Jumat, 21 Desember 2012

Sebuah Proses yang Tak Mungkin Instan

Sebuah senyuman yang disertai tatapan mata penuh sayang dari buah hati kita, atau pelukan dan ciuman hangat darinya yang dilakukannya dengan rela hati dan sepenuh hati, betapa hal itu membahagiakan dan mampu membuat diri kita merasa menjadi orang paling bahagia di dunia ini. Di sinilah terletak upah dari jerih payah kita 'bekerja' sebagai ibu yang merawat dan mengasuh sendiri anak kita, dan bukankah kita tahu itu semua tak mungkin kita peroleh secara instan? Untuk mendapatkan reward itu, ada sebuah proses yang memakan waktu lama. Mungkin proses itu adalah :

  • Sikap lembut kita saat mengganti popoknya. Kita membersihkan dirinya tanpa mengeluh dan merasa jijik, melainkan dengan senyuman hangat sambil berbicara kepadanya.
  • Kesabaran kita saat menemaninya berjalan-jalan, kita tidak berjalan cepat-cepat, bahkan sesekali memandangnya dan memberikan senyum kepadanya, serta menunjukkan hal-hal yang menarik kepadanya, seperti kupu-kupu, bunga yang indah.
  • Kita menemaninya bermain sambil terus siaga menjaga keamanannya. Kita menunjukkan sikap antusias saat bermain bersamanya, menyanyi untuknya dengan semangat, menggelitiknya, mendekapnya.
  • Kita menyuapinya dengan sabar.
  • Kita menggendongnya sambil menghibur saat ia merasa takut, sakit, atau tidak nyaman. Menerima tangisannya dengan sabar.
  • Kita memandikannya dengan riang hati. 
  • Kita mengantarnya tidur dengan usapan hangat dan belaian lembut. 
  • Kita menyambutnya bangun tidur dengan senyum gembira.


Dari antara yang saya sebut di atas, semuanya begitu sederhana, namun kita tahu bahwa tak satu pun yang akan dilakukan babysitter dengan rasa cinta sebesar cinta yang kita punya. Juga tak ada yang bisa dilakukan dalam hitungan waktu singkat. Semuanya adalah sebuah proses, yang berjalan perlahan-lahan. Kita sendiri pun bahkan sering lupa bahwa hal-hal sederhana yang kita lakukan sehari-hari untuk buah hati kita, merupakan sebuah proses dalam mempengaruhi kehidupan buah hati kita, menjadi sebuah proses membentuk dirinya, kepribadiannya. 
Semua orang, mau tak mau mengakui bahwa hal-hal semacam itu, yaitu relasi anak dengan orangtuanya, sama seperti juga karakter seorang anak, tak mungkin terbentuk dengan resep instan. Jadi, sekarang, kita para ibu full-time, harus tetap semangat dalam menjalani peran ini, meski kita tahu, upah kita adalah upah jangka panjang. Alasannya adalah karena kita tahu, upah yang akan kita raih, memang tidak bisa diraih dalam waktu singkat. Pekerjaan kita adalah sebuah proses yang tampak sederhana, tapi harus dijalani dengan sabar dan sepenuh hati, demi memperoleh upah tersebut. 

"Kita telah memilih yang terbaik, yang tak akan diambil dari kita."

Selasa, 20 November 2012

Berada di Posisi Terbaik, Lakukan yang Terbaik

Dengan menjadi ibu yang full-time mengasuh anak, berarti kesempatan untuk mencapai perkembangan anak yang paling optimal sudah ada di tangan kita. Kesempatan untuk membentuk anak kita menjadi pribadi yang punya konsep diri positif, percaya diri, bahagia, kooperatif terhadap orangtua (patuh terhadap perintah/larangan orangtua), jujur, bermoral baik, penuh kasih sayang dan empati terhadap orang lain, semuanya ada dalam genggaman kita. Pertanyaannya, bagaimana hal ini benar-benar terwujud? Bagaimana supaya keberadaan kita di rumah benar-benar memberikan manfaat seperti yang kita harapkan?
Menjadi ibu yang full-time merawat, mengasuh anak, berarti kita telah menjadi figur yang paling dekat dengan anak, yang sehari-hari dilihat oleh anak, dan turut memainkan emosi anak. Jadi, kendali jelas sudah di tangan kita. Saya katakan, kita sudah berada di posisi TERBAIK. Kita hanya perlu berusaha agar kesempatan itu sungguh-sungguh menjadi kenyataan.

