Jumat, 06 Desember 2013

3 Kebutuhan Dasar Anak

Kasih + Otonomi + Batasan

3 hal di atas adalah kebutuhan dasar yang diperlukan anak agar mengalami perkembangan yang sehat, begitu kata Stanley I. Greenspan.

1. Kasih sayang (nurturance, security and love)
Anak-anak sejak lahir ke dunia (0 bulan) membutuhkan interaksi hangat, pelukan, ciuman, waktu bermain bersama, pemahaman dan empati, yang membuat diri mereka merasa aman, merasa dicintai.

2. Otonomi (autonomy)
Anak-anak merasakan keinginan untuk mempunyai kontrol, keinginan mengekspresikan kebebasannya dan keinginan berinisiatif. Oleh karena itu, orangtua harus menyediakan kesempatan di mana pada saat-saat tertentu, anak bisa merasa dirinya lah yang menjadi 'bos' bukan selalu orangtuanya yang menjadi bos atas dirinya.

3. Batasan (limit-setting)
Anak membutuhkan batasan yang tegas, untuk merasa aman, yaitu mulai usia 8 bulan. Mereka menjadi ketakutan ketika lingkungan tidak memberikan petunjuk mengenai apa yang benar dan apa yang salah dan ketika mereka merasa tidak ada orang yang membatasi agresivitas mereka.

Ketiadaan salah satu kebutuhan dasar ini, atau ketidakseimbangan dalam pemenuhan 3 kebutuhan dasar ini akan berdampak pada terjadinya perseteruan dan perebutan kekuasaan antara orangtua dan anak yang kronis.

Often when one or more of these three factors of nurturance, autonomy, and limit-setting are absent, power struggles result. (Stanley I. Greenspan; First Feelings; p. 157-162).

Minggu, 17 November 2013

Hitung Bulan Perkembangan Emosional

Perkembangan emosional berlangsung secara luar biasa pada 4 tahun pertama kehidupan. 4 tahap awal bahkan hanya berlangsung selama 18 bulan. Berikut akan dibahas 6 tahap perkembangan emosional yang ditemukan oleh Stanley I. Greenspan, M.D.

Tahap pertama (0-3 bulan), bayi belajar untuk menggunakan indera-inderanya, menyesuaikan diri dengan berbagai stimulus yang diterima dari lingkungan (suara, cahaya, sentuhan, bau, rasa) yang diterima dari indera-inderanya, dan kemudian sesudah bisa menyesuaikan diri dan meregulasikan diri, ia pun mulai merasa tertarik dengan dunia barunya, lingkungan sekitarnya. 

Tahap kedua (2-7 bulan), bayi 'jatuh cinta' kepada sosok pengasuh utamanya. Bayi mulai menyukai pengasuhnya, dan dia harus dapat respon timbal-balik yang serupa demi mempertahankan dan mengembangkan kemampuannya mencintai. Pengalaman mencintai dan dicintai melalui attachment dengan figur pengasuh yang diperoleh bayi pada masa ini akan menjadi batu pijakan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar sosialisasi. Pada tahap ini, tugas pengasuh adl membangun interaksi yg positif, memberikan pengasuhan yang sensitif dan responsif.

Tahap ketiga (3-10 bulan), bayi mengembangkan kemampuan komunikasi yang lebih didasari oleh intensinya sendiri, belajar mengambil inisiatif. Pada tahap ini, bayi belajar tentang sebab-akibat, bahwa dia bisa mempengaruhi orang di sekitarnya dengan usaha/tindakannya (tersenyum dalam rangka mengajak ibunya tersenyum, misalnya). Tugas pengasuhnya adalah merespon semaksimal mungkin sinyal-sinyal komunikasi yg disampaikan bayi. Kalau bayi mendapat respon, dia akan menjadi semakin percaya diri, bahwa dengan bertindak secara aktif, dirinya bisa mewujudkan keinginannya, bisa mempengaruhi orang lain, dan bisa meraih kebahagiaannya sendiri. 

Tahap keempat (9-18 bulan), bayi membentuk sense of self yang terorganisir. Dia mulai menyadari keberadaan dirinya, perasaan tentang diri sendiri mulai muncul. Dia mulai bisa mengorganisir emosi dan mengatur perilakunya, menunjukkan emosi dan niatnya secara lebih jelas dalam perilaku. Secara intelektual ia jadi semakin pintar, paham tentang lingkungan, dan semakin jelas melihat dirinya sendiri. 
Komunikasi masih dominan praverbal, namun dia semakin mampu melakukan interaksi kompleks dengan orang lain dalam rangka 'pemecahan masalah' (problem solving) yaitu berupaya agar orang lain menolong dia mencapai keinginannya. Pada masa ini, dia bisa menerima informasi dengan lebih baik, memahami pola-pola, kebiasaan-kebiasaan di lingkungan sekitarnya, sehingga dia bisa memperkirakan, membuat prediksi, dan ini semua membuat dia mengembangkan perasaan mampu (sense of mastery). Pemahamannya terhadap emosi orang lain juga lebih tajam, dia bisa membedakan emosi-emosi orang lain secara intuitif, persetujuan atau ketidaksetujuan, penerimaan atau penolakan. 

Tahap kelima (18-36 bulan), bayi mampu membentuk gambar ide. Dia bisa membentuk gambar imajinasi objek-objek dalam kepalanya, membedakan antara pikiran dengan tindakan. Pada masa ini dia belajar tentang fungsi kata-kata, yaitu bahwa kata-kata merepresentasikan sesuatu, baik objek nyata (benda konkrit) maupun perasaan, bahwa kata-kata bisa digunakan untuk menyampaikan perasaan. Dia belajar bahwa menunjukkan perasaan kepada orang lain tidak hanya bisa dilakukan dengan tindakan (misal : melempar barang), tetapi juga bisa ditunjukkan dengan berbicara "Aku marah." Kemampuannya membedakan emosi masih kasar, masih terkutub-kutub ekstrim, sayang-benci, senang-marah.

Tahap keenam (30-48 bulan), bayi mampu membentuk hubungan antara ide-ide. Bayi mulai mampu berpikir logis, menghubungkan satu hal dengan hal lain dalam hubungan sebab-akibat. Kemampuannya membedakan emosi juga menjadi semakin tajam, misalnya bisa membedakan antara sedikit kecewa dengan sangat marah. Dia juga bisa membedakan antara fantasi dengan realita, mana yang merupakan imajinasinya saja dan mana yang sungguh-sungguh realita. 



Dalam perkembangan emosional, yang menjadi kunci kesuksesan perkembangan adalah interaksi emosional bayi dengan pengasuhnya. Bayi belajar melalui tiap interaksi yang terjadi dengan pengasuhnya. Respon yang ditunjukkan pengasuh membuat bayi belajar berbagai hal tentang perasaan-perasaannya dan perilakunya sendiri.
Jika kita melihat lebih seksama keempat tahap di atas, menjadi jelas bahwa ketika bayi tidak mendapat stimulasi yang sesuai dengan kebutuhannya pada 18 bulan pertama kehidupannya itu, akan terjadi hambatan perkembangan, perkembangan emosionalnya menjadi mundur dari waktu yang seharusnya. Tahap perkembangan itu tidak bisa diloncati, sehingga ketika satu tahap gagal distimulasi secara optimal, maka ia tidak mampu menuju ke tahap perkembangan selanjutnya. 

Berikut adalah contoh bagaimana terjadinya sesuatu yang 'salah' dalam perkembangan anak dideteksi berdasarkan tahap perkembangan emosionalnya:

Pada umur 15 bulan, seorang anak cenderung menunjukkan emosi negatif daripada emosi positif, ia lebih senang bermain sendiri dan kurang menunjukkan minat untuk berinteraksi dengan orang lain (kurang menunjukkan rasa bahagia ketika bersama orang lain). Apa yang menyebabkan bayi ini emosinya lebih terarah pada emosi negatif (suka marah, menolak, agresif) dan tidak ceria, adalah kurangnya pengalaman dekat secara emosional kepada pengasuhnya. Ketika anak ini kemudian akhirnya mampu ditarik dalam sebuah relasi (dengan cara orangtuanya menyediakan diri untuk menemaninya lebih sungguh-sungguh, memberikan perhatian secara konsisten), dia mengalami emosi-emosi yang muncul ketika dua orang menjadi akrab (intim), yaitu perasaan gembira, bahagia, bersemangat, dan rasa ingin tahu, dan demikian area emosinya pun berkembang, menjadi tidak hanya terbatas pada emosi negatif, melainkan lebih luas, yaitu menuju emosi-emosi positif tersebut.  

Pada umur 12-13 bulan, bayi semestinya sudah mulai menunjukkan sifat-sifat kepribadian dasarnya yang unik. Akan tetapi, beberapa bayi sangat patuh, dia selalu mengikuti kemauan orangtuanya; dan sebaliknya, sebagian bayi menyatakan dirinya dengan cara yang selalu melawan kehendak orangtuanya. Kedua jenis ini, yaitu sangat patuh, atau sangat negatif (sangat melawan), menunjukkan bahwa bayi tidak berkembang sebagaimana mestinya. Di sini, orangtua harus balik ke tahap perkembangan sebelumnya, yaitu menyediakan kehangatan dan cinta secara konsisten, dan memberikan dukungan terhadap inisiatif-inisiatif yang dimunculkan bayi. 

Keenam tahap perkembangan emosional yang dikemukakan Greenspan ini telah diterima dan dijadikan acuan oleh dunia psikiatri Amerika. Buku "First Feelings" ini menjadi sebuah pembuktian bahwa pengasuhan anak bukan sesuatu yang main-main, bahwa menyediakan kebutuhan emosional anak adalah sesuatu yang mutlak jika kita menginginkan sebuah perkembangan yang optimal. Hanya dua pilihan kita : menyediakan kebutuhan emosional anak, atau meremehkannya dan dengan demikian membuka tangan terhadap RISIKO kecacatan emosional anak-anak kita. 

Rabu, 30 Oktober 2013

Pelajaran Berharga Untukku (Surat utk Sahabat)

Surat ini kutujukan untuk sahabat-sahabatku, para ibu yang sehari-hari menunggui anak-anaknya di sekolah bersamaku.

