Rabu, 05 September 2012

Penyesalan di Masa Depan, Dicegah Saat Ini

Sebuah penelitian terhadap 2000 orangtua memperoleh hasil bahwa 20 penyesalan terbesar para orang tua adalah berikut ini :
  1. Terlalu banyak bekerja
  2. Mencemaskan hal kecil
  3. Tidak banyak bermain bersama anak
  4. Tidak pergi berlibur bersama
  5. Tidak mengabadikan anak dalam foto
  6. Menghabiskan waktu tidak untuk keluarga
  7. Tidak merekam moment spesial dalam
  8. Tidak menikmati libur panjang ke suatu tempat
  9. Tidak mendorong anak untuk memiliki hobi tertentu
  10. Tidak saling berbagi hobi dengan anak
  11. Tidak membacakan dongeng/buku sebelum tidur
  12. Menghabiskan banyak waktu mencemaskan pekerjaan rumah tangga
  13. Tidak mengizinkan anak berenang lebih sering
  14. Tidak mengizinkan anak melakukan aktivitas yang membuat kotor
  15. Tidak mengajarkan berenang lebih awal
  16. Tidak menjadi bagian pada beberapa masa penting kehidupan anak
  17. Tidak menghabiskan waktu spesial (ulang tahun/hari raya) bersama anak
  18. Terlalu mengekang anak
  19. Selalu menunggu waktu spesial yang akan datang dan lupa menikmati berkah saat ini
  20. Tidak menikmati saat berjalan-jalan bersama anak
  • Lebih dari setengah orang tua menyesal tidak memiliki banyak waktu dengan anak-anak saat mereka masih kecil.
  • Penelitian ini juga menemukan bahwa 46 persen orang tua memiliki penyesalan karena sadar bahwa mereka tidak akan bisa mengulang waktu dan memiliki kembali tahun-tahun awal bersama anak-anak mereka.
  • 18 persen orang tua khawatir jika apa yang telah mereka lakukan atau yang tidak mereka lakukan akan berpengaruh pada kehidupan anak-anak mereka.
  • Dua dari tiga orang tua dalam penelitian mengaku bahwa mereka akan melakukan hal yang berbeda jika diberi kesempatan mengulang kembali masa-masa saat anak mereka masih baru dilahirkan.
  • Enam dari sepuluh orang tua yang baru memiliki satu anak memastikan bahwa mereka akan melakukan hal berbeda pada anak kedua agar tidak mengalami penyesalan yang sama.
  • Lebih dari 25 persen orang tua mengaku pernah memberi nasihat pada rekan atau saudara mereka yang telah memiliki anak agar tidak merasakan penyesalan yang sama.

Menurut Lauren Revell, yang menugaskan penelitian ini, "Banyak ayah dan ibu yang berharap agar mereka menghabiskan lebih banyak waktu berkualitas bersama anak-anak mereka, tetapi tekanan kehidupan membuat kesempatan itu kadang hilang,"  

Sumber : http://www.vemale.com/relationship/keluarga/14294-terlalu-banyak-kerja-penyesalan-terbesar-orang-tua.html 

Berdasarkan hasil tersebut, bisa disimpulkan bahwa penyesalan orangtua terbesar adalah terlalu banyak bekerja, sehingga tidak mampu memberikan cukup waktu untuk menikmati kebersamaan dengan anak.
Mungkin, di antara kita, banyak yang memilih peran ibu rumah tangga full-time karena alasan tidak ingin ada penyesalan di kemudian hari. Saya sendiri, juga melakoni peran ibu rumah tangga full-time karena tidak ingin bahwa di masa depan, saya hanya gigit jari menyesal telah kehilangan momen berharga masa kecil anak. Terbayang di benak saya, bahwa jika saya menggeluti karier (dan dengan begitu mengesampingkan anak saya), di masa depan saya akan sukses dalam karier, mungkin kaya raya, namun kesuksesan itu jadi tak ada artinya sama sekali ketika saya menangisi anak saya yang sudah terlambat dididik. Yah, sampai saat ini, semboyan yang terus saya pegang adalah begini, "Uang bisa dicari kapan saja, tapi waktu untuk mendidik anak tak akan pernah bisa kembali." Masa kecil anak tak pernah bisa diputar lagi. Jadi, sangat bijaksana jika kita menentukan mulai dari sekarang, apa yang akan kita lakukan agar tidak menyesal di kemudian hari. 


Selasa, 04 September 2012

Ayo Berdebat!