Yang menjadi kuncinya adalah cara kita berperilaku, cara kita berinteraksi dengan anak kita maupun cara kita memperlakukan orang lain. Kita memang bukan manusia sempurna, namun, ini bukan alasan untuk berhenti berusaha melakukan yang terbaik. Ahli psikologi sekalipun, yang mengerti benar tentang perilaku pengasuhan yang ideal, harus tetap berusaha untuk mempraktikkan pengetahuannya. Jadi, setelah kita memperkaya pengetahuan kita tentang apa yang baik dalam mengasuh anak (misalnya dengan membaca-baca tips perkembangan anak), yang perlu kita lakukan adalah mempraktikkan tips-tips itu sebaik-baiknya.
Dalam praktik, ada kendala-kendala yang umumnya kita hadapi. Beberapa kesalahan yang biasanya kita lakukan :

Memberikan contoh buruk
Sifat buruk kita, secara tidak sadar kita biarkan terlihat oleh anak, dan menjadi contoh buruk baginya. Mungkin kita adalah orang yang ceroboh dan tidak rapi, tidak sabar, sulit mengendalikan kata-kata ketika marah, suka main pukul, suka mencela orang lain, atau enggan bersosialisasi dengan orang lain. Sifat-sifat buruk ini, tentu saja tidak ingin kita wariskan kepada anak kita. Jadi, apa yang sebaiknya kita lakukan? Yang paling penting adalah menyadari terlebih dahulu sifat-sifat buruk kita. Dengan menyadarinya, kita akan lebih mampu untuk mawas diri dalam perilaku sehari-hari. Tujuan kita bukanlah untuk menampilkan figur sempurna kepada anak, karena anak juga perlu melihat bahwa diri kita bukanlah manusia serba baik dan sempurna, anak perlu mengetahui bahwa kita juga penuh cacat dan kelemahan. Akan tetapi, kita hanya berusaha meminimalkan contoh buruk yang bisa dilihat oleh anak.

Kurang efektif dalam menghabiskan waktu bersama anak
Kita mungkin selalu berada di samping anak, dalam atap yang sama, namun, kita tidak bisa selalu fokus ke anak. Pekerjaan rumah tangga, biasanya sangat banyak menyita waktu kita. Oleh karena kita tidak bisa meninggalkan begitu saja urusan rumah terbengkalai, yang bisa kita lakukan adalah lebih fleksibel mengatur waktu. Ketika anak sedang ingin bermain bersama kita, kita bisa meninggalkan sejenak pekerjaan rumah, dan menemani anak lebih dahulu. Bermain bersama anak tidak hanya membuat anak merasa dirinya berharga, tapi juga bisa mengasah inteligensi dan kreativitas mereka. Kita bisa melakukan permainan pura-pura (mengarang cerita dalam permainan), membuat mainan dari barang-barang yang ada di sekitar kita, membacakan buku cerita, menonton film bersama sambil memperjelas cerita dalam film tersebut, atau sekedar bersenang-senang dengan anak, misalnya main gelitik, kejar-kejaran. 
Di tengah kesibukan kita, akan baik bila kita bisa bermain bersama anak 1-2 jam sehari. Godaan untuk menonton acara televisi, maupun untuk BBM-an, surving internet, facebook-an, mesti kita kendalikan. Idealnya, kita lakukan hobi atau kesenangan pribadi itu pada waktu anak tidur, atau setidaknya, batasi waktunya jika kita ingin melakukan hal-hal seperti itu saat anak dalam kondisi bangun. (Lagipula, bukankah melakukan kesenangan pribadi seperti itu dengan mengabaikan anak hanya akan membuat kita merasa bersalah?)