Bertemu dengan kalian telah mengajarkan banyak hal kepadaku. Dulu, aku menganggap bahwa menjadi ibu rumah tangga bukanlah sebuah profesi yang bergengsi, dan karenanya, aku sering minder ketika orang menanyakan apa pekerjaanku. Aku menjawab pertanyaan itu dengan menjelaskan bagaimana terpaksanya aku menjadi ibu rumah tangga, yaitu karena tak ada orang lain yang bisa dititipi untuk mengasuh dan merawat anakku, dan bahwa anakku sangat lekat padaku sehingga memang tak bisa ditinggalkan ke tangan orang lain – sekalipun menjadi ibu rumah tangga memang merupakan pilihanku sendiri, tapi aku merasa aneh dengan pilihanku itu. Tapi, sekarang, aku bisa dengan gampang menjawab sambil tertawa, “Sekarang saya cuma di rumah, momong anak,” tiap kali ada orang yang menanyakan pekerjaanku.

Melihat keceriaan kalian, kesederhanaan kalian, telah mengubah pandanganku. Kalianlah yang mengajariku untuk menerima peran ini dengan rendah hati. Kalianlah yang mengajariku, “Hei, di dunia ini kau tak harus menjadi seorang yang sukses, yang terkenal, yang disegani banyak orang. Kita nikmati hidup seadanya ini dan menjadi bahagia dengan apa yang kita miliki saat ini.”

Kalian bukanlah wanita-wanita kaya yang hidup mewah dari gaji suami, sebagaimana dibayangkan oleh banyak orang. Kalian bahkan tak punya pembantu, malah mesin cuci pun tidak, sehingga harus mencuci baju dengan tangan setiap hari. Kalian juga tak naik mobil pribadi untuk mengantar anak ke sekolah, tetapi hanya naik sepeda motor, atau angkot, atau ojek. Kalau kita saling bercerita, kita bercerita tentang bagaimana kita selalu membanding-bandingkan harga hanya untuk mendapatkan barang yang termurah, agar kita bisa menghemat uang kita, meski hanya 500 rupiah saja.

Kalian juga bukan ibu-ibu yang suka ‘ngerumpi’ tentang kejelekan orang lain. Kita menjalin persahabatan, selalu berusaha berkomunikasi baik-baik, menjaga perasaan satu sama lain. Kalau kita saling bercerita, kita tak ingin mengorek kehidupan pribadi orang lain, tapi menceritakan sendiri tentang kehidupan diri kita masing-masing,  berkeluh-kesah tentang betapa lelahnya kita sehari-hari mengurus anak dan rumah, betapa jengkelnya kalau anak kita tak mau makan, betapa sedihnya kalau melihat anak kita sedang sakit, atau bagaimana kita bingung kalau anak kita nangis-nangis di sekolah. Semuanya adalah curhat tentang pengalaman kita masing-masing. Membicarakan kehidupan orang lain... untuk apa? Kita sama sekali tak berminat.

Kalian juga bukan ibu-ibu pengangguran yang selalu sibuk dengan handphone, yang sebentar-sebentar mengecek pesan masuk, atau asik membuat status. Bahkan kalian tidak setiap hari membuka internet, online di facebook. Bukan karena kalian terlalu bodoh, tak bisa mengoperasikan komputer atau tidak mahir menggunakan fasilitas komunikasi modern ini, tapi karena kalian tidak memandang penting komunikasi dunia maya semacam ini. Kalian adalah wanita-wanita pintar dan terpelajar, yang tak kalah pendidikannya daripada para wanita karir. Kita saling terkejut bila mengetahui latar belakang pendidikan kita, bahwa ternyata kita semua adalah sarjana. Kita memang tak nampak seperti wanita-wanita intelek, karena sehari-hari kita berpakaian seadanya, berbicara tentang hal-hal yang sederhana, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sederhana.

Bisa menjadi sahabat kalian, adalah sebuah anugerah luar biasa bagiku. Aku belajar apa itu arti menjadi sederhana, belajar membiarkan diri mundur dari dunia yang penuh persaingan, belajar menghargai kesenangan-kesenangan kecil dari hidup ini, belajar tentang pengorbanan, belajar tentang ketulusan. Kalian bukan guru, bukan juga profesional, tapi aku belajar banyak dari kalian. Kalian mengajariku bagaimana menjadi tangguh, hidup penuh perjuangan dan pengorbanan tanpa sering mengeluh.

Kalian mengajariku, bahwa mengasihi adalah dari hati. Berbagi, adalah berbagi perhatian, berbagi dukungan. Memberi, tak harus ketika kita mempunyai materi yang berlimpah untuk diberikan. Hari itu, engkau memberiku dua sachet kopi instan yang baru saja beredar di pasaran. Hari berikutnya, kau memberiku pastel mini homemade buatanmu sendiri. Suatu hari, kau memberiku buah kersen yang kau petik dari pohon di sekolah, tiga butir buah kersen yang merah, “Ini enak, ayo ambil.. Yang dua ini titip buat mamanya Felix dan mamanya Yesaya ya, kalo nanti ketemu.”

Yah, aku sungguh beruntung bisa bertemu dengan kalian, sahabat-sahabatku yang begitu sederhana, begitu tulus. Belajar banyak hal dari kalian, aku menjadi lebih bahagia, dan lebih kuat. Doaku untuk kalian, semoga Tuhan selalu memberi kalian kesehatan dan kebahagiaan dalam hidup di dunia ini bersama anak-anak yang begitu kalian cintai. Tetaplah jaga kemurnian hati kalian ini, karena kalianlah yang membuat dunia ini lebih indah untuk ditinggali. Kalian begitu anggun, dengan mengenakan kesederhanaan itu. Aku bangga pada kalian, sungguh bangga, dan aku bangga menjadi bagian dari kelompok kalian. Semua yang telah kupelajari dari kalian ini akan menjadi pelajaran berharga seumur hidupku. 

Minggu, 27 Oktober 2013

Jika Tak Ada Kasih Sayang yang Cukup ...

Para ahli yang peduli terhadap anak (di antaranya Stanley I. Greenspan, M.D., Steve Biddulph), menandaskan bahwa kasih sayang adalah nutrisi vital untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Seorang anak menjadi terganggu perkembangannya, baik perkembangan emosional, sosial, maupun intelektual dan fisik, jika ia tidak dirawat oleh seseorang yang mengayomi dan mencukupi kebutuhannya akan cinta kasih. Jalan satu-satunya untuk membangun mental yang sehat, dan demikian membentuk pula perilaku yang sehat, adalah dengan mencukupi kebutuhan anak akan sebuah pengasuhan, perawatan, dan pengayoman yang penuh cinta pada tahun-tahun pertama kehidupan anak.
Dalam bukunya "The Challenging Child," Stanley I. Greenspan, M.D., membahas bahwa pengasuhan/perawatan yang kurang kasih sayang berisiko pada terjadinya masalah perilaku pada anak, antara lain perilaku agresif (suka menyakiti orang lain), manja (suka menuntut dan rakus), ketidakmampuan mengasihi orang lain, ketidakmampuan berempati, sikap apatis, perilaku menarik diri, dan perilaku merusak-diri.

"Kekurangan pengayoman (perawatan dgn cinta kasih) bisa mengarah pada perilaku agresif pada siapapun - baik anak yang sensation-seeking (karakter fisiknya mencari sensasi indra), maupun yang bukan. Anak yang aktif dan sensation-seeking memang mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mengalami pola perilaku agresif ini. Sementara anak lain yang kurang kasih sayang akan cenderung menunjukkan trauma ini dalam cara yang lain, yaitu sikap apatis dan menarik diri atau perilaku yang merusak-diri.
Proses pembentukan kelekatan kepada seseorang (attachment) - yang semestinya dimulai saat masa bayi dan berlanjut selama masa kanak-kanak - adalah fondasi esensial bagi perkembangan rasa kemanusiaan, sebuah perasaan penuh kasih, dan perhatian/kepedulian untuk orang lain. Tanpa adanya kontak cinta di masa bayi dan awal masa kanak-kanak, rasa keterkaitan dengan sesama mungkin selamanya tidak akan terbentuk. Anak akan melihat orang lain sebagai benda untuk disepak atau dimusnahkan ketika mereka menghalangi jalan. Mereka tidak bisa peduli kepada orang lain karena tidak ada seseorang yang secara konsisten peduli kepada mereka."

Lack of nurturing can lead to aggressive behavior in any child - whether or not he is sensation-seeking. The active, sensation-seeking child simply has a greater likelihood of such a pattern. Other children who are deprived of love are more likely to show their trauma in other ways, such as apathy and withdrawal or self-destructive behavior.
The process of forming an attachment to someone - which should begin in infancy and continue throughout childhood - is an essential foundation for developing a sense of shared humanity, a feeling of compassion, and concern for others. Without loving contact in infancy and early childhood, a sense of human connectedness may never materialize. The child may view other people as things to be kicked or destroyed when they stand in the way. They can't care for others because no one has consistently cared for them. (p. 238-239,242)


Pada bagian yang lain dalam buku tersebut, Stanley I. Greenspan juga mengatakan bahwa apabila anak tidak mendapatkan pengayoman dan cinta kasih yang cukup, dia akan menjadi suka menuntut dan rakus, karena dia terus-menerus merasa lapar.

"Perilaku manja sering terjadi ketika anak merasa tidak aman : Jika tidak ada pengayoman dan kasih sayang yang cukup, anak menjadi suka menuntut dan rakus, ugal-ugalan (tidak bertindak dgn pertimbangan) dan agresif, karena dia 'merasa lapar'."

Spoiled behavior often persists when the child feels insecure : if there is not enough nurturing, the child becomes demanding and greedy, inconsiderate and aggressive because he is hungry for more (p. 159).

Rabu, 21 Agustus 2013

Makna di Balik Pekerjaan Sederhana

Tiga orang tukang bangunan sedang bekerja pada sebuah proyek. Mereka yang sedang menyusun batu-batu bata dengan semen ditanya oleh seorang anak kecil yang lewat, "Apa yang sedang Bapak lakukan?" Berikut adalah jawaban mereka.
Tukang 1 : "Bapak sedang menumpuk batu-batu bata ini."
Tukang 2 : "Bapak sedang mencari uang."
Tukang 3 : "Bapak sedang membangun sebuah rumah, di mana nanti rumah ini akan menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi pemiliknya, tempat mereka beristirahat dan melepas lelah."

Apa beda ketiga jawaban tersebut? Semua jawaban benar. Akan tetapi, masing-masing jawaban mencerminkan bagaimana tukang bangunan itu menyikapi dan memandang pekerjaannya. Tukang 1 hanya melihat pekerjaannya sebagai sebuah rutinitas. Tukang 2 melihat pekerjaannya secara pragmatis, yaitu sebagai sebuah cara menghasilkan uang. Sementara tukang 3, sungguh-sungguh menjalani pekerjaannya dengan sebuah visi. Tentu kita tahu bahwa visi semacam itu jelas menjadikan tukang tersebut lebih termotivasi dan bergembira dalam menjalani pekerjaannya dibandingkan dengan kedua tukang yang lain.