A : Tak masalah kalau bisa menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan.
B : Benar-benar seimbang adalah mustahil. 9 jam di luar rumah tak mungkin bisa diseimbangkan dengan 5 jam di rumah. Usaha mencari keseimbangan itu adalah sebuah kesia-siaan. Adakah seseorang yang merasa benar-benar berhasil mencapai keseimbangan itu?

A : Yang penting adalah quality time (waktu berkualitas).
B : Secara manusiawi, sulit bagi kita menyediakan quality time untuk anak sesudah seharian bekerja di kantor. Sebabnya adalah karena quality time juga menuntut fokus (pemusatan perhatian), keterampilan, dan energi, sama seperti pekerjaan di kantor. 

A : Ibu berkarir untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga.
B : Masalahnya, adakah patokan berapa jumlah gaji suami agar kita merasa cukup? Seseorang bisa merasa bahwa 2 juta gaji suami cukup untuk menghidupi keluarga, sementara yang lain berpikir 15 juta baru cukup. Definisi kebutuhan itu sendiri berbeda-beda. Ada yang bilang bahwa biaya pasang saluran televisi internasional, beli baju, makan di resto, jajan di mal, berenang akhir minggu, potong rambut di salon terkenal, kosmetik perawatan wajah adalah kebutuhan bulanan, sementara menurut yang lain, itu bukan kebutuhan bulanan.

A : Anak akan lebih senang, bahagia kalau punya fasilitas.
B : Coba tanyakan pada orang yang masa kecilnya hidup dalam keluarga sederhana, apakah ketika itu ia benar-benar ingin tinggal di rumah mewah, dengan mainan canggih, atau tetap merasa bahagia walau tinggal di rumah yang sempit, berpakaian lusuh dengan mainan yang bukan buatan pabrik. 

A : Kalau istri tidak bekerja, berarti keluarga tergantung pada suami secara finansial. Bagaimana kalau seandainya suami tiba-tiba meninggal?
B : Hidup keluarga memang saling tergantung satu sama lain antaranggotanya. Suami pun bergantung pada istri. Kalau Tuhan berkehendak mengambil suami, berarti Tuhan sudah siapkan rencana lain. Toh anak kita juga tidak selamanya bergantung pada kita. Jadi kita bisa kembali ke dunia kerja pada saatnya nanti. Oh ya, kalau dalam hidup ini kita hanya terus memikirkan kemungkinan buruk, kita takkan bisa bahagia.

A : Bukankah kalau usia kita semakin tua, semakin susah cari pekerjaan?
B : Siapa bilang aku ingin jadi pegawai lagi? Mungkin aku akan gali bakatku, dan berusaha cari peluang bisnis sendiri. Di rumah, kita justru punya kesempatan emas untuk mengasah keterampilan dan berkreasi.

A : Sekarang ini, hampir semua ibu bekerja. Berkarir, bekerja di kantor, adalah hal yang benar-benar normal.
B : Kalau benar-benar normal, semestinya ibu-ibu itu tak dihantui oleh perasaan  bersalah terhadap anak. 

A : Jadi ibu rumah tangga berarti menyia-nyiakan gelar yang sudah diraih. Eman-eman studi dan pendidikan yang sudah ditempuh. Otak kita akan nganggur di rumah.
B : Itu sama saja bilang ke anak, "Aku nggak mau buang-buang waktuku untuk bersamamu." Bukankah kalau anak diasuh oleh orang yang baik pendidikannya, akan lebih memungkinkan anak itu untuk terdidik secara lebih baik juga? Lagipula, sesungguhnya, berada di rumah membesarkan anak, memungkinkan kita sendiri untuk berkembang menjadi pribadi yang lebih bijaksana, kita bisa belajar tentang sisi lain kehidupan, dan memaknai kehidupan ini dengan lebih baik.

A : Aktivitas mengurus anak, dan juga pekerjaan rumah tangga, kan aktivitas sederhana. Menyuapi, memandikan, menidurkan, mengajak bermain anak, semua itu begitu sederhana. Cukup pembantu atau babysitter yang kerjakan.
B : Aktivitas anak, terutama waktu dia masih usia di bawah 3 tahun, memang tampak sederhana sekali. Tapi, suka atau tidak, lewat aktivitas-aktivitas sederhana itulah anak berkembang. Anak memang mempunyai tempo lambat, dan mungkin jadi tantangan buat kita orang dewasa yang terbiasa suka serba cepat. Proses seorang anak terdidik dan menginternalisasi nilai-nilai, adalah sebuah proses yang sangat lambat, perlahan-lahan yang tidak bisa kita lihat hasilnya seketika.