Sekali lagi, kita sudah di jalur yang benar, tinggal selangkah lagi untuk mendidik anak menjadi individu yang berkepribadian positif. Kita sudah terlanjur meninggalkan segala-galanya, jadi, sekarang, saatnya kita dengan total menjalani peran ini. Ayo semangat! Kita pasti bisa!

Hasil Investasi Kita

Dengan berada di rumah, menghabiskan waktu bersama anak, merawat, menyediakan kebutuhan anak, bermain, bercanda dengan anak, hampir bisa dipastikan bahwa kita punya relasi yang baik dengan anak. Relasi yang baik dengan anak, inilah yang sesungguhnya merupakan kunci membentuk kepribadian positif anak. Bukti bahwa relasi yang baik dengan anak bermanfaat untuk pembentukan kepribadiannya adalah sebagai berikut :

Anak menjadi kooperatif terhadap orangtua (lebih patuh)
Jika anak merasa dekat dengan kita, dan sayang kepada kita, dia pasti ingin menyenangkan hati kita. Dia pun akan lebih terbuka untuk menerima kata-kata kita, nasihat, peraturan yang kita berikan. Mereka akan lebih patuh, bukan karena takut, melainkan karena dari dalam hati, mereka ingin kita merasa senang. Kebahagiaan kita adalah kebahagiaan mereka. Saya telah membuktikan sendiri, betapa relasi yang baik dengan anak merupakan senjata paling ampuh untuk membuat anak patuh, bahkan tanpa pukulan, bentakan, atau ancaman.

Anak menjadi peka terhadap perasaan orang lain
Anak yang merasa dicintai, diperhatikan kebutuhannya, normalnya akan tumbuh menjadi anak yang peka terhadap perasaan orang lain. Jika kita sebagai ibunya selama ini selalu memenuhi kebutuhannya (bukan keinginannya), menghangatkannya saat ia kedinginan, menidurkannya saat ia lelah, memberinya makan saat dia lapar, memberinya pelukan, ciuman, yang menggembirakan hatinya, ia juga akan belajar memperhatikan kebutuhan orang lain. Sumber kemampuan berempati adalah dari pengalaman diperhatikan perasaannya oleh orang lain.

Anak menjadi pribadi yang punya keterampilan interpersonal baik
Banyak sekali penelitian Psikologi mengenai pentingnya kedekatan emosional anak dengan ibu pada awal kehidupannya. Anak yang mempunyai kelekatan aman (secure attachment) dengan sosok pengasuhnya (ibu) akan tumbuh menjadi pribadi yang punya kemampuan interpersonal baik. Anak seperti ini akan menjadi mampu bersikap hangat dalam interaksinya dengan orang lain, menjadi orang yang penuh kasih sayang, bukan menjadi orang yang kejam yang suka menyakiti orang lain.

Anak menjadi pribadi yang jujur dan tulus
Orangtua selalu mengidamkan punya anak yang jujur. Kejujuran ini sebenarnya akan terjadi secara otomatis manakala seseorang merasa diterima, dicintai apa adanya. Mengasuh anak dengan penuh kasih sayang akan membuat anak merasa diterima apa adanya dan merasa bahwa dirinya berharga. Dia akan berpikir bahwa kita selalu mencintainya apapun yang dilakukannya, siapapun dia. Akibatnya, ia akan berani menjadi dirinya sendiri, jujur, dan apa adanya. Ia menjadi pribadi yang tulus, yang sama antara pikiran, perkataan, dan perilakunya.

Anak menjadi pribadi yang percaya diri
Yang saya maksudkan dengan percaya diri bukanlah keberanian untuk tampil di depan orang banyak. Yang saya maksudkan dengan percaya diri adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya merupakan individu yang baik dan berharga. Orang yang percaya bahwa dirinya baik, tidak perlu pengakuan dari orang lain untuk membuat dirinya merasa berharga, ia tidak haus akan pujian, sampai-sampai berpura-pura jadi orang lain karena ingin diterima oleh orang lain. Ia juga tidak mudah tersinggung atau merasa harga dirinya dijatuhkan oleh orang lain, karena dalam hatinya, ia tahu bahwa dirinya memang berharga. Orang yang seperti ini akan terlihat sebagai orang yang tenang, stabil emosinya, tidak mudah marah karena tersinggung, apalagi sampai menyerang orang lain hanya gara-gara tersinggung.

