Rabu, 30 Oktober 2013

Pelajaran Berharga Untukku (Surat utk Sahabat)

Surat ini kutujukan untuk sahabat-sahabatku, para ibu yang sehari-hari menunggui anak-anaknya di sekolah bersamaku.

Bertemu dengan kalian telah mengajarkan banyak hal kepadaku. Dulu, aku menganggap bahwa menjadi ibu rumah tangga bukanlah sebuah profesi yang bergengsi, dan karenanya, aku sering minder ketika orang menanyakan apa pekerjaanku. Aku menjawab pertanyaan itu dengan menjelaskan bagaimana terpaksanya aku menjadi ibu rumah tangga, yaitu karena tak ada orang lain yang bisa dititipi untuk mengasuh dan merawat anakku, dan bahwa anakku sangat lekat padaku sehingga memang tak bisa ditinggalkan ke tangan orang lain – sekalipun menjadi ibu rumah tangga memang merupakan pilihanku sendiri, tapi aku merasa aneh dengan pilihanku itu. Tapi, sekarang, aku bisa dengan gampang menjawab sambil tertawa, “Sekarang saya cuma di rumah, momong anak,” tiap kali ada orang yang menanyakan pekerjaanku.

Melihat keceriaan kalian, kesederhanaan kalian, telah mengubah pandanganku. Kalianlah yang mengajariku untuk menerima peran ini dengan rendah hati. Kalianlah yang mengajariku, “Hei, di dunia ini kau tak harus menjadi seorang yang sukses, yang terkenal, yang disegani banyak orang. Kita nikmati hidup seadanya ini dan menjadi bahagia dengan apa yang kita miliki saat ini.”

Kalian bukanlah wanita-wanita kaya yang hidup mewah dari gaji suami, sebagaimana dibayangkan oleh banyak orang. Kalian bahkan tak punya pembantu, malah mesin cuci pun tidak, sehingga harus mencuci baju dengan tangan setiap hari. Kalian juga tak naik mobil pribadi untuk mengantar anak ke sekolah, tetapi hanya naik sepeda motor, atau angkot, atau ojek. Kalau kita saling bercerita, kita bercerita tentang bagaimana kita selalu membanding-bandingkan harga hanya untuk mendapatkan barang yang termurah, agar kita bisa menghemat uang kita, meski hanya 500 rupiah saja.

Kalian juga bukan ibu-ibu yang suka ‘ngerumpi’ tentang kejelekan orang lain. Kita menjalin persahabatan, selalu berusaha berkomunikasi baik-baik, menjaga perasaan satu sama lain. Kalau kita saling bercerita, kita tak ingin mengorek kehidupan pribadi orang lain, tapi menceritakan sendiri tentang kehidupan diri kita masing-masing,  berkeluh-kesah tentang betapa lelahnya kita sehari-hari mengurus anak dan rumah, betapa jengkelnya kalau anak kita tak mau makan, betapa sedihnya kalau melihat anak kita sedang sakit, atau bagaimana kita bingung kalau anak kita nangis-nangis di sekolah. Semuanya adalah curhat tentang pengalaman kita masing-masing. Membicarakan kehidupan orang lain... untuk apa? Kita sama sekali tak berminat.

Kalian juga bukan ibu-ibu pengangguran yang selalu sibuk dengan handphone, yang sebentar-sebentar mengecek pesan masuk, atau asik membuat status. Bahkan kalian tidak setiap hari membuka internet, online di facebook. Bukan karena kalian terlalu bodoh, tak bisa mengoperasikan komputer atau tidak mahir menggunakan fasilitas komunikasi modern ini, tapi karena kalian tidak memandang penting komunikasi dunia maya semacam ini. Kalian adalah wanita-wanita pintar dan terpelajar, yang tak kalah pendidikannya daripada para wanita karir. Kita saling terkejut bila mengetahui latar belakang pendidikan kita, bahwa ternyata kita semua adalah sarjana. Kita memang tak nampak seperti wanita-wanita intelek, karena sehari-hari kita berpakaian seadanya, berbicara tentang hal-hal yang sederhana, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sederhana.

Bisa menjadi sahabat kalian, adalah sebuah anugerah luar biasa bagiku. Aku belajar apa itu arti menjadi sederhana, belajar membiarkan diri mundur dari dunia yang penuh persaingan, belajar menghargai kesenangan-kesenangan kecil dari hidup ini, belajar tentang pengorbanan, belajar tentang ketulusan. Kalian bukan guru, bukan juga profesional, tapi aku belajar banyak dari kalian. Kalian mengajariku bagaimana menjadi tangguh, hidup penuh perjuangan dan pengorbanan tanpa sering mengeluh.

Kalian mengajariku, bahwa mengasihi adalah dari hati. Berbagi, adalah berbagi perhatian, berbagi dukungan. Memberi, tak harus ketika kita mempunyai materi yang berlimpah untuk diberikan. Hari itu, engkau memberiku dua sachet kopi instan yang baru saja beredar di pasaran. Hari berikutnya, kau memberiku pastel mini homemade buatanmu sendiri. Suatu hari, kau memberiku buah kersen yang kau petik dari pohon di sekolah, tiga butir buah kersen yang merah, “Ini enak, ayo ambil.. Yang dua ini titip buat mamanya Felix dan mamanya Yesaya ya, kalo nanti ketemu.”