Hal serupa kita alami dalam menjalani peran kita sebagai ibu rumah tangga. Pekerjaan yang sehari-hari kita lakukan nampak sebagai tugas-tugas yang sepele. Menanak nasi, mengupas bawang, memetik sayur, memasak, mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu, memandikan anak, menyuapi anak, membereskan mainan anak, merapikan barang-barang yang diberantakkan anak, mengelap air minum yang ditumpahkan anak, mengelem mainan anak yang patah, mendorong anak berayun di ayunan, menemani main boneka, menemani anak jalan-jalan melihat sungai dan bebek... bukankah semuanya tugas yang sepele? Begitu sepele sampai kita pun sering berpikir, "Bukankah semua itu sebenarnya cukup dikerjakan oleh seorang pembantu saja?" atau, "Adakah bedanya, jika itu aku kerjakan sendiri, dan jika itu dikerjakan oleh pembantu?" Sulit bagi kita untuk selalu menyadari bahwa lewat tugas-tugas sepele itu lah kita sedang mengerjakan sebuah tugas besar, yaitu mendidik dan membentuk pribadi anak kita.
Sama seperti seorang tukang bangunan yang memulai pekerjaan membangun sebuah rumah hanya dari aktivitas mengayak pasir, mencampur semen, menata batu bata satu demi satu, atau seorang penyulam yang membuat suatu sulaman nan indah dengan cara menjahitkan benang helai demi helai, kita sedang mengerjakan sebuah proyek pembentukan pribadi lewat aktivitas-aktivitas sederhana yang terjadi saat memelihara, mendampingi, dan mengayomi anak. Tak ada jalan lain. Itulah jalan yang mesti ditempuh. Kenyataannya, lewat semua yang nampak sederhana itulah terjadi sebuah proses. Anak kita tidak berkembang secara tiba-tiba, dan proses perkembangannya sebagai seorang individu bukan merupakan sesuatu yang instan. Stanley I. Greenspan menyatakan, bahwa interaksi emosional yang terjadi sehari-hari antara ibu dan anak itulah yang sesungguhnya merupakan proses pembentukan diri anak, baik segi emosional, moral maupun intelektual dan kreativitasnya. Jadi, marilah mulai dari sekarang, kita selalu memandang ke depan, meyakini bahwa hal-hal sederhana dan sepele yang nampak tak berarti ini sesungguhnya adalah langkah-langkah, tapak-tapak menuju apa yang kita harapkan. Sekarang, kalau pertanyaan seperti di atas kita lontarkan pada diri kita, "Apa yang sedang kulakukan?" kita akan jawab, "Aku sedang mendampingi anakku, mengayomi keluargaku, melingkupi mereka dengan cinta kasih, agar mereka bahagia. Aku sedang merajut relasi yang baik dengan anak-anakku, supaya aku bisa mengarahkan dan mendidik mereka menjadi pribadi yang baik." 

Minggu, 04 Agustus 2013

Anak dan Materialisme

Menjalani peran ibu rumah tangga, bagi kita itu berarti tiap hari kita mesti berjuang mematikan nafsu kita untuk memupuk harta atau kekayaan materi. Kita belajar untuk memalingkan tujuan hidup kita bukan ke arah kemakmuran finansial, melainkan ke arah nilai-nilai lain dalam hidup ini. Tentu saja bukan sebuah perjuangan yang mudah, mengingat uang adalah sarana untuk mencapai kenyamanan hidup di dunia ini. Dan perjuangan pun semakin berat karena dunia tempat tinggal kita ini semakin hari semakin materialistis, mengagungkan kesejahteraan ekonomi di atas segalanya.
Apa ada yang salah dengan sifat materialistis? Kesadaran akan pentingnya benda-benda sebagai pemberi kenyamanan hidup bukan hal yang salah. Akan tetapi, yang kurang tepat adalah ketika benda dipandang sebagai sumber kebahagiaan yang utama. Kita semua tahu ada hal-hal lain yang lebih penting daripada sekedar materi yang dapat memberikan kebahagiaan. Dan karenanya, kita tidak ingin sifat materialistis itu menguasai diri kita, begitu pula anak-anak kita.
Ada sebuah hasil penelitian menarik mengenai dampak pada anak apabila orangtua mencukupi kebutuhan anak akan kasih sayang dan dukungan emosional, yaitu anak menjadi lebih tahan terhadap dorongan materialisme. Sementara ketika orangtua gagal mencukupi kebutuhan anak akan kasih sayang dan dukungan emosional, anak lebih rentan terpengaruh materialisme.
Sebuah penelitian yang dipimpin oleh Suzanna Opree dengan subjek anak usia 8-10 tahun mendapati hasil bahwa anak-anak yang kurang bahagia menghabiskan waktu di depan televisi hampir sama dengan anak-anak yang bahagia. Akan tetapi, anak-anak yang kurang bahagia ini lebih terpengaruh oleh iklan televisi yang menjadikan mereka lebih bersifat materialistis, yaitu lebih asyik dengan benda-benda dan percaya bahwa benda bisa memberikan kebahagiaan dan kesuksesan. (Sumber : http://health.usnews.com/health-news/news/articles/2012/08/21/unhappy-kids-are-more-materialistic-study-finds )
Senada dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh Chaplin, Lan Nguyen, John, dan Deborah Roedder dengan subjek remaja usia belasan tahun menunjukkan bahwa semakin orangtua suportif (memberikan dukungan emosional kepada anak), anak mereka semakin cenderung tidak materialistis. Alasannya adalah karena orangtua yang bersikap suportif kepada anaknya membuat anaknya mengembangkan harga diri lebih tinggi (mempunyai perasaan berharga) -sementara sifat materialistis dilatarbelakangi oleh harga diri yang rendah (self-esteem yang rendah). Semakin anak merasa berharga (mempunyai self-esteem tinggi), semakin dia tidak memandang bahwa kepemilikan barang akan membawa kebahagiaan dan perasaan berharga. Sebaliknya, anak-anak yang merasa tidak berharga, akan cenderung berusaha memiliki barang-barang dalam rangka membuat hidupnya bahagia dan untuk membuat dirinya merasa berharga. Sebagai tambahan, para peneliti juga menemukan bahwa semakin orangtua bersifat materialistis, anak-anak mereka mempunyai harga diri yang semakin rendah.
(Sumber : http://tweenparenting.about.com/od/behaviordiscipline/a/Materialistic-Children.htm )

Jumat, 12 Juli 2013

Seorang Ibu Mengubah Dunia Lebih Baik

"Hanya seorang ibu," begitulah yang kita pikirkan mengenai diri kita, atau itulah jawaban yang kita berikan ketika orang bertanya apa pekerjaan kita. Di dalam masyarakat yang makin kurang menghargai peran ibu sebagai pengasuh dan pengayom anak, kita juga mulai berpikir bahwa diri kita ini bukanlah apa-apa, selain seorang ibu yang sehari-hari mengurus rumah tangga, menyediakan kebutuhan anak dan suami. Hidup melulu di rumah, rasanya kita tidak memberikan kontribusi apa-apa kepada dunia. Saya mempunyai seorang teman, ia memilih untuk menekuni karirnya mendampingi anak-anak korban kekerasan dan perdagangan anak, tapi sementara itu, ia meninggalkan anaknya yang masih berusia 1 tahun dalam asuhan orang lain. Ia merasa hidupnya berguna bagi orang lain dengan pekerjaan itu, dan memandang bahwa mengesampingkan keluarganya sendiri merupakan harga yang harus dibayar demi sebuah pengorbanan bagi orang lain.
Haus untuk memberikan kebaikan bagi orang lain, seringkali juga kita rasakan, dan menjadi salah satu tantangan dalam menjalani peran ibu rumah tangga. Akan tetapi, sebenarnya, kalau kita merefleksi, bukankah apa yang sedang kita kerjakan saat ini, yaitu membesarkan anak-anak kita adalah bagian dari perjalanan panjang untuk mempengaruhi dunia? Ya, sesungguhnya dengan membesarkan anak-anak kita, mendidik mereka, kita sedang menyiapkan diri mereka agar kelak mereka menjadi salah satu orang baik yang mengisi dunia ini dan mengubah dunia ini menjadi lebih baik pula.
Brenda Hunter, Ph.D., dalam bukunya "The Power of Mother Love," membahas bahwa menjadi ibu rumah tangga, memiliki pengaruh luar biasa, bukan hanya terhadap hidup anak-anak kita, tapi sesungguhnya juga terhadap masyarakat, yang mana seringkali pengaruh ini memang tidak disadari. Selama dekade terakhir ini, dunia psikologi terus melakukan penelitian ilmiah dan ternyata mendapati bukti-bukti yang begitu banyak bahwa cinta seorang ibu mempunyai dampak begitu besar dan sifatnya permanen dalam membentuk karakter dan hidup anaknya. Kasih ibu mempengaruhi hidup anak, dan selanjutnya, mempengaruhi dunia.


Brenda Hunter menandaskan bahwa dengan memenuhi kebutuhan anak pada tahun-tahun pertama kehidupannya (kebutuhan fisik maupun psikologis), kita sedang membentuk anak kita menjadi seorang yang mampu berempati kepada sesamanya. Seorang anak yang tidak mengalami kasih sayang, tak akan mampu memperlakukan orang lain dengan kasih sayang pula. "Mother-child emotional bonding" (ikatan emosional ibu-anak) adalah ramuan ajaibnya. Jadi, seorang ibu tak hanya mempengaruhi hidup anaknya, ia mempengaruhi masyarakat, mempengaruhi dunia.