Jadi, tumbuhnya anak menjadi pribadi yang bahagia, punya kemampuan sosial baik, menghargai orang lain, penuh kasih sayang terhadap orang lain, mampu berempati adalah kesempatan emas yang sudah ada dalam genggaman kita. Yang saya sebutkan di atas adalah perkembangan kepribadian anak karena faktor relasi yang baik dengan figur orangtua saja, belum termasuk sifat positif lainnya yang mungkin dikembangkan anak karena peran kita sebagai ibu rumah tangga fulltime, misalnya anak tumbuh menjadi pribadi yang mau hidup sederhana, bijaksana dalam mengelola uang, tidak boros, tidak materialistis, karena mereka sehari-hari melihat sendiri bagaimana kita sangat hati-hati mengatur pengeluaran. Kita tahu bahwa kesalahan umum yang dilakukan orangtua yang berkelimpahan materi adalah memanjakan anak dengan fasilitas atau terlalu cepat memenuhi keinginan anak akan suatu barang. Biasanya ini diperburuk karena orangtua yang terlalu sibuk bekerja mempunyai rasa bersalah terhadap anak oleh sebab ia tahu bahwa dirinya tidak memberikan cukup waktu untuk mendampingi anak, sehingga dalam usaha menunjukkan rasa sayang terhadap anak, mereka cenderung menunjukkannya dalam bentuk materi. 
Bila Anda ingin bukti lebih lanjut tentang dampak positif peran kita sebagai ibu yang fulltime mendampingi anak, Anda bisa melihat tips-tips perkembangan anak. Anda akan dapati bahwa semua tips yang disebutkan adalah sangat mudah diterapkan apabila Anda sebagai ibu berada mendampingi anak Anda, mengasuh sendiri anak Anda.
Sebagai referensi, Anda bisa melihat tips perkembangan anak di blog saya : 


Rabu, 05 September 2012

Penyesalan di Masa Depan, Dicegah Saat Ini

Sebuah penelitian terhadap 2000 orangtua memperoleh hasil bahwa 20 penyesalan terbesar para orang tua adalah berikut ini :
  1. Terlalu banyak bekerja
  2. Mencemaskan hal kecil
  3. Tidak banyak bermain bersama anak
  4. Tidak pergi berlibur bersama
  5. Tidak mengabadikan anak dalam foto
  6. Menghabiskan waktu tidak untuk keluarga
  7. Tidak merekam moment spesial dalam
  8. Tidak menikmati libur panjang ke suatu tempat
  9. Tidak mendorong anak untuk memiliki hobi tertentu
  10. Tidak saling berbagi hobi dengan anak
  11. Tidak membacakan dongeng/buku sebelum tidur
  12. Menghabiskan banyak waktu mencemaskan pekerjaan rumah tangga
  13. Tidak mengizinkan anak berenang lebih sering
  14. Tidak mengizinkan anak melakukan aktivitas yang membuat kotor
  15. Tidak mengajarkan berenang lebih awal
  16. Tidak menjadi bagian pada beberapa masa penting kehidupan anak
  17. Tidak menghabiskan waktu spesial (ulang tahun/hari raya) bersama anak
  18. Terlalu mengekang anak
  19. Selalu menunggu waktu spesial yang akan datang dan lupa menikmati berkah saat ini
  20. Tidak menikmati saat berjalan-jalan bersama anak
  • Lebih dari setengah orang tua menyesal tidak memiliki banyak waktu dengan anak-anak saat mereka masih kecil.
  • Penelitian ini juga menemukan bahwa 46 persen orang tua memiliki penyesalan karena sadar bahwa mereka tidak akan bisa mengulang waktu dan memiliki kembali tahun-tahun awal bersama anak-anak mereka.
  • 18 persen orang tua khawatir jika apa yang telah mereka lakukan atau yang tidak mereka lakukan akan berpengaruh pada kehidupan anak-anak mereka.
  • Dua dari tiga orang tua dalam penelitian mengaku bahwa mereka akan melakukan hal yang berbeda jika diberi kesempatan mengulang kembali masa-masa saat anak mereka masih baru dilahirkan.
  • Enam dari sepuluh orang tua yang baru memiliki satu anak memastikan bahwa mereka akan melakukan hal berbeda pada anak kedua agar tidak mengalami penyesalan yang sama.
  • Lebih dari 25 persen orang tua mengaku pernah memberi nasihat pada rekan atau saudara mereka yang telah memiliki anak agar tidak merasakan penyesalan yang sama.