A : Di rumah membosankan, tak ada cukup banyak kegiatan.
B : Di rumah sangat banyak kegiatan. Buktinya, kalau kamu kirim SMS pada seorang ibu rumah tangga, dia terlambat membalas. Tapi kalau kamu kirim SMS pada wanita yang sedang bekerja di kantor, akan segera dibalas. Bermain bersama anak, semestinya tak pernah membosankan. Kita hanya perlu sedikit belajar seninya untuk bisa menikmati.

A : Tapi suami akan lebih menghargai istri bila istrinya juga pandai cari uang.
B : Memang beberapa suami yang istrinya di rumah full-time ingin istrinya juga bekerja supaya penghasilan keluarga semakin banyak. Tapi, suami yang istrinya bekerja, justru iri pada keluarga yang istrinya full-time mengasuh anak. Mereka berkata bahwa lebih ideal anak diasuh ibunya sendiri. "Rumput tetangga memang tampak lebih hijau."

A : Anak akan lebih mandiri kalau ibunya bekerja.
B : Usia berapa anak diharapkan mandiri? Usia 3 tahun, atau 12 tahun? Anak yang ditinggal ibunya bekerja, memang akan berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri, karena ia merasa tidak ada orang yang bisa diandalkan untuk menolong dirinya.

A : Biasanya, kalau ibunya tidak bekerja di luar, anak jadi super lengket dengan ibunya, dan waktu sekolah, bakal jadi cengeng.
B : Anak yg lengket pada mamanya, dan susah ditinggal mamanya, itu adalah salah satu tanda bahwa ia mempunyai secure attachment (kelekatan aman). Anak seperti ini di waktu awal perpisahan dengan objek lekatnya, memang cenderung cengeng, tapi sebenarnya dia mempunyai perasaan aman yang kokoh. Sesudah beberapa waktu terbiasa, dia akan mudah beradaptasi. Secure attachment adalah dasar dari rasa percaya dan optimisme terhadap orang lain (yang merupakan landasan kemampuan membangun hubungan interpersonal yang hangat).

A : Kata ahli, tidak masalah kalau ibu bekerja.
B : Adalah salahmu kalau kamu membiarkan dirimu asal percaya. Seringkali kita harus lebih percaya pada naluri dan suara hati kita.


Sebalnya mesti bergantung ...

Ketika sedang bertengkar dengan suami, atau juga kerabat dari keluarga suami, kita sering menyesali keadaan kita yang bergantung pada suami, bergantung secara finansial. Kita sebal dengan keadaan kita yang bergantung, berangan-angan seandainya saja kita mampu untuk menafkahi diri kita dan anak kita sendiri, seandainya kita mampu hidup sendiri. Keadaan kita sekarang, membuat kita tak bisa melakukan apa-apa selain bergantung pada suami, setidaknya untuk sementara waktu ini. Kita masih punya anak-anak, yang harus kita rawat, sehingga tak bisa dengan begitu saja meninggalkannya untuk bekerja di luar. Yah, dengan berat hati kita mengakui, kita bergantung.
Beberapa waktu yang lalu, ketika saya bertengkar lagi dengan suami saya, saya kembali sebal dengan keadaan saya yang bergantung. Akan tetapi, tiba-tiba dalam hati saya, Tuhan seolah mengingatkan saya. Sungguh tidak tepat apabila saya berangan andai saja saya dan juga wanita-wanita lain bisa mandiri merawat dan menghidupi anak seorang diri. Adanya anak, adalah peran dari dua orang, suami dan istri. Tak mungkin seorang anak lahir hanya dari seorang ibu tanpa keterlibatan ayah. Dengan demikian, memang Tuhan menghendaki supaya suami dan istri bersama-sama merawat dan membesarkan anak. Anak adalah tanggung jawab bersama suami-istri, dan tak mungkin bisa tanggung jawab ini dilimpahkan pada satu orang saja. Satu orang saja tak akan sanggup menjalani tanggung jawab ini. Jadi, betapa sombong diri kita kalau kita menginginkan diri kita tidak bergantung. Suka atau tidak, kita harus mengakui bahwa kita adalah manusia yang terbatas, dan kita selalu membutuhkan orang lain, bergantung kepada orang lain. Terima kasih Tuhan, Kau telah mengingatkan aku.