Rabu, 10 Juli 2013

Buku Teori Pro Peran Ibu Rumah Tangga II

Brenda Hunter, Ph.D, seorang psikolog dan penulis buku internasional, yang merupakan ahli dalam bidang infant attachment, menyerukan dukungannya kuat-kuat untuk para ibu yang berani memutuskan menjadi ibu rumah tangga full-time. Di tengah perdebatan antara ibu bekerja (yang merasa bahwa mereka lebih berguna untuk masyarakat jika mereka bekerja), dan ibu rumah tangga (yang memutuskan untuk tinggal di rumah karena mengikuti panggilan hatinya), Brenda Hunter menandaskan bahwa tak ada seorang pun yang bisa menggantikan pengayoman yang diberikan oleh ibu. Jika kita selama ini menggeluti peran ibu rumah tangga full-time karena intuisi kita bahwa peran ini adalah yang terbaik untuk anak, maka Brenda Hunter memberikan penguatan secara ilmiah berdasarkan hasil-hasil risetnya bahwa intuisi kita tersebut memang benar. Buku ini adalah buku yang dipersembahkan untuk kita, para ibu rumah tangga full-time :


"To mothers everywhere who have chosen, at no little personal sacrifice to be home with their children :
I applaud you for your courage in a culture that is hostile to your choice. 
I support you in your willingness to put your children's well-being ahead of any career advancement. 
And I uphold your conviction that you are the best person to raise your child. 
You are the unsung heroines of this century." (Brenda Hunter, Ph.D)

Terjemahan :
Untuk para ibu di mana pun, yang telah memilih mengorbankan kepentingan pribadinya (yang mana pengorbanan ini sama sekali tidak sedikit), semata-mata demi agar bisa mendampingi anak-anak mereka di rumah :
Saya memujimu atas keberanianmu berdiri dalam sebuah budaya yang memusuhi pilihanmu ini.
Saya mendukungmu dalam niatmu untuk meletakkan kesejahteraan anak di atas kepentingan karir.
Dan saya meneguhkan keyakinanmu bahwa kau adalah orang terbaik untuk membesarkan anakmu. Engkau adalah pahlawan wanita tanpa tanda jasa di abad ini. 

Minggu, 07 Juli 2013

Uang.. Hati-hatilah dengannya!!!

Seringkali yang ada di benak orang adalah bahwa yang memilih menjadi ibu rumah tangga adalah ibu yang suaminya punya penghasilan bagus yang bisa mencukupi kebutuhan keluarga tiap bulannya. Uang "cukup," itu berarti berapa kah nominalnya? Dan kebutuhan itu apa saja kah? Kita, yang sudah menjalani peran ibu rumah tangga ini, hanya bisa tersenyum kecut kalau orang menganggap kita ini berkelimpahan sehingga tidak membutuhkan tambahan penghasilan. Kita berjuang tiap bulannya untuk mencukupkan kebutuhan keluarga dengan penghasilan suami, dan berbagai upaya penghematan kita lakukan. Kalau sebuah target finansial (jumlah uang, rumah, mobil, dsb) kita gunakan sebagai syarat untuk memutuskan menjadi ibu rumah tangga full-time, saya yakin, sampai kapan pun (selamanya) kita tak akan menjadi ibu rumah tangga full-time. Alasannya, kita manusia, cenderung terus menaikkan target finansial kita. Sudah punya segini, ingin segitu.
Ingatkah kita akan dongeng yang bercerita tentang seorang yang tamak, sehingga ketika mempunyai ayam yang bertelur emas, dia tidak henti-hentinya menginginkan telur emas itu, dan menginginkan banyak telurnya, sehingga akhirnya memotong ayam itu untuk mendapatkan telur-telur di dalam perutnya? Banyak sekali cerita semacam itu, yang intinya adalah bahwa manusia cenderung menjadi tamak justru ketika ia MEMPUNYAI. Sulit sekali menghentikan langkah jika uang sudah di depan mata.
Ternyata, ada sebuah penelitian yang membuktikan bahwa keinginan terkait uang, tidak bisa berjalan selaras dengan keinginan mengasuh anak. Nampaknya, dua tujuan ini memang bertentangan. Berikut ini adalah ringkasan dari penelitian tersebut.
Penelitian Kushlev, dkk. (2012) menunjukkan bahwa dengan mempunyai uang, orang akan semakin termotivasi untuk mengejar tujuan pribadinya dan menjaga kemandirian mereka dari orang lain, dan menjadi kurang termotivasi pada tujuan-tujuan yang berkaitan dengan orang lain (other-focused goal atau communal goal), termasuk mengasuh anak. Penelitian menemukan bahwa orangtua dengan penghasilan yang lebih besar justru kurang menghargai pengasuhan anak atau kurang menghargai tujuan mengasuh anak. Berdasarkan studi ini, diambil kesimpulan bahwa tujuan pribadi yang berkaitan dengan kesejahteraan finansial bisa membuat individu mengesampingkan (memandang rendah) tujuan mengasuh anak; bahwa uang berasosiasi dengan tujuan manusia untuk menjadi mandiri dan mengejar kesuksesan pribadi, dan sementara itu, bertentangan dengan tujuan memperhatikan/peduli terhadap orang lain. Oleh karena itu, berdasarkan hasil ini, disarankan bahwa untuk bisa menjalankan peran sebagai orangtua,  kedua pasangan perlu untuk mengubah tujuan hidup mereka, khususnya mereka yang sebelum menjadi orangtua terbiasa bekerja keras untuk meraih kesuksesan finansial, sebab, apabila mereka tidak berusaha mengesampingkan tujuan finansial, mereka akan mengalami kesulitan untuk merasakan makna dari mengasuh anak.

Kutipan asli dari artikel :

Past research shows that having money, or even just being reminded of money, motivates people to pursue personal goals and to maintain their independence from others—what researchers call agentic goals.2,3 Kushlev and colleagues4 hypothesized that the agentic goals associated with money might be incongruent with the more interdependent, other-focused goal—what researchers call a communal goal—of caring for children. Therefore, parents who focus on achieving financial security—and thus derive a sense of meaning and purpose in their lives through more individualistic goals—might have more difficulty achieving a sense of meaning and purpose from parenting.
The researchers found that parents with greater income and education derived less meaning and purpose from taking care of their kids. But, given the correlational nature of that study, it could just be that those who get less meaning from parenting are more likely to pursue higher paying jobs.
Overall, this work suggests that the individualistic goal associated with financial wealth may undermine the more relational goal of taking care of children; money is associated with goals such as being independent and pursuing personal success, which are somewhat incongruent with the goals of caring for others and fostering interdependent relationships. Importantly, the researchers note that they are not recommending that couples avoid pursuing wealth before having children, especially given previous research on the benefits of financial security for raising children. But, the research does suggest that the act of becoming parents may require couples to shift their goals in a major way, especially for those who have worked hard to achieve high levels of financial success prior to parenthood.

Sumber : http://www.psychologytoday.com/blog/dating-decisions/201306/mo-money-mo-problems?tr=HomeEssentials

Rabu, 22 Mei 2013

Beranilah Melawan Arus

Steve Biddulph, satu lagi psikolog dunia yang menaruh keprihatinan terhadap masalah pengasuhan anak yang pada abad ini dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Dengan tidak segan-segan ia bicara terus-terang tentang fenomena keluarga dengan ibu bekerja full-time yang dikhawatirkannya akan menghasilkan anak-anak yang lebih dingin, lebih sedih, lebih mudah stress, dan agresif. Berhadapan dengan kelompok orang yang berkepentingan dengan daycare/nursery, dia berani menyatakan bahwa idealnya anak di bawah 3 tahun  mendapatkan pengasuhan secara individual dari orang yang spesial bagi anak tersebut, yaitu orangtuanya, ibunya.


Steve Biddulph mengatakan, "Adalah sebuah prinsip fundamental dalam Psikologi, bahwa dalam 3 tahun pertama kehidupan, manusia mempelajari pelajaran terpenting seumur hidup, yaitu bagaimana mencintai. Hasil riset menunjukkan bahwa struktur baru akan berkembang dalam otak bayi apabila mendapatkan kasih sayang dan perhatian dalam 2 tahun pertama. Apabila kasih sayang yang intens tersebut tidak diterima bayi pada masa ini, struktur ini akan terganggu perkembangannya dan sebagai akibatnya, ada kecakapan tertentu yang mungkin tak akan pernah diperoleh anak tersebut."

Bukunya, "Raising Babies : Why Your Love is Best," diperlengkapi dengan hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ada dampak negatif yang nyata ketika pengasuhan anak dilimpahkan kepada orang lain yang tak mempunyai kasih sebesar kasih yang dimiliki orangtuanya sendiri.
Steve Biddulph meyakinkan kita, bahwa seringkali kita harus melawan arus, 'menjadi aneh' karena keluar dari kebiasaan masyarakat, tidak melakukan apa yang dilakukan kebanyakan orang. Lebih penting bagi kita untuk mendengarkan apa kata hati kita, karena itulah yang benar.

Berikut adalah cuplikan buku "Raising Babies" karangan Steve Biddulph terbitan Thorson, 2006 :

The world has also changed in the last 30 years. As huge corporations spanned the earth and grew more powerful than governments, their influence over daily life grew too. People everywhere felt they had to work harder, even though they were more prosperous than ever before. There was enormous pressure to consume more material goods. Everything was getting faster, more stressed and money-oriented - the old values of caring and community interdependence were being swept away. People had less and less time for their marriages, their communities, their friends, and even their own children. Society has become more materialistic and has fatally neglected the place of caring, community, and family needs in our lives. We weren't exactly slaves, we had a choice. But to use Madeleine Bunting's phrase, we were 'willing slaves' - somehow going along with this deteriorating quality of life without question.

It is a fundamental tenet of psychology that in the first three years of life we learn the most important lesson of our whole lifetime - how to love. By giving away this precious window of intimate time, I feared we were raising a colder, sadder, more stressed and aggressive generation of children who might forever struggle to know what closeness and inner peace really felt like. 
Children under three want one thing only : the individual care of their own special person. Loving, patient, and supported time with young babies is not a luxury, but a vital nutrient that we must provide. Researchers have learned that a baby's brain grows whole new structures in response to the love and affection, and caring firmness, given during its first two years of life. If this kind of intense love is not given at the right time, these areas of the brain do not grow properly and, as a result, there are abilities a child may never acquire.

Sabtu, 27 April 2013

Apa yang Lebih Penting daripada Parenting Skills?

Coba tebak, apa yang lebih penting daripada keterampilan pengasuhan (parenting skills)? Gordon Neufeld, Ph.D, seorang psikolog perkembangan yang berpengalaman menggeluti dunia anak-anak dan remaja selama lebih dari 40 tahun, mengatakan bahwa relasi kelekatan (attachment relationship) anak dengan orangtuanya adalah hal yang lebih penting daripada semua parenting skills. Tak ada parenting skills di dunia ini yang mampu menyelesaikan dan mengatasi problem yang muncul dari kurangnya relasi kelekatan anak-orangtua.
"Rahasia parenting tidak terletak pada apa yang dilakukan orangtua, melainkan siapakah orangtua di mata anak. Apabila anak kita mencari kontak dan kedekatan dengan kita, maka saat itu, peran kita sebagai seorang pengasuh, pengayom, pembimbing, teladan (model), guru, atau pelatih, sedang diperkokoh dan diperkuat. Bagi seorang anak yang mempunyai kelekatan baik dengan kita, kita adalah tempat berlabuh dalam petualangan mereka di dunia ini, tempat ke mana mereka akan kembali, dan sumber segala inspirasi. Semua parenting skill di dunia ini tak mampu mengkompensasikan kekurangan pada relasi kelekatan."