Menurut Lauren Revell, yang menugaskan penelitian ini, "Banyak ayah dan ibu yang berharap agar mereka menghabiskan lebih banyak waktu berkualitas bersama anak-anak mereka, tetapi tekanan kehidupan membuat kesempatan itu kadang hilang,"  

Sumber : http://www.vemale.com/relationship/keluarga/14294-terlalu-banyak-kerja-penyesalan-terbesar-orang-tua.html 

Berdasarkan hasil tersebut, bisa disimpulkan bahwa penyesalan orangtua terbesar adalah terlalu banyak bekerja, sehingga tidak mampu memberikan cukup waktu untuk menikmati kebersamaan dengan anak.
Mungkin, di antara kita, banyak yang memilih peran ibu rumah tangga full-time karena alasan tidak ingin ada penyesalan di kemudian hari. Saya sendiri, juga melakoni peran ibu rumah tangga full-time karena tidak ingin bahwa di masa depan, saya hanya gigit jari menyesal telah kehilangan momen berharga masa kecil anak. Terbayang di benak saya, bahwa jika saya menggeluti karier (dan dengan begitu mengesampingkan anak saya), di masa depan saya akan sukses dalam karier, mungkin kaya raya, namun kesuksesan itu jadi tak ada artinya sama sekali ketika saya menangisi anak saya yang sudah terlambat dididik. Yah, sampai saat ini, semboyan yang terus saya pegang adalah begini, "Uang bisa dicari kapan saja, tapi waktu untuk mendidik anak tak akan pernah bisa kembali." Masa kecil anak tak pernah bisa diputar lagi. Jadi, sangat bijaksana jika kita menentukan mulai dari sekarang, apa yang akan kita lakukan agar tidak menyesal di kemudian hari. 


Selasa, 04 September 2012

Ayo Berdebat!

A : Tak masalah kalau bisa menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan.
B : Benar-benar seimbang adalah mustahil. 9 jam di luar rumah tak mungkin bisa diseimbangkan dengan 5 jam di rumah. Usaha mencari keseimbangan itu adalah sebuah kesia-siaan. Adakah seseorang yang merasa benar-benar berhasil mencapai keseimbangan itu?

A : Yang penting adalah quality time (waktu berkualitas).
B : Secara manusiawi, sulit bagi kita menyediakan quality time untuk anak sesudah seharian bekerja di kantor. Sebabnya adalah karena quality time juga menuntut fokus (pemusatan perhatian), keterampilan, dan energi, sama seperti pekerjaan di kantor. 

A : Ibu berkarir untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga.
B : Masalahnya, adakah patokan berapa jumlah gaji suami agar kita merasa cukup? Seseorang bisa merasa bahwa 2 juta gaji suami cukup untuk menghidupi keluarga, sementara yang lain berpikir 15 juta baru cukup. Definisi kebutuhan itu sendiri berbeda-beda. Ada yang bilang bahwa biaya pasang saluran televisi internasional, beli baju, makan di resto, jajan di mal, berenang akhir minggu, potong rambut di salon terkenal, kosmetik perawatan wajah adalah kebutuhan bulanan, sementara menurut yang lain, itu bukan kebutuhan bulanan.

