Sabtu, 27 April 2013

Apa yang Lebih Penting daripada Parenting Skills?

Coba tebak, apa yang lebih penting daripada keterampilan pengasuhan (parenting skills)? Gordon Neufeld, Ph.D, seorang psikolog perkembangan yang berpengalaman menggeluti dunia anak-anak dan remaja selama lebih dari 40 tahun, mengatakan bahwa relasi kelekatan (attachment relationship) anak dengan orangtuanya adalah hal yang lebih penting daripada semua parenting skills. Tak ada parenting skills di dunia ini yang mampu menyelesaikan dan mengatasi problem yang muncul dari kurangnya relasi kelekatan anak-orangtua.
"Rahasia parenting tidak terletak pada apa yang dilakukan orangtua, melainkan siapakah orangtua di mata anak. Apabila anak kita mencari kontak dan kedekatan dengan kita, maka saat itu, peran kita sebagai seorang pengasuh, pengayom, pembimbing, teladan (model), guru, atau pelatih, sedang diperkokoh dan diperkuat. Bagi seorang anak yang mempunyai kelekatan baik dengan kita, kita adalah tempat berlabuh dalam petualangan mereka di dunia ini, tempat ke mana mereka akan kembali, dan sumber segala inspirasi. Semua parenting skill di dunia ini tak mampu mengkompensasikan kekurangan pada relasi kelekatan."


Berikut adalah cuplikan asli dari buku "Hold On to Your Kids : Why Parents Need to Matter More Than Peers," karangan Gordon Neufeld, Ph.D dan Gabor Mate, M.D., yang diterbitkan Ballantine Books, tahun 2006.
"The secret of parenting is not in what a parent does but rather who the parent is to a child. When a child seeks contact and closeness with us, we become empowered as a nurturer, a comforter, a guide, a model, a teacher, or a coach. For a child well attached to us, we are her home base from which to venture into the world, her retreat to fall back to, her fountain head of inspiration. All the parenting skills in the world cannot compensate for a lack of attachment relationship." (page 6)

Kamis, 25 April 2013

Jangan Cemaskan Kemandirian Anak

Tidak sedikit ibu rumah tangga yang cemas ketika melihat bahwa anaknya cengeng dan sulit berpisah dari ibu saat anak-anak ini mulai masuk sekolah. Kenapa anak-anak kita ini tampak lebih manja dibandingkan dengan anak-anak lain? Apa benar ini salah kita, yaitu gara-gara kesehariannya kita selalu ada di samping anak dan selalu siap menolongnya, sehingga anak kita menjadi lebih manja dan tergantung pada kita, ibunya? Kalau diamati, mengapa justru anak-anak yang ibunya full-time di rumah ini, tampak sebagai anak 'sulit'?
Sulitnya anak berpisah dari ibu, memang tak lain disebabkan karena selama ini, ibu menghabiskan waktu paling banyak bersama anak dan dengan demikian ibu menjadi figur lekat anak. Anak merasa paling nyaman berada bersama ibunya, dan ini sama sekali tidak salah, karena anak berarti sudah mengembangkan apa yang disebut secure attachment. Secure attachment ditandai dengan kecenderungan anak untuk mencari dan mendekat pada figur lekatnya ketika ia merasa tidak aman atau ketakutan.
Anak-anak yang mengembangkan kelekatan dengan ibunya, kurang percaya pada orang lain yang asing. Akan tetapi, kondisi ini tidak berlangsung lama. Anak yang telah berhasil mengembangkan secure attachment, hanya pada waktu awal-awal saja merasa tidak nyaman. Ia mempunyai landasan rasa aman yang kuat dalam dirinya, sehingga, dengan sejenak beradaptasi - yaitu melihat dan menilai kondisi lingkungan barunya, ia pun akan segera merasa aman dalam lingkungan baru tersebut.
Lantas, apakah anak-anak ini di kemudian hari akan tetap menjadi anak yang kurang mandiri, khususnya dibandingkan dengan anak-anak yang ibunya bekerja? Beberapa penelitian mengungkap bahwa efek positif dari berkarirnya ibu di luar rumah adalah kemandirian anak. Tentu saja ini benar. Anak-anak yang ibunya bekerja memang lebih mandiri. Mereka lebih cepat mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Tapi, kita perlu cermati apa yang ada di balik kemandirian mereka. Mengapa mereka mandiri? Jawabannya adalah karena sehari-hari mereka sudah terbiasa dengan keadaan sendiri dan tidak menemukan orang yang selalu dapat diandalkan untuk menolongnya, sehingga mereka pun belajar mengandalkan dirinya sendiri. Jadi, bukankah kondisi tersebut sebenarnya adalah kondisi 'terpaksa'? Mereka mencoba-coba memenuhi kebutuhannya sendiri karena tak ada orang lain yang bisa dimintai tolong setiap saat. Dengan kata lain, apa yang ada di balik kemandirian ini adalah rasa tidak percaya pada orang lain, rasa tidak percaya bahwa orang lain bisa diharapkan untuk menolong atau bisa menjadi tempat bergantung saat dirinya membutuhkan.
Saya adalah anak yang dibesarkan oleh seorang ibu rumah tangga full-time. Mengenai kekurangmandirian saya, saya memang mengakuinya. Akan tetapi, saya telah membuktikan bahwa kemandirian bisa terbentuk dalam waktu yang singkat. Begitu saya menikah, saya dilepas oleh ibu saya. Pertama, saya akui memang berat. Saya harus mulai mengurus urusan rumah tangga sendiri dan juga merawat anak sendiri. Saya yang selama tinggal serumah dengan ibu saya hampir tak pernah mencuci pakaian, menyetrika, masak, bersih-bersih, kini harus mengerjakan tugas-tugas itu sendiri. Anehnya, keadaan terpaksa ini, nyatanya berhasil membuat saya mampu mengerjakan tugas-tugas itu! Jadi, dalam hitungan 1-2 tahun pernikahan, saya sudah terbiasa melakukan tugas-tugas itu secara mandiri. Yang ingin saya katakan di sini adalah, jangan kita berkecil hati saat melihat anak kita tampak tidak mandiri. Yakinlah bahwa kemandirian itu bisa dibentuk dalam waktu singkat. Ketika anak tumbuh dewasa, dan makin mampu secara fisik, ia pasti mampu menjadi mandiri. Yang dibutuhkannya hanyalah kemauan (dan keadaan terpaksa, hehehe). Membentuk kemandirian jauh lebih mudah daripada meletakkan dasar rasa aman dan percaya terhadap orang lain.
Yang perlu diperhatikan hanyalah kita berusaha agar anak belajar menguasai berbagai keterampilan, termasuk keterampilan bantu diri, dengan tujuan supaya mereka mengembangkan perasaan mampu. Jangan selalu turuti permintaan anak jika kita tahu bahwa mereka bisa melakukannya sendiri. Beri mereka kepercayaan dan dukung mereka semakin terampil, dan demikian, mereka merasa mampu, sehingga ketika berada bersama teman-teman atau menerima tuntutan tugas, mereka juga lebih percaya diri.

