membutuhkan pengasuh yang akan menjadi bagian hidupnya melalui masa bayi, kanak-kanak, dan remaja. Kondisi di mana anak dirawat oleh pengasuh yang hanya hadir sementara waktu saja, bukanlah kondisi yang ideal, dan semestinya kondisi ini tidak dipilih demi perkembangan optimal anak. 

Sumber : Brazelton, T.B., Greenspan, S.I., 2000. The Irreducible Needs of Children : What Every Child Must Have to Grow, Learn, and Flourish. Da Capo Press.

Kamis, 02 Januari 2014

Balas Budi kepada Orangtua

Ketika kita tak punya penghasilan sendiri, sehingga tak mampu memberikan kepada ayah-ibu kita hal-hal yang ingin kita berikan kepada mereka, kita pun menjadi sedih, memikirkan masihkah kita punya waktu untuk menyenangkan mereka, membalas budi selagi mereka masih hidup di dunia ini. Dengan keadaan kita saat ini, di mana kita belum bisa bergerak leluasa karena tanggung jawab membesarkan anak-anak kita, tampaknya kita belum bisa menggapai keinginan itu dalam waktu dekat.
Akan tetapi, mari kita saat ini melihat lagi, apa sebenarnya kebahagiaan itu sendiri. Sungguhkah materi adalah hal yang diinginkan orangtua kita, dan menjadi jalan bagi mereka untuk bahagia?
Mungkin kita tak bisa membiayai ayah-ibu kita bepergian ke luar negeri, membelikan perhiasan, pakaian, maupun hadiah lain yang mewah. Akan tetapi, bukankah sampai saat ini, mereka masih makan secukupnya, mengenakan pakaian layak, tinggal di tempat tinggal yang cukup nyaman? Dan, bukankah kita telah membuat mereka sungguh bahagia, hanya dengan mengijinkan mereka melihat keluarga kecil kita yang bahagia. Mereka tersenyum melihat keceriaan anak kita, cucu mereka. Mereka tak perlu bersedih hati melihat cucu mereka yang suka memberontak kepada orangtua. Mereka juga tak perlu terlalu lelah di usia mereka di mana tubuh mereka telah menjadi renta, karena kita tak membebani mereka dengan tugas mengurus anak kita.
Bukankah dengan tidak menambah beban hati mereka, kita telah melakukan hal yang cukup baik bagi mereka? Jika kita tak bisa membuat mereka tersenyum, maka setidaknya kita tidak membuat mereka menangis.
Materi hanyalah salah satu dari banyak jalan untuk memberikan kebahagiaan. Masih banyak hal di luar materi yang bisa memberikan kebahagiaan itu. Dan, bukankah, kita semua tahu, bahwa materi belaka itu sendiri, justru tak mampu mengusir kesedihan hati manusia, tak mampu menggantikan kebahagiaan yang terenggut dari hati. Ada sesuatu yang lain yang mengungguli materi, yang lebih efektif daripada materi untuk membuat hati manusia bahagia, yaitu CINTA. Kita punya kesempatan untuk menyatakan rasa sayang kita kepada orangtua kita, yaitu dengan memberikan waktu untuk mengadakan komunikasi kepada mereka, membuat mereka merasa spesial untuk hidup kita. Hadiah kecil bisa kita berikan tiap saat kepada mereka, entah itu hanya berupa secangkir teh, makanan kecil kesukaan mereka, atau pemberian-pemberian kecil lainnya yang tidak seberapa harganya. Sungguh, mereka lebih menghargai ketika kita memperlakukan mereka dengan penuh hormat dan sayang, ketika kita mau duduk bersama mereka berbagi cerita dengan mereka, daripada melimpahi mereka dengan hadiah mewah. Mereka membutuhkan pernyataan sayang dari kita lewat waktu yang kita berikan untuk mereka, senyuman, kata-kata lembut, bukan lewat harta.