A : Anak akan lebih senang, bahagia kalau punya fasilitas.
B : Coba tanyakan pada orang yang masa kecilnya hidup dalam keluarga sederhana, apakah ketika itu ia benar-benar ingin tinggal di rumah mewah, dengan mainan canggih, atau tetap merasa bahagia walau tinggal di rumah yang sempit, berpakaian lusuh dengan mainan yang bukan buatan pabrik. 

A : Kalau istri tidak bekerja, berarti keluarga tergantung pada suami secara finansial. Bagaimana kalau seandainya suami tiba-tiba meninggal?
B : Hidup keluarga memang saling tergantung satu sama lain antaranggotanya. Suami pun bergantung pada istri. Kalau Tuhan berkehendak mengambil suami, berarti Tuhan sudah siapkan rencana lain. Toh anak kita juga tidak selamanya bergantung pada kita. Jadi kita bisa kembali ke dunia kerja pada saatnya nanti. Oh ya, kalau dalam hidup ini kita hanya terus memikirkan kemungkinan buruk, kita takkan bisa bahagia.

A : Bukankah kalau usia kita semakin tua, semakin susah cari pekerjaan?
B : Siapa bilang aku ingin jadi pegawai lagi? Mungkin aku akan gali bakatku, dan berusaha cari peluang bisnis sendiri. Di rumah, kita justru punya kesempatan emas untuk mengasah keterampilan dan berkreasi.

A : Sekarang ini, hampir semua ibu bekerja. Berkarir, bekerja di kantor, adalah hal yang benar-benar normal.
B : Kalau benar-benar normal, semestinya ibu-ibu itu tak dihantui oleh perasaan  bersalah terhadap anak. 

A : Jadi ibu rumah tangga berarti menyia-nyiakan gelar yang sudah diraih. Eman-eman studi dan pendidikan yang sudah ditempuh. Otak kita akan nganggur di rumah.
B : Itu sama saja bilang ke anak, "Aku nggak mau buang-buang waktuku untuk bersamamu." Bukankah kalau anak diasuh oleh orang yang baik pendidikannya, akan lebih memungkinkan anak itu untuk terdidik secara lebih baik juga? Lagipula, sesungguhnya, berada di rumah membesarkan anak, memungkinkan kita sendiri untuk berkembang menjadi pribadi yang lebih bijaksana, kita bisa belajar tentang sisi lain kehidupan, dan memaknai kehidupan ini dengan lebih baik.

A : Aktivitas mengurus anak, dan juga pekerjaan rumah tangga, kan aktivitas sederhana. Menyuapi, memandikan, menidurkan, mengajak bermain anak, semua itu begitu sederhana. Cukup pembantu atau babysitter yang kerjakan.
B : Aktivitas anak, terutama waktu dia masih usia di bawah 3 tahun, memang tampak sederhana sekali. Tapi, suka atau tidak, lewat aktivitas-aktivitas sederhana itulah anak berkembang. Anak memang mempunyai tempo lambat, dan mungkin jadi tantangan buat kita orang dewasa yang terbiasa suka serba cepat. Proses seorang anak terdidik dan menginternalisasi nilai-nilai, adalah sebuah proses yang sangat lambat, perlahan-lahan yang tidak bisa kita lihat hasilnya seketika.

A : Di rumah membosankan, tak ada cukup banyak kegiatan.
B : Di rumah sangat banyak kegiatan. Buktinya, kalau kamu kirim SMS pada seorang ibu rumah tangga, dia terlambat membalas. Tapi kalau kamu kirim SMS pada wanita yang sedang bekerja di kantor, akan segera dibalas. Bermain bersama anak, semestinya tak pernah membosankan. Kita hanya perlu sedikit belajar seninya untuk bisa menikmati.

A : Tapi suami akan lebih menghargai istri bila istrinya juga pandai cari uang.
B : Memang beberapa suami yang istrinya di rumah full-time ingin istrinya juga bekerja supaya penghasilan keluarga semakin banyak. Tapi, suami yang istrinya bekerja, justru iri pada keluarga yang istrinya full-time mengasuh anak. Mereka berkata bahwa lebih ideal anak diasuh ibunya sendiri. "Rumput tetangga memang tampak lebih hijau."