Berikut adalah cuplikan asli dari buku "Hold On to Your Kids : Why Parents Need to Matter More Than Peers," karangan Gordon Neufeld, Ph.D dan Gabor Mate, M.D., yang diterbitkan Ballantine Books, tahun 2006.
"The secret of parenting is not in what a parent does but rather who the parent is to a child. When a child seeks contact and closeness with us, we become empowered as a nurturer, a comforter, a guide, a model, a teacher, or a coach. For a child well attached to us, we are her home base from which to venture into the world, her retreat to fall back to, her fountain head of inspiration. All the parenting skills in the world cannot compensate for a lack of attachment relationship." (page 6)

Kamis, 25 April 2013

Jangan Cemaskan Kemandirian Anak

Tidak sedikit ibu rumah tangga yang cemas ketika melihat bahwa anaknya cengeng dan sulit berpisah dari ibu saat anak-anak ini mulai masuk sekolah. Kenapa anak-anak kita ini tampak lebih manja dibandingkan dengan anak-anak lain? Apa benar ini salah kita, yaitu gara-gara kesehariannya kita selalu ada di samping anak dan selalu siap menolongnya, sehingga anak kita menjadi lebih manja dan tergantung pada kita, ibunya? Kalau diamati, mengapa justru anak-anak yang ibunya full-time di rumah ini, tampak sebagai anak 'sulit'?
Sulitnya anak berpisah dari ibu, memang tak lain disebabkan karena selama ini, ibu menghabiskan waktu paling banyak bersama anak dan dengan demikian ibu menjadi figur lekat anak. Anak merasa paling nyaman berada bersama ibunya, dan ini sama sekali tidak salah, karena anak berarti sudah mengembangkan apa yang disebut secure attachment. Secure attachment ditandai dengan kecenderungan anak untuk mencari dan mendekat pada figur lekatnya ketika ia merasa tidak aman atau ketakutan.
Anak-anak yang mengembangkan kelekatan dengan ibunya, kurang percaya pada orang lain yang asing. Akan tetapi, kondisi ini tidak berlangsung lama. Anak yang telah berhasil mengembangkan secure attachment, hanya pada waktu awal-awal saja merasa tidak nyaman. Ia mempunyai landasan rasa aman yang kuat dalam dirinya, sehingga, dengan sejenak beradaptasi - yaitu melihat dan menilai kondisi lingkungan barunya, ia pun akan segera merasa aman dalam lingkungan baru tersebut.
Lantas, apakah anak-anak ini di kemudian hari akan tetap menjadi anak yang kurang mandiri, khususnya dibandingkan dengan anak-anak yang ibunya bekerja? Beberapa penelitian mengungkap bahwa efek positif dari berkarirnya ibu di luar rumah adalah kemandirian anak. Tentu saja ini benar. Anak-anak yang ibunya bekerja memang lebih mandiri. Mereka lebih cepat mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Tapi, kita perlu cermati apa yang ada di balik kemandirian mereka. Mengapa mereka mandiri? Jawabannya adalah karena sehari-hari mereka sudah terbiasa dengan keadaan sendiri dan tidak menemukan orang yang selalu dapat diandalkan untuk menolongnya, sehingga mereka pun belajar mengandalkan dirinya sendiri. Jadi, bukankah kondisi tersebut sebenarnya adalah kondisi 'terpaksa'? Mereka mencoba-coba memenuhi kebutuhannya sendiri karena tak ada orang lain yang bisa dimintai tolong setiap saat. Dengan kata lain, apa yang ada di balik kemandirian ini adalah rasa tidak percaya pada orang lain, rasa tidak percaya bahwa orang lain bisa diharapkan untuk menolong atau bisa menjadi tempat bergantung saat dirinya membutuhkan.
Saya adalah anak yang dibesarkan oleh seorang ibu rumah tangga full-time. Mengenai kekurangmandirian saya, saya memang mengakuinya. Akan tetapi, saya telah membuktikan bahwa kemandirian bisa terbentuk dalam waktu yang singkat. Begitu saya menikah, saya dilepas oleh ibu saya. Pertama, saya akui memang berat. Saya harus mulai mengurus urusan rumah tangga sendiri dan juga merawat anak sendiri. Saya yang selama tinggal serumah dengan ibu saya hampir tak pernah mencuci pakaian, menyetrika, masak, bersih-bersih, kini harus mengerjakan tugas-tugas itu sendiri. Anehnya, keadaan terpaksa ini, nyatanya berhasil membuat saya mampu mengerjakan tugas-tugas itu! Jadi, dalam hitungan 1-2 tahun pernikahan, saya sudah terbiasa melakukan tugas-tugas itu secara mandiri. Yang ingin saya katakan di sini adalah, jangan kita berkecil hati saat melihat anak kita tampak tidak mandiri. Yakinlah bahwa kemandirian itu bisa dibentuk dalam waktu singkat. Ketika anak tumbuh dewasa, dan makin mampu secara fisik, ia pasti mampu menjadi mandiri. Yang dibutuhkannya hanyalah kemauan (dan keadaan terpaksa, hehehe). Membentuk kemandirian jauh lebih mudah daripada meletakkan dasar rasa aman dan percaya terhadap orang lain.
Yang perlu diperhatikan hanyalah kita berusaha agar anak belajar menguasai berbagai keterampilan, termasuk keterampilan bantu diri, dengan tujuan supaya mereka mengembangkan perasaan mampu. Jangan selalu turuti permintaan anak jika kita tahu bahwa mereka bisa melakukannya sendiri. Beri mereka kepercayaan dan dukung mereka semakin terampil, dan demikian, mereka merasa mampu, sehingga ketika berada bersama teman-teman atau menerima tuntutan tugas, mereka juga lebih percaya diri.

Selasa, 23 April 2013

Mengapa Ibu Lebih Baik?

Siapakah orang yang paling baik mengasuh dan merawat anak? Saya jawab, "ibunya." Saya punya beberapa alasan di balik pemikiran saya bahwa ibu adalah figur yang paling tepat untuk mengasuh anak pada tahun-tahun pertama kehidupannya. Kali ini saya tidak menjamin bahwa apa yang saya tulis di sini bersifat ilmiah (terbukti melalui hasil penelitian), saya hanya menggunakan logika dan hasil observasi saya saja.

Ibu lebih baik daripada nenek, karena :
  • Ibu punya tenaga dan fisik yang lebih baik (prima) daripada nenek. Tenaga ini sangat dibutuhkan ketika merawat anak usia 0 hingga balita, karena anak-anak pada usia ini, sangat bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya (nyaris sama sekali belum mampu mandiri). Tenaga yang prima juga dibutuhkan untuk menemani anak bermain mengeksplorasi lingkungan. Kita semua tahu bahwa anak-anak mempunyai tenaga yang luar biasa, aktif sekali bergerak, dan oleh karena itu, orang yang mengasuhnya, perlu bisa mengimbanginya. 
  • Ibu lebih tegas daripada nenek. Berdasarkan pengamatan saya, nenek lebih cenderung menuruti keinginan cucunya. Faktornya adalah karena nenek lebih berbelas kasih terhadap cucunya, dan juga karena nenek lebih lemah secara fisik daripada ibu, sehingga untuk berkonfrontasi dengan anak, seringkali nenek lebih memilih jalan mudah, yaitu menuruti keinginan anak. 
  • Ibu lebih santai dan lebih kurang dewasa dibanding nenek. Ibu, karena usianya lebih muda, di satu sisi, kurang bijaksana dan kurang pengendalian diri dibandingkan nenek. Akan tetapi, di sisi lain, usia yang muda ini membuat ibu lebih luwes, easygoing, lebih punya selera humor, sehingga lebih mampu bercanda bersama anak. Ibu lebih senang bermain saling gelitik, berguling-guling bersama anak, dan sebagainya. Ibu juga lebih mampu menolerir perilaku anak yang suka mengeksplorasi, memberantakkan mainan, bermain kotor-kotor, dan sebagainya.
  • Ibu mempunyai usia lebih panjang dibandingkan nenek. Anak membutuhkan figur lekat yang bisa mendampinginya selama belasan tahun ke depan. Apabila figur lekat ini adalah ibunya, maka asumsinya, anak akan bisa lebih lama didampingi oleh figur lekatnya.  
  • Ibu lebih sering mendekap anak, mencium anak, memberikan sentuhan fisik. Selain karena ibu menyusui anak, ibu juga secara natural lebih sering memeluk dan mencium anak, memberikan kehangatan secara fisik. 

Ibu lebih baik daripada babysitter atau pembantu, alasannya adalah karena babysitter/pembantu adalah seorang upahan, yang merawat anak dengan tujuan mendapat upah. Tentu saja ia tidak bisa dituntut untuk mengasihi anak dengan tulus, kita hanya bisa menuntut dia untuk memenuhi kebutuhan anak saja. Selain itu, pembantu/babysitter kurang mampu bersikap tegas dalam mengarahkan anak, karena ia merasa tidak punya wewenang penuh atas anak asuhnya. Belum lagi hal-hal negatif yang timbul seandainya dia (pembantu/babysitter) melakukan hal-hal berikut :
  • Senang menggunakan ponsel saat memomong anak, atau senang berbincang-bincang dengan rekan sesama pembantu/babysitter di kompleks perumahan, sehingga anak lebih sering dalam keadaan terabaikan, tidak diajak bicara, tidak diajak bermain.
  • Suka menggunakan kekerasan fisik terhadap anak. 
  • Suka membentak atau tidak mampu mengendalikan kata-katanya saat memarahi anak.