Selasa, 23 April 2013

Mengapa Ibu Lebih Baik?

Siapakah orang yang paling baik mengasuh dan merawat anak? Saya jawab, "ibunya." Saya punya beberapa alasan di balik pemikiran saya bahwa ibu adalah figur yang paling tepat untuk mengasuh anak pada tahun-tahun pertama kehidupannya. Kali ini saya tidak menjamin bahwa apa yang saya tulis di sini bersifat ilmiah (terbukti melalui hasil penelitian), saya hanya menggunakan logika dan hasil observasi saya saja.

Ibu lebih baik daripada nenek, karena :
  • Ibu punya tenaga dan fisik yang lebih baik (prima) daripada nenek. Tenaga ini sangat dibutuhkan ketika merawat anak usia 0 hingga balita, karena anak-anak pada usia ini, sangat bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya (nyaris sama sekali belum mampu mandiri). Tenaga yang prima juga dibutuhkan untuk menemani anak bermain mengeksplorasi lingkungan. Kita semua tahu bahwa anak-anak mempunyai tenaga yang luar biasa, aktif sekali bergerak, dan oleh karena itu, orang yang mengasuhnya, perlu bisa mengimbanginya. 
  • Ibu lebih tegas daripada nenek. Berdasarkan pengamatan saya, nenek lebih cenderung menuruti keinginan cucunya. Faktornya adalah karena nenek lebih berbelas kasih terhadap cucunya, dan juga karena nenek lebih lemah secara fisik daripada ibu, sehingga untuk berkonfrontasi dengan anak, seringkali nenek lebih memilih jalan mudah, yaitu menuruti keinginan anak. 
  • Ibu lebih santai dan lebih kurang dewasa dibanding nenek. Ibu, karena usianya lebih muda, di satu sisi, kurang bijaksana dan kurang pengendalian diri dibandingkan nenek. Akan tetapi, di sisi lain, usia yang muda ini membuat ibu lebih luwes, easygoing, lebih punya selera humor, sehingga lebih mampu bercanda bersama anak. Ibu lebih senang bermain saling gelitik, berguling-guling bersama anak, dan sebagainya. Ibu juga lebih mampu menolerir perilaku anak yang suka mengeksplorasi, memberantakkan mainan, bermain kotor-kotor, dan sebagainya.
  • Ibu mempunyai usia lebih panjang dibandingkan nenek. Anak membutuhkan figur lekat yang bisa mendampinginya selama belasan tahun ke depan. Apabila figur lekat ini adalah ibunya, maka asumsinya, anak akan bisa lebih lama didampingi oleh figur lekatnya.  
  • Ibu lebih sering mendekap anak, mencium anak, memberikan sentuhan fisik. Selain karena ibu menyusui anak, ibu juga secara natural lebih sering memeluk dan mencium anak, memberikan kehangatan secara fisik. 