A : Anak akan lebih mandiri kalau ibunya bekerja.
B : Usia berapa anak diharapkan mandiri? Usia 3 tahun, atau 12 tahun? Anak yang ditinggal ibunya bekerja, memang akan berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri, karena ia merasa tidak ada orang yang bisa diandalkan untuk menolong dirinya.

A : Biasanya, kalau ibunya tidak bekerja di luar, anak jadi super lengket dengan ibunya, dan waktu sekolah, bakal jadi cengeng.
B : Anak yg lengket pada mamanya, dan susah ditinggal mamanya, itu adalah salah satu tanda bahwa ia mempunyai secure attachment (kelekatan aman). Anak seperti ini di waktu awal perpisahan dengan objek lekatnya, memang cenderung cengeng, tapi sebenarnya dia mempunyai perasaan aman yang kokoh. Sesudah beberapa waktu terbiasa, dia akan mudah beradaptasi. Secure attachment adalah dasar dari rasa percaya dan optimisme terhadap orang lain (yang merupakan landasan kemampuan membangun hubungan interpersonal yang hangat).

A : Kata ahli, tidak masalah kalau ibu bekerja.
B : Adalah salahmu kalau kamu membiarkan dirimu asal percaya. Seringkali kita harus lebih percaya pada naluri dan suara hati kita.


Sebalnya mesti bergantung ...

Ketika sedang bertengkar dengan suami, atau juga kerabat dari keluarga suami, kita sering menyesali keadaan kita yang bergantung pada suami, bergantung secara finansial. Kita sebal dengan keadaan kita yang bergantung, berangan-angan seandainya saja kita mampu untuk menafkahi diri kita dan anak kita sendiri, seandainya kita mampu hidup sendiri. Keadaan kita sekarang, membuat kita tak bisa melakukan apa-apa selain bergantung pada suami, setidaknya untuk sementara waktu ini. Kita masih punya anak-anak, yang harus kita rawat, sehingga tak bisa dengan begitu saja meninggalkannya untuk bekerja di luar. Yah, dengan berat hati kita mengakui, kita bergantung.
Beberapa waktu yang lalu, ketika saya bertengkar lagi dengan suami saya, saya kembali sebal dengan keadaan saya yang bergantung. Akan tetapi, tiba-tiba dalam hati saya, Tuhan seolah mengingatkan saya. Sungguh tidak tepat apabila saya berangan andai saja saya dan juga wanita-wanita lain bisa mandiri merawat dan menghidupi anak seorang diri. Adanya anak, adalah peran dari dua orang, suami dan istri. Tak mungkin seorang anak lahir hanya dari seorang ibu tanpa keterlibatan ayah. Dengan demikian, memang Tuhan menghendaki supaya suami dan istri bersama-sama merawat dan membesarkan anak. Anak adalah tanggung jawab bersama suami-istri, dan tak mungkin bisa tanggung jawab ini dilimpahkan pada satu orang saja. Satu orang saja tak akan sanggup menjalani tanggung jawab ini. Jadi, betapa sombong diri kita kalau kita menginginkan diri kita tidak bergantung. Suka atau tidak, kita harus mengakui bahwa kita adalah manusia yang terbatas, dan kita selalu membutuhkan orang lain, bergantung kepada orang lain. Terima kasih Tuhan, Kau telah mengingatkan aku.

Senin, 27 Agustus 2012

Aktualisasi Diri ... Bisa di mana-mana!