Bagaimanapun, ibu adalah orang yang secara alamiah punya naluri untuk merawat dan mengayomi anak. Ibu bisa memberikan apa yang tidak bisa diberikan oleh seorang upahan, karena ibu melakukan semuanya dengan kasih yang tulus ikhlas tanpa pamrih. Ibu selalu mempunyai tujuan dan harapan agar anaknya menjadi pribadi yang baik, dan karenanya, akan melakukan segala upaya untuk mendidik anaknya seperti yang diharapkannya. 
Anak yang diasuh langsung oleh ibunya, akan lebih patuh terhadap ibunya, karena ia menerima satu peraturan dan satu pola asuh, dan dalam hal ini, peraturan dan pola asuh dari ibunya menjadi dominan. Anak yang diasuh ibunya, umumnya juga lebih mempunyai konsep diri positif dan harga diri, karena ia banyak menerima ekspresi kasih sayang dari ibunya, lebih sering diajak tersenyum, dicium, dipeluk, diajak bermain.

Steve Biddulph mengatakan, "Ibu adalah orang yang paling diperlengkapi untuk memberikan apa-apa yang diperlukan seorang bayi. Ia juga merupakan orang yang paling bersedia dan termotivasi dalam mendekati anaknya, memberikan perhatian penuh kepada anak." Jadi, bagaimanapun juga, ibu adalah yang TERBAIK untuk anaknya. 

Minggu, 21 April 2013

WAKTU : Kualitas atau Kuantitas?

Terkait soal pengasuhan, yang sering dibahas psikologi adalah memberikan waktu secara berkualitas untuk anak. Kemudian, dari sini, berkembang anggapan dalam masyarakat, bahwa waktu yang jumlahnya sedikit namun berkualitas, bisa memenuhi kebutuhan anak, atau dengan kata lain, karena yang penting adalah kualitas, maka kuantitasnya seberapa pun tidak jadi soal. Selain itu, cukup banyak pula psikolog yang meyakinkan para ibu pekerja, bahwa masalah tidak akan timbul asalkan mereka meluangkan waktu secara berkualitas sepulang dari kerja. Di sini, saya ingin memperjelas topik ini, karena saya pun pernah mendapat pertanyaan terkait hal ini.
Anak memang membutuhkan 'waktu yang berkualitas', dalam arti, waktu yang dihabiskan bersama orangtuanya dengan interaksi yang berkualitas. Tidak sekedar berada di tempat yang sama dengan orangtuanya, tapi juga berinteraksi, berkomunikasi (verbal dan nonverbal), bertukar emosi dengan orangtua. Anak sangat bahagia ketika ia diajak bicara, diajak bercanda oleh orangtuanya, dan bermain bersama orangtuanya. Di situ ia merasa disayangi, dan merasa diperlakukan sebagai individu yang berharga di mata orangtuanya.
Tapi, permasalahannya, apakah waktu berkualitas yang sedikit jumlahnya, cukup bagi anak? Waktu berkualitas yang sedikit jumlahnya, memang mampu membuat anak bahagia saat itu, akan tetapi, bagaimana dengan saat-saat di luar 'waktu berkualitas' tersebut, yang jumlahnya justru lebih banyak? Apakah pada saat itu kebutuhan anak terpenuhi, dan anak juga menerima perlakuan yang baik?
Saya yakin, semua pasti setuju, bahwa kita makan sehari tiga kali, dan ini tidak bisa digantikan dengan makan sekali saja tapi dengan 3 porsi. Entah tepat atau tidak, tapi saya mengasosiasikan waktu berkualitas ini seperti halnya soal makan. Anak mempunyai kebutuhan sepanjang hari, dan ia butuh dipenuhi kebutuhannya pada saat-saat tersebut. Tidak bisa kalau kebutuhannya ini ditunda. Saat ia lapar, harus segera diberi makan; saat ia mengantuk, harus segera dininabobokkan; saat ia bad mood, harus segera dipeluk, digendong atau dihibur; saat ia basah, harus segera diganti pakaiannya; saat ia kotor, harus segera dibersihkan; saat ia mengalami kecelakaan, harus segera ditolong; saat ia kedinginan, harus segera dihangatkan, dan lain sebagainya. Pengasuhan anak tidak sama dengan tugas pekerjaan yang bisa dilembur. 
Dalam dunia psikologi perkembangan anak, dikenal istilah secure attachment. Sangat amat diharapkan bahwa pada masa-masa awal kehidupan anak, terbentuk secure attachment. Secure attachment ini adalah rasa aman dan kepercayaan yang dirasakan anak terhadap objek lekatnya (pengasuh). Secure attachment ini kelak berpengaruh besar pada kemampuan anak membentuk relasi intim dengan orang lain (intimacy). Nah, bahan dasar terbentuknya secure attachment ini adalah pengalaman dipenuhinya kebutuhan anak oleh figur pengasuhnya. Jadi, anak yang dipenuhi kebutuhannya oleh seorang pengasuh yang sensitif dan responsif, akan berhasil mengembangkan secure attachment. Kalau demikian, mampukah waktu berkualitas yang sedikit jumlahnya menghasilkan secure attachment? Tentu saja tidak. Secure attachment tidak terbentuk dalam waktu yang singkat. Secure attachment terbentuk dari proses, dari waktu anak bangun tidur, sampai ia bangun lagi di hari berikutnya, 24 jam sehari selama tahun-tahun pertama kehidupan anak.
Hampir serupa dengan itu, begitu pula konsep diri dan harga diri anak. Pembentukan konsep diri anak adalah sebuah proses, yaitu bagaimana anak diperlakukan setiap saat, dan bukannya bagaimana anak diperlakukan beberapa jam tiap harinya. Anak yang tiap malam dicium-cium dan dipeluk-peluk, namun ketika siang hari diabaikan, bahkan dimarah-marahi dan dibentak-bentak, tentu saja tidak mengembangkan konsep diri positif semaksimal anak yang setiap harinya pagi-siang-sore-malam diperlakukan penuh kasih.  
Berikutnya, kedalaman relasi ibu-anak. Agar anak bisa mempunyai relasi yang dekat dengan ibu, anak butuh mengalami kebersamaan dengan ibu, interaksi yang berkualitas, dan lagi-lagi, ini juga membutuhkan jumlah waktu yang banyak pula. Kita dekat dengan seseorang, itu hasil dari sebuah proses, yaitu kebiasaan kita bersama dengan orang tersebut. Semakin sering kita bersama orang tersebut, semakin banyak interaksi yang terjadi dan semakin baik kita mengenal orang tersebut. Kita bisa menengok, dengan siapakah kita paling dekat. Pasti orang tersebut adalah orang yang dengannya kita sering bersama. Kita yang sehari-hari bersama anak kita, bisa membandingkan bagaimana relasi anak kita dengan kita (ibunya), dan bagaimana relasi anak dengan ayahnya. Mengapa anak kita lebih dekat pada kita daripada kepada ayahnya? Jawabannya tak lain adalah karena kita lah yang lebih banyak menghabiskan waktu dengannya.
Saya sama sekali tidak mengatakan bahwa anak yang menghabiskan waktu beberapa jam saja bersama ibunya (karena ditinggal ibunya bekerja) akan gagal membentuk secure attachment ataupun gagal membentuk konsep diri yang positif. Tidak berarti demikian. Dalam kasus ibu hanya bisa menghabiskan waktu beberapa jam saja bersama anak, perkembangan anak menjadi tergantung juga pada sosok pengasuh yang menggantikan ibu selama ibu tidak berada bersama anak. Apabila pengasuh tersebut mampu memenuhi kebutuhan anak, dan memperlakukan anak dengan baik, maka anak pun bisa membentuk secure attachment dan konsep diri positif. Ibu harus memahami bahwa kunci perkembangan anak tidak lagi terletak pada dirinya saja. Jadi, dalam hal ini, tugas ibu adalah memastikan bahwa ketika orang lain menggantikan dirinya mengasuh anak, orang tersebut adalah seorang yang mampu mengayomi anak dengan baik. 

Sabtu, 30 Maret 2013

Ibu Rumah Tangga Lebih Depresi?

Yah, satu lagi berita yang menambah buruk citra peran ibu rumah tangga adalah hasil penelitian yang mengungkap bahwa ibu rumah tangga lebih sering mengalami depresi daripada ibu bekerja. Benarkah ini?
Hasil penelitian memang tidak berkata bohong. Akan tetapi, dalam membaca berita-berita tentang hasil penelitian, kita harus cermat. Begitu pula saat kita membaca hasil penelitian yang menyebutkan bahwa ibu rumah tangga lebih cenderung mengalami emosi negatif dibandingkan ibu pekerja. Yang perlu diperhatikan, di antaranya adalah :

Apakah kita telah membaca berbagai hasil penelitian, ataukah hasil penelitian yang kita baca di media-media itu sebenarnya adalah hasil dari satu penelitian saja? Sebagai contoh, saya sebutkan bahwa hasil penelitian yang mendapatkan hasil bahwa ibu rumah tangga lebih depresi dibanding ibu bekerja diliput dalam situs-situs berikut:

  • http://nusaresearch.net/public/news/92-Ibu_Rumah_Tangga_Lebih_Depresi_Daripada_Wanita_Bekerja,_Benarkah?.nsrs
  • http://wolipop.detik.com/read/2013/01/29/121819/2155074/857/ibu-rumah-tangga-lebih-depresi-daripada-wanita-bekerja-benarkah
  • http://health.liputan6.com/read/404406/studi-ibu-rumah-tangga-cenderung-mudah-depresi
  • http://life.viva.co.id/news/read/316215-stress-mana--menjadi-ibu-atau-wanita-karir-

Ternyata, dari keempat berita di atas, semuanya bersumber dari satu buah penelitian yang sama. Anda bisa coba mengeceknya.

Bagaimana dengan subjeknya? Siapakah ibu-ibu yang diteliti tersebut? Apakah mereka adalah ibu dengan anak yang masih kecil, atau ibu dengan anak yang sudah besar? Umumnya, penelitian yang membandingkan kondisi psikologis antara ibu rumah tangga dengan ibu bekerja dikenakan pada ibu-ibu yang baru saja melahirkan dan ibu-ibu yang anaknya masih berusia balita. Berikut adalah hasil penelitian yang diulas dalam
http://health.kompas.com/read/2011/12/14/18174228/Ibu.Rumah.Tangga.Lebih.Mudah.Depresi

Para peneliti dari University of North Carolina menganalisis 1.364  ibu yang baru melahirkan, dan mengikuti perkembangan dalam keluarga tersebut dalam waktu 10 tahun terakhir. Penemuan ini dipublikasikan dalam Journal of Family Psychology yang diterbitkan oleh American Psychological Association.Dalam kasus kesejahteraan, ibu bekerja memiliki tingkat kesehatan yang lebih baik secara keseluruhan, dan gejala depresi yang lebih rendah dibanding ibu rumah tangga. 