Ibu lebih baik daripada babysitter atau pembantu, alasannya adalah karena babysitter/pembantu adalah seorang upahan, yang merawat anak dengan tujuan mendapat upah. Tentu saja ia tidak bisa dituntut untuk mengasihi anak dengan tulus, kita hanya bisa menuntut dia untuk memenuhi kebutuhan anak saja. Selain itu, pembantu/babysitter kurang mampu bersikap tegas dalam mengarahkan anak, karena ia merasa tidak punya wewenang penuh atas anak asuhnya. Belum lagi hal-hal negatif yang timbul seandainya dia (pembantu/babysitter) melakukan hal-hal berikut :
  • Senang menggunakan ponsel saat memomong anak, atau senang berbincang-bincang dengan rekan sesama pembantu/babysitter di kompleks perumahan, sehingga anak lebih sering dalam keadaan terabaikan, tidak diajak bicara, tidak diajak bermain.
  • Suka menggunakan kekerasan fisik terhadap anak. 
  • Suka membentak atau tidak mampu mengendalikan kata-katanya saat memarahi anak.

Bagaimanapun, ibu adalah orang yang secara alamiah punya naluri untuk merawat dan mengayomi anak. Ibu bisa memberikan apa yang tidak bisa diberikan oleh seorang upahan, karena ibu melakukan semuanya dengan kasih yang tulus ikhlas tanpa pamrih. Ibu selalu mempunyai tujuan dan harapan agar anaknya menjadi pribadi yang baik, dan karenanya, akan melakukan segala upaya untuk mendidik anaknya seperti yang diharapkannya. 
Anak yang diasuh langsung oleh ibunya, akan lebih patuh terhadap ibunya, karena ia menerima satu peraturan dan satu pola asuh, dan dalam hal ini, peraturan dan pola asuh dari ibunya menjadi dominan. Anak yang diasuh ibunya, umumnya juga lebih mempunyai konsep diri positif dan harga diri, karena ia banyak menerima ekspresi kasih sayang dari ibunya, lebih sering diajak tersenyum, dicium, dipeluk, diajak bermain.

Steve Biddulph mengatakan, "Ibu adalah orang yang paling diperlengkapi untuk memberikan apa-apa yang diperlukan seorang bayi. Ia juga merupakan orang yang paling bersedia dan termotivasi dalam mendekati anaknya, memberikan perhatian penuh kepada anak." Jadi, bagaimanapun juga, ibu adalah yang TERBAIK untuk anaknya. 

Minggu, 21 April 2013

WAKTU : Kualitas atau Kuantitas?