Yah, aku sungguh beruntung bisa bertemu dengan kalian, sahabat-sahabatku yang begitu sederhana, begitu tulus. Belajar banyak hal dari kalian, aku menjadi lebih bahagia, dan lebih kuat. Doaku untuk kalian, semoga Tuhan selalu memberi kalian kesehatan dan kebahagiaan dalam hidup di dunia ini bersama anak-anak yang begitu kalian cintai. Tetaplah jaga kemurnian hati kalian ini, karena kalianlah yang membuat dunia ini lebih indah untuk ditinggali. Kalian begitu anggun, dengan mengenakan kesederhanaan itu. Aku bangga pada kalian, sungguh bangga, dan aku bangga menjadi bagian dari kelompok kalian. Semua yang telah kupelajari dari kalian ini akan menjadi pelajaran berharga seumur hidupku. 

Minggu, 27 Oktober 2013

Jika Tak Ada Kasih Sayang yang Cukup ...

Para ahli yang peduli terhadap anak (di antaranya Stanley I. Greenspan, M.D., Steve Biddulph), menandaskan bahwa kasih sayang adalah nutrisi vital untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Seorang anak menjadi terganggu perkembangannya, baik perkembangan emosional, sosial, maupun intelektual dan fisik, jika ia tidak dirawat oleh seseorang yang mengayomi dan mencukupi kebutuhannya akan cinta kasih. Jalan satu-satunya untuk membangun mental yang sehat, dan demikian membentuk pula perilaku yang sehat, adalah dengan mencukupi kebutuhan anak akan sebuah pengasuhan, perawatan, dan pengayoman yang penuh cinta pada tahun-tahun pertama kehidupan anak.
Dalam bukunya "The Challenging Child," Stanley I. Greenspan, M.D., membahas bahwa pengasuhan/perawatan yang kurang kasih sayang berisiko pada terjadinya masalah perilaku pada anak, antara lain perilaku agresif (suka menyakiti orang lain), manja (suka menuntut dan rakus), ketidakmampuan mengasihi orang lain, ketidakmampuan berempati, sikap apatis, perilaku menarik diri, dan perilaku merusak-diri.

"Kekurangan pengayoman (perawatan dgn cinta kasih) bisa mengarah pada perilaku agresif pada siapapun - baik anak yang sensation-seeking (karakter fisiknya mencari sensasi indra), maupun yang bukan. Anak yang aktif dan sensation-seeking memang mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mengalami pola perilaku agresif ini. Sementara anak lain yang kurang kasih sayang akan cenderung menunjukkan trauma ini dalam cara yang lain, yaitu sikap apatis dan menarik diri atau perilaku yang merusak-diri.
Proses pembentukan kelekatan kepada seseorang (attachment) - yang semestinya dimulai saat masa bayi dan berlanjut selama masa kanak-kanak - adalah fondasi esensial bagi perkembangan rasa kemanusiaan, sebuah perasaan penuh kasih, dan perhatian/kepedulian untuk orang lain. Tanpa adanya kontak cinta di masa bayi dan awal masa kanak-kanak, rasa keterkaitan dengan sesama mungkin selamanya tidak akan terbentuk. Anak akan melihat orang lain sebagai benda untuk disepak atau dimusnahkan ketika mereka menghalangi jalan. Mereka tidak bisa peduli kepada orang lain karena tidak ada seseorang yang secara konsisten peduli kepada mereka."

Lack of nurturing can lead to aggressive behavior in any child - whether or not he is sensation-seeking. The active, sensation-seeking child simply has a greater likelihood of such a pattern. Other children who are deprived of love are more likely to show their trauma in other ways, such as apathy and withdrawal or self-destructive behavior.
The process of forming an attachment to someone - which should begin in infancy and continue throughout childhood - is an essential foundation for developing a sense of shared humanity, a feeling of compassion, and concern for others. Without loving contact in infancy and early childhood, a sense of human connectedness may never materialize. The child may view other people as things to be kicked or destroyed when they stand in the way. They can't care for others because no one has consistently cared for them. (p. 238-239,242)


Pada bagian yang lain dalam buku tersebut, Stanley I. Greenspan juga mengatakan bahwa apabila anak tidak mendapatkan pengayoman dan cinta kasih yang cukup, dia akan menjadi suka menuntut dan rakus, karena dia terus-menerus merasa lapar.

"Perilaku manja sering terjadi ketika anak merasa tidak aman : Jika tidak ada pengayoman dan kasih sayang yang cukup, anak menjadi suka menuntut dan rakus, ugal-ugalan (tidak bertindak dgn pertimbangan) dan agresif, karena dia 'merasa lapar'."

Spoiled behavior often persists when the child feels insecure : if there is not enough nurturing, the child becomes demanding and greedy, inconsiderate and aggressive because he is hungry for more (p. 159).