Bukankah kita semua tahu, bahwa kondisi emosi negatif, termasuk depresi, wajar sekali jika dialami oleh ibu yang mengasuh anak berusia balita. Faktor pertama adalah karena saat itu ibu baru mengalami masa penyesuaian, pergantian dari peran sebagai pekerja menjadi peran sebagai pengasuh anak. Faktor kedua, anak balita (termasuk bayi), memang lebih menyita tenaga saat kita merawat mereka. Tidak hanya karena mereka belum bisa apa-apa sehingga membutuhkan bantuan kita nyaris 100 persen dalam memenuhi kebutuhan mereka, tetapi juga karena kita harus lebih waspada menjaga mereka dari bahaya. Kita sebagai pengasuhnya, baru bisa beristirahat manakala mereka tertidur. Beda sekali dengan keadaan jika anak kita sudah besar, di mana mereka sudah bersekolah dan sudah lebih mandiri. Saat itu, kita lebih punya waktu untuk diri sendiri. Jadi, bisakah kita membayangkan bagaimana hasilnya jika penelitian dilakukan pada ibu-ibu yang anaknya sudah berusia lebih besar? Saya justru yakin, hasil penelitian akan berbalik. Bukankah ibu rumah tangga baru menikmati hasil jerih payahnya ketika anak sudah besar? Tidakkah saat itu ibu rumah tangga merasa lebih bahagia melihat anak-anaknya yang berkepribadian baik, hasil didikannya?
Di sini, yang ingin saya katakan sebetulnya adalah, bahwa kita tidak perlu jadi merasa malang mendengar berita-berita tersebut. Kita harus kritis membaca berita-berita tersebut. Dan yang tak kalah penting, kita harus menyadari, bahwa bagaimana pun juga, berita kadang bermuatan politik, dalam arti, orang yang menggembar-gemborkan berita tersebut kadangkala mempunyai tujuan yang subjektif, misalnya saja sekelompok kaum pengusung feminisme, yang ingin agar lebih banyak wanita memilih karir. Oya, bukankah yang lebih keras suaranya di media adalah wanita-wanita karir (psikolog, dokter)? Saya rasa, ibu rumah tangga nyaris tak terdengar suaranya, karena mereka terlalu sibuk mengurus anak di rumah, dan juga karena mereka bukan 'orang-orang penting' yang dekat dengan media.

Selasa, 19 Maret 2013

Ketika Suami Beda Keyakinan

Betapa beruntung apabila kita menjalani peran ibu rumah tangga dengan didukung sepenuhnya oleh suami, dalam arti suami memang menghendaki kita di rumah full-time mengurus anak, sementara dia yang fokus mencari nafkah. Akan tetapi, banyak juga ternyata di antara kita yang justru kurang didukung oleh suami. Kita berbeda pendapat dengan suami, sementara kita meyakini bahwa yang terbaik adalah diri kita mengasuh anak di rumah dan tidak bekerja di luar, suami justru menginginkan kita juga membantu dia mencari nafkah dengan bekerja di luar.
Saya sendiri mengalami hal ini. Saya memang sudah keluar dari tempat saya bekerja sejak hamil muda, karena takut risiko terjadi masalah dengan janin saya apabila saya pergi-pulang naik sepeda motor untuk jarak yang cukup jauh. Memutuskan berhenti kerja ini mudah-mudah saja, karena kebetulan gaji saya waktu itu tidak begitu besar, dan juga karena suami sendiri paham dengan risiko naik sepeda motor yang bisa mengancam keselamatan janin. Dengan demikian, saya sudah berstatus tidak bekerja, ketika anak saya lahir. Sesudah anak saya lahir, saya memang tidak punya keinginan untuk mencari pekerjaan lagi karena tidak rela meninggalkan anak saya dalam asuhan orang lain. Masalah muncul ketika suami saya mulai merasa pendapatan keluarga kami tidak cukup. Waktu itu (tahun 2009), gaji suami saya 2,7 juta, dan tidak ada tunjangan dokter atau rumah sakit, atau tunjangan apapun lainnya. Tapi karena saya keras kepala, saya hanya diam saja mendengar keluhan suami saya. Saya berusaha meyakinkan dia bahwa gaji sebesar itu masih cukup untuk hidup. Mungkin saya memang beruntung, karena saya tinggal dekat dengan orangtua saya, sehingga sering diberi lauk oleh ibu saya, dan saya masih bisa meminjam uang ketika uang sudah habis. Jadi, saat itu memang tiap bulan kami 'gali lubang tutup lubang.' Saya pun berusaha menghemat pengeluaran. Sabun mandi saya pilih yang paling murah. Barang-barang yang tidak perlu, tidak saya beli. Saya tidak beli pakaian, tas, sepatu. Sebenarnya memang kebetulan saya tidak suka fashion (hehehe). Barang yang paling saya suka adalah buku dan CD musik atau DVD film, tapi ini pun tidak saya beli lagi sama sekali. Jajan juga saya kurangi. Yang tadinya saya tidak biasa memasak, kemudian perlahan-lahan saya tambah sering memasak. Urusan anak, saya memberinya ASI eksklusif, sehingga tidak perlu ada biaya untuk susu formula. Saya juga tidak mengenakan popok sekali pakai pada anak saya tiap malam (saya pilih bangun beberapa kali malam hari untuk mengganti popok), hanya pada saat saya tidak enak badan saja saya pakaikan popok sekali pakai itu, dan juga pada saat harus membawa anak saya pergi keluar. Pada awalnya, saya memang sering mengambil uang di tabungan, hingga jumlah uang tabungan saya menjadi semakin sedikit. Akan tetapi, proses penghematan itu lama-lama semakin mulus. Saya pun lama-lama jadi terbiasa semakin bergaya hidup hemat.
Sebenarnya ketika anak saya berumur 4 bulan-an, saya tidak sengaja bertemu dengan dosen saya, dan ditawari sebuah pekerjaan (sebagai guru bimbingan konseling) di sebuah sekolah favorit bergengsi. Tawaran itu sempat datang lagi ketika anak saya berumur 1 tahun-an. Akan tetapi, saya langsung menolaknya, dengan alasan tidak bisa meninggalkan anak saya. Waktu itu bahkan saya tidak menceritakannya kepada suami saya, karena takut didesak untuk bekerja lagi.
Saya bisa memahami bahwa kerap kali kita sebagai manusia tergiur akan uang. Suami saya sendiri kadangkala juga merasa iri pada temannya yang istrinya punya penghasilan besar dan disayang oleh bosnya. Akan tetapi, saya selalu berpikir bahwa keluarga yang istrinya bekerja, justru sebaliknya juga, merasa iri pada keluarga yang istrinya di rumah full-time mengasuh anak. Jadi, menyikapi hal ini, saya hanya berpikir bahwa memang 'rumput tetangga lebih hijau'. Saya tahu bahwa banyak suami yang justru ingin istrinya di rumah, tidak berkarir di luar. Yah, memang manusia cenderung iri satu sama lain. Saya sendiri, kadang-kadang benar-benar merana tergiur akan uang ketika ingat bahwa saya ingin sekali bisa memberi sesuatu, termasuk juga memberi hadiah ulang tahun untuk orang-orang yang saya cintai, mama saya, adik saya, namun saat ini tidak mampu. Bukannya suami tidak mau membelikan hadiah tersebut, tapi karena memang saya enggan meminta, saya lebih puas kalau saya memberi dari penghasilan saya sendiri. Saya sedih memikirkan bahwa orangtua saya masih harus mencari nafkah sendiri di usia yang sudah menginjak usia lanjut. Ingin sekali saya bisa mencukupi nafkah kedua orangtua saya.
Akan tetapi, keinginan untuk berpenghasilan sendiri itu terkalahkan oleh motivasi saya untuk mendampingi anak saya full-time di rumah. Saya mempunyai keyakinan bahwa anak paling bahagia jika bisa selalu bersama ibunya. Saya sendiri mengalami bagaimana senangnya dengan hadirnya ibu di rumah - ketika masih SD, saya merasa kasihan pada teman saya yang ibunya bekerja di kantor sehingga tidak bisa bertemu ibunya sepulang sekolah. Selain itu, saya juga kebetulan pernah membaca bukunya Steve Chalke tentang Orangtua Karier. Di situ Steve Chalke justru menegaskan bahwa anak mengukur kasih dengan waktu. Tentang kata-kata Steve Chalke ini, saya sudah membuktikannya, yaitu dengan apa yang saya rasakan dan alami terhadap relasi saya dengan ibu saya dan ayah saya. Saya lebih merasa disayangi oleh ibu saya daripada oleh ayah saya, karena ibu saya selalu hadir untuk saya.
Di samping itu, saya tahu bahwa waktu emas untuk mendidik anak adalah sebelum ia terlanjur besar. Saya selalu membayangkan, apa yang terjadi apabila saya menekuni karir namun meninggalkan anak saya. Dalam bayangan saya itu, saya berpikir, mungkin saya jadi sukses, namun apa artinya semua kesuksesan itu apabila saat itu saya memandangi anak saya yang berkepribadian buruk, tidak peduli terhadap saya, dan sudah tidak terkendali. Saya yang berprofesi sebagai psikolog tidak ingin berhasil mengurusi anak orang lain namun gagal mengurusi anak sendiri. Saya juga mengenal benar diri saya, bahwa apabila saya terlanjur berkecimpung di dunia kerja, saya akan konsentrasi luar biasa besar di sana, hingga mengabaikan hal-hal lain, dan tentu saja risikonya, bisa-bisa saya mengabaikan anak saya sendiri.
Ternyata, tantangan tidak berhenti dalam hal finansial saja. Saya yang terbiasa sejak kecil menerima pujian atas prestasi saya, jadi benar-benar haus pengakuan atas kemampuan saya ketika saya hanya di rumah mengurus anak. Tak ada sesuatu hasil kerja yang menunjukkan kemampuan saya. Kemampuan otak saya jadi benar-benar tidak ada buktinya sekarang. Saya pun mulai merasa peka terhadap sikap keluarga suami saya, yang kadang menanyakan tentang praktik psikologi saya. Entah benar atau tidak, kadang saya berpikir mereka ingin saya bekerja dan membantu suami saya menghasilkan uang. Saya rindu saat-saat sekolah dan kuliah dulu, di mana guru dan dosen memandang saya sebagai seorang murid yang pintar. Jadi mulai muncullah rasa minder, yang sebenarnya rasa minder ini berasal dari diri saya sendiri. Sebenarnya, sambil mengurus bayi saya, saya masih membaca buku-buku Psikologi untuk menambah ilmu, sambil terus mengatakan pada diri sendiri bahwa sekarang adalah saatnya menimba ilmu dulu, mengisi diri dengan ilmu, sebelum suatu saat nanti kembali berkecimpung di dunia kerja. Akan tetapi, tetap saja saya merasa haus prestasi. Lagipula, saya ingin menjadi orang yang berguna untuk orang lain. Beruntung sebelum saya melahirkan, saya sempat membuat blog berisi artikel-artikel psikologi tentang problem perilaku anak dan cara mengatasinya. Saya rajin mengecek jumlah pengunjung blog saya itu, yang ternyata semakin lama, semakin banyak pengunjungnya.Yah, setidaknya, saya jadi merasa masih ada yang dibanggakan, karena ini juga merupakan apresiasi orang lain atas kemampuan saya.
Kita yang sudah menjalani sendiri peran ibu rumah tangga ini, tentu menyadari bahwa ternyata peran ini banyak menuntut kita untuk menjadi rendah hati. Kita tidak hanya berkorban secara fisik (tenaga), tetapi juga berkorban secara emosional, termasuk mengorbankan gengsi dan harga diri kita. Akan tetapi, kalau kita mau refleksikan lagi, bukankah ini adalah jalan yang diberikan Tuhan untuk mengajar kita agar kita lebih bijaksana dalam memandang arti hidup ini. Tuhan menginginkan kita tidak hanya mengukur sebuah kehidupan dengan uang atau popularitas atau gengsi. Kita diajari-Nya menikmati kebaikan hidup yang bukan datang dari materi maupun gengsi. Kita diajari-Nya menikmati keindahan hidup dari kesederhanaan dan kasih sayang. Bukankah dua hal ini lebih abadi sifatnya?