Terkait soal pengasuhan, yang sering dibahas psikologi adalah memberikan waktu secara berkualitas untuk anak. Kemudian, dari sini, berkembang anggapan dalam masyarakat, bahwa waktu yang jumlahnya sedikit namun berkualitas, bisa memenuhi kebutuhan anak, atau dengan kata lain, karena yang penting adalah kualitas, maka kuantitasnya seberapa pun tidak jadi soal. Selain itu, cukup banyak pula psikolog yang meyakinkan para ibu pekerja, bahwa masalah tidak akan timbul asalkan mereka meluangkan waktu secara berkualitas sepulang dari kerja. Di sini, saya ingin memperjelas topik ini, karena saya pun pernah mendapat pertanyaan terkait hal ini.
Anak memang membutuhkan 'waktu yang berkualitas', dalam arti, waktu yang dihabiskan bersama orangtuanya dengan interaksi yang berkualitas. Tidak sekedar berada di tempat yang sama dengan orangtuanya, tapi juga berinteraksi, berkomunikasi (verbal dan nonverbal), bertukar emosi dengan orangtua. Anak sangat bahagia ketika ia diajak bicara, diajak bercanda oleh orangtuanya, dan bermain bersama orangtuanya. Di situ ia merasa disayangi, dan merasa diperlakukan sebagai individu yang berharga di mata orangtuanya.
Tapi, permasalahannya, apakah waktu berkualitas yang sedikit jumlahnya, cukup bagi anak? Waktu berkualitas yang sedikit jumlahnya, memang mampu membuat anak bahagia saat itu, akan tetapi, bagaimana dengan saat-saat di luar 'waktu berkualitas' tersebut, yang jumlahnya justru lebih banyak? Apakah pada saat itu kebutuhan anak terpenuhi, dan anak juga menerima perlakuan yang baik?
Saya yakin, semua pasti setuju, bahwa kita makan sehari tiga kali, dan ini tidak bisa digantikan dengan makan sekali saja tapi dengan 3 porsi. Entah tepat atau tidak, tapi saya mengasosiasikan waktu berkualitas ini seperti halnya soal makan. Anak mempunyai kebutuhan sepanjang hari, dan ia butuh dipenuhi kebutuhannya pada saat-saat tersebut. Tidak bisa kalau kebutuhannya ini ditunda. Saat ia lapar, harus segera diberi makan; saat ia mengantuk, harus segera dininabobokkan; saat ia bad mood, harus segera dipeluk, digendong atau dihibur; saat ia basah, harus segera diganti pakaiannya; saat ia kotor, harus segera dibersihkan; saat ia mengalami kecelakaan, harus segera ditolong; saat ia kedinginan, harus segera dihangatkan, dan lain sebagainya. Pengasuhan anak tidak sama dengan tugas pekerjaan yang bisa dilembur. 
Dalam dunia psikologi perkembangan anak, dikenal istilah secure attachment. Sangat amat diharapkan bahwa pada masa-masa awal kehidupan anak, terbentuk secure attachment. Secure attachment ini adalah rasa aman dan kepercayaan yang dirasakan anak terhadap objek lekatnya (pengasuh). Secure attachment ini kelak berpengaruh besar pada kemampuan anak membentuk relasi intim dengan orang lain (intimacy). Nah, bahan dasar terbentuknya secure attachment ini adalah pengalaman dipenuhinya kebutuhan anak oleh figur pengasuhnya. Jadi, anak yang dipenuhi kebutuhannya oleh seorang pengasuh yang sensitif dan responsif, akan berhasil mengembangkan secure attachment. Kalau demikian, mampukah waktu berkualitas yang sedikit jumlahnya menghasilkan secure attachment? Tentu saja tidak. Secure attachment tidak terbentuk dalam waktu yang singkat. Secure attachment terbentuk dari proses, dari waktu anak bangun tidur, sampai ia bangun lagi di hari berikutnya, 24 jam sehari selama tahun-tahun pertama kehidupan anak.
Hampir serupa dengan itu, begitu pula konsep diri dan harga diri anak. Pembentukan konsep diri anak adalah sebuah proses, yaitu bagaimana anak diperlakukan setiap saat, dan bukannya bagaimana anak diperlakukan beberapa jam tiap harinya. Anak yang tiap malam dicium-cium dan dipeluk-peluk, namun ketika siang hari diabaikan, bahkan dimarah-marahi dan dibentak-bentak, tentu saja tidak mengembangkan konsep diri positif semaksimal anak yang setiap harinya pagi-siang-sore-malam diperlakukan penuh kasih.  
Berikutnya, kedalaman relasi ibu-anak. Agar anak bisa mempunyai relasi yang dekat dengan ibu, anak butuh mengalami kebersamaan dengan ibu, interaksi yang berkualitas, dan lagi-lagi, ini juga membutuhkan jumlah waktu yang banyak pula. Kita dekat dengan seseorang, itu hasil dari sebuah proses, yaitu kebiasaan kita bersama dengan orang tersebut. Semakin sering kita bersama orang tersebut, semakin banyak interaksi yang terjadi dan semakin baik kita mengenal orang tersebut. Kita bisa menengok, dengan siapakah kita paling dekat. Pasti orang tersebut adalah orang yang dengannya kita sering bersama. Kita yang sehari-hari bersama anak kita, bisa membandingkan bagaimana relasi anak kita dengan kita (ibunya), dan bagaimana relasi anak dengan ayahnya. Mengapa anak kita lebih dekat pada kita daripada kepada ayahnya? Jawabannya tak lain adalah karena kita lah yang lebih banyak menghabiskan waktu dengannya.
Saya sama sekali tidak mengatakan bahwa anak yang menghabiskan waktu beberapa jam saja bersama ibunya (karena ditinggal ibunya bekerja) akan gagal membentuk secure attachment ataupun gagal membentuk konsep diri yang positif. Tidak berarti demikian. Dalam kasus ibu hanya bisa menghabiskan waktu beberapa jam saja bersama anak, perkembangan anak menjadi tergantung juga pada sosok pengasuh yang menggantikan ibu selama ibu tidak berada bersama anak. Apabila pengasuh tersebut mampu memenuhi kebutuhan anak, dan memperlakukan anak dengan baik, maka anak pun bisa membentuk secure attachment dan konsep diri positif. Ibu harus memahami bahwa kunci perkembangan anak tidak lagi terletak pada dirinya saja. Jadi, dalam hal ini, tugas ibu adalah memastikan bahwa ketika orang lain menggantikan dirinya mengasuh anak, orang tersebut adalah seorang yang mampu mengayomi anak dengan baik.