Selasa, 12 Februari 2013

Periode Emas

Kita semua pasti pernah mendengar bahwa usia balita adalah golden age atau golden period, atau periode emas. Ternyata hal ini juga ditegaskan oleh Stanley I. Greenspan. Ia mengatakan bahwa masa kanak-kanak awal ini merupakan masa yang kritis dan rentan dalam perkembangan tiap anak. Dia menjelaskan bahwa dalam tahun-tahun pertama kehidupan anak inilah dasar-dasar dari pertumbuhan intelektual, emosional, dan moral diletakkan. Jika orangtua gagal melakukannya pada periode emas ini, seorang anak masih mungkin untuk mencapainya, akan tetapi, 'harga' yang harus ditebus terlanjur menjadi mahal dan kesempatan suksesnya pun menjadi semakin sedikit atau menurun seiring bertambahnya usia anak. 

Wow, kalau begitu, bukankah dengan menjadi ibu full-time pada masa balita anak kita, yang mengasuh sendiri anak kita di tahun-tahun pertama kehidupannya, itu berarti kita sudah memilih jalan yang paling aman dan hemat ya?

Berikut adalah kutipan asli dari buku Stanley I. Greenspan yang berjudul “The Irreducible Needs of Children : what every child must have to grow, learn, and flourish” karangan Stanley I. Greenspan, M.D. dan T. Berry Brazelton, M.D.

Early childhood is both the most critical and the most vulnerable time in any child's development. Our research, and that of others, demonstrates that in the first few years, the ingredients of intellectual, emotional, and moral growth are laid down. If they are not, it is true that a developing child can still acquire them, but the price rises and the chances of success decrease with each subsequent year. We cannot fail children in these early years.  (h. x).

Kamis, 31 Januari 2013

Semua Berawal dari Interaksi Emosional

Interaksi emosional ibu dan anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak, ternyata menjadi dasar bagi terbentuknya kepribadian anak. Ini diungkapkan oleh Stanley I. Greenspan, M.D., seorang profesor dan praktisi di bidang psikiatri anak. Ia yang telah berkecimpung selama puluhan tahun menggeluti anak-anak dengan berbagai permasalahan, dalam beberapa bukunya mengungkapkan pentingnya relasi yang timbul dari interaksi emosional ini. Dia mengatakan bahwa seorang anak tumbuh menjadi pintar, kreatif, mampu berpikir logis, mampu memecahkan masalah, namun juga penuh kasih sayang dan empati, serta bermoral baik, kuncinya terletak pada pengalaman emosional yang dialami anak tersebut semasa kecilnya, yaitu sebuah perjalanan masa kecil yang 'kaya' bersama orangtuanya. Hal yang paling esensial untuk menumbuhkan inteligensi, moral, empati, intimasi dengan orang lain, kepercayaan diri, bukanlah mainan edukasi, kelas pra-sekolah yang bagus, les-les ataupun kegiatan ekstrakurikuler yang memadati jadwal, melainkan adalah DIRI KITA, yaitu waktu yang kita berikan untuk mereka, tiap jam, tiap hari, tiap minggu, tiap tahun, untuk mengadakan interaksi intim dengan mereka yang kaya emosi. Anak-anak kita membutuhkan pikiran kita, kehadiran kita, dan juga jiwa kita. 

Berikut adalah cuplikan dari isi buku "The Four-Thirds Solution" karangan Stanley I. Greenspan dan Jacqueline Salmon.


Over the years, in my research and practice, I have learned much about how children grow emotionally and intellectually and the ways in which they develop the traits that are critically important in adulthood. We’ve discovered that children move through stages, or milestones, in their first three years. We can even pinpoint in some details certain emotional interactions that must occur between children and those who care for them at each stage of their development if they are to master these milestones.
In other words, we are beginning to sketch out the road map to the development of an intelligent, creative, logical, can-do person who can think in abstraction and solve tough problems and yet also be nurturing and empathetic. We now know that such individuals have experienced specific types of emotional interactions. We’ve been able to divide these critical experiences into six stages. In addition, the elusive moral compass we all so desperately want for our children appears to develop from these same emotional interactions. Our children’s sense of self, as well as their self-esteem, also blossom as a result of traveling this rich journey with their parents.
Some of these interactions take place in the seemingly silly make-believe games we play with babies in which we pretend to be their horse of favorite bunny. During an infinite number of subtle, day-to-day encounters, we tune into our infants’. Toddlers’, and preschoolers’ emotional reactions to the world with our own emotional chemistry.
This journey is not all fun and games. Some of the important interactions take place during the difficult times of parenting: When we’re in the trenches, struggling to deal with a small child’s stubbornness, anger, of willfulness or cuddling and rocking them because they’re irritable or upset, we are giving them priceless lesson.
The most important point to remember is this : The essential ingredient needed to grow intelligence, morality, intimacy, empathy, sense of self, and self-esteem in our children is not educational toys, nursery school classes, trips, tutoring, or the extracurricular activities that fill our schedules and those of our children to the brim. The key ingredient is regular, substantial doses of us. The hours we devote each day, each week, each month, each year to every imaginable type of intimate interaction with babies and small children – through pretend play, empathetically reading their emotional signals and moods, debating with them, satisfying their curiosity about the world, guiding them within the structure of firm values and limits-all of these go toward this ultimate goal of raising a warm, intelligent, moral human being. Our children require our minds, our presence, and souls. In practical terms, this means they require more of us than our busy society encourages.

(Greenspan, S.I., Salmon, J., 2002. The Four-Thirds Solution. Da Capo Press. hal.6-8)



Jumat, 25 Januari 2013

Satu lagi, Apa Kata Ahli

Mari kita tengok kata psikiater anak terkemuka, yang namanya sudah tidak asing lagi dalam dunia psikiatri anak dan psikologi perkembangan anak, Stanley I. Greenspan, M.D., tentang pentingnya relasi orangtua-anak dan pentingnya jumlah waktu kebersamaan orangtua dengan anak. Yah, sejauh yang saya ketahui, semua para ahli perkembangan anak, yang benar-benar peduli dengan anak, selalu mendukung orangtua untuk memberikan perhatian dan waktu yang cukup untuk anak-anaknya. Mereka ini tak dapat berpaling ataupun berkelit dari kenyataan bahwa anak-anak sangat membutuhkan kehadiran orangtua, bahkan ketika mereka harus menghadapi sikap kontra dari pihak-pihak yang tidak setuju terhadap saran mereka yang dinilai bertentangan dengan gerakan feminisme, yaitu menghalangi para ibu untuk berkarier, atau merugikan pihak pebisnis day-care. Satu alasannya, mereka hanya ingin anak-anak mendapat yang terbaik. 

Buku : The Irreducible Needs of Children






Dalam buku ini, dibahas bahwa 3 dari 6 kebutuhan anak yang mutlak harus dipenuhi agar anak berkembang optimal antara lain adalah :


  1. Kebutuhan akan sebuah relasi yang mengayomi yang berkesinambungan.
  2. Kebutuhan akan perlindungan fisik, keamanan, dan keteraturan.
  3. Kebutuhan akan komunitas yang stabil dan suportif.

 Berikut adalah review yang ditulis oleh salah satu pembacanya : 
"Gail Hudson's review above words things a little oddly. True, you could argue that this book says children ideally should be in day care less than 30 hours a week, but what it actually says it that ideally, an infant should be at home with a full=time parent! Less than ideal is excellent day care, and it should not happen more than 30 hours a week.
These and other specifics are in this book - how many floor sessions to have with a toddler, how much holding time an infant needs, how many hours of one on one an elementary schooler needs. This book is marvelous. All parents will find they've fallen short of the ideal, but here's some directions to follow in geting back on track."


Buku : The Four-Third Solution


Review :
"Back in the Middle Ages (or before 1965), Mom usually stayed home while the children were little, and enjoyed playing with her children. Since then, the new ideal is for parents to both have great educations, demanding careers, and a nice family. The research in 1965 said that with "quality time" and love that all of this was possible. Now, Dr. Greenspan argues that until age five children need to have a lot of dedicated time from the same caregiver, ideally a parent, and not too much time in loosely supervised day care. The research in this book suggests that almost all day care is not "quality time" and such day care must be held to a minimum.
The basic concept of how to deal with this is to first have the parents rethink their lives so that the children get the attention they need while under five, and use the best quality day care you can access the rest of the time. While the book's title suggests that each parent works two-thirds time and parents one-third time, in practice most families will adopt some other solution that creates at least two-thirds of one parent's time to be with the youngest children in the family. The book contains six examples of how this is accomplished (including one divorced couple splitting days and visiting briefly each day, one stay-at-home Dad, one "tag-team" couple who works adjacent shifts and covers for the family when off duty, one "working out of the home" Dad, a traditional family where Mom does the heavy parenting and Dad helps out when not working, and one couple who does the two-thirds, two-thirds part-time jobs solution suggested by the book's title)."