Sering disebut-sebut bahwa permasalahan psikologis yang dihadapi ibu rumah tangga timbul karena merasa kurang bisa mengaktualisasikan dirinya dengan peran ibu rumah tangga, dan sebaliknya, wanita karier merasa lebih bahagia karena mempunyai kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya lewat pekerjaan mereka. Benarkah hal ini, atau apakah hal ini pantas untuk kita percayai, sehingga kemudian kita ikut-ikut merasa kurang bisa mengaktualisasikan diri kita di rumah?
Mengaktualisasikan diri berkaitan dengan mengaktualisasikan kemampuan. Mengaktualisasikan diri berarti menunjukkan diri kita, keberadaan kita, dengan kemampuan-kemampuan kita, melakukan hal-hal dalam upaya untuk menciptakan sosok terbaik yang kita inginkan. Aktualisasi diri memang merupakan kebutuhan manusia, dan sebenarnya merupakan kebutuhan pada tingkat paling tinggi (kebutuhan pada tingkat yang dasar adalah kebutuhan fisik, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan kasih sayang, dan kebutuhan akan penghargaan). Tujuan aktualisasi diri sesungguhnya memang bukan untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain, melainkan lebih dari itu, untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Kita ingin menampilkan diri kita sebagaimana gambaran ideal yang kita tuntutkan pada diri kita sendiri, sehingga diri kita puas karenanya.
Sekarang, kita bisa bertanya kepada diri kita sendiri, apa yang ingin aku tampilkan pada sosok diriku, aku ingin menjadi orang yang seperti apa, dengan kemampuan seperti apa dan dengan nilai-nilai seperti apa. Jadi, apakah jawaban kita adalah seorang wanita yang cakap menangani urusan pekerjaan di kantor? Saya kira tentu tidak. Tidak sesederhana itu. Jawaban kita bisa sangat bermacam-macam, dan saya yakin lebih daripada sekedar wanita yang pandai urusan pekerjaan kantor.
Menjadi orang yang pandai dalam bidang kita, yaitu bidang pendidikan yang telah kita geluti, memang adalah salah satu keinginan kita. Tapi, sebagai insan manusia, kita ingin menjadi individu yang mempunyai kualitas-kualitas atau nilai-nilai lainnya. Menjadi istri yang baik, yang bisa mengayomi keluarga, atau ibu yang cakap mengurus dan mendidik anak, juga menjadi keinginan kita. Bermacam-macam gambaran wanita ideal lebih kita inginkan daripada sekedar gambaran wanita karier saja.
Jadi, apakah aktualisasi diri hanya bisa kita lakukan kalau kita bekerja di kantor? Kalau yang dimaksud adalah aktualisasi diri sebagai wanita karier karyawan kantor, memang iya, hanya bisa kita lakukan kalau kita bekerja di kantor. Tapi, kalau aktualisasi diri sebagai ibu dan istri yang penuh dedikasi terhadap keluarga, wanita yang penuh kasih sayang,  jelas tidak hanya di kantor tempatnya. Proses aktualisasi diri sebagai wanita yang cakap merapikan rumah, cakap memasak, cakap mendidik anak, cakap mengelola keuangan keluarga, justru bukan kantor tempatnya. Oleh karena itu, mulai saat ini, jangan biarkan diri kita ikut-ikut merasa tak berkesempatan mengaktualisasikan diri kita karena keberadaan kita melulu di rumah. Aktualisasikan diri kita, di mana saja kita berada. Inilah diri kita, dengan kemampuan kita, dan keluwesan kita. 

Senin, 20 Agustus 2012

Baca dan Tetap Semangat!

Anak mengukur kasih dengan WAKTU (Steve Chalke).

Your children need your presence more than your presents. (Jesse Jackson)

In bringing up children, spend on them half as much money and twice as much time. (Author Unknown)


You have a lifetime to work, but children are only young once. (Polish Proverb)


We have a few special years with our children, when they’re the ones that want us around. After that we’re going to be running after them for a bit of attention. It’s so fast, only few years. If we are not careful, we will miss it. (film Hook)

You can't pay someone to do for a child what a parent will do for free. Even excellent child care can never do what a good parent can do. (Urie Bronfenbrenner) 


Raising children has always been, and will continue to be, a full-time job. And no one can successfully perform two full-time jobs at the same time. (Suzanne Venker)

Others maintain that there is no difference between a child who is raised at home and a child who is raised in day care as long as Mom is a "sensitive, responsive, and caring parent" during the time she does spend with her children...  That's like saying there's no difference between an employee who comes to work every day and does the job and an employee who only shows up one day a week, but on that particular day is really nice. (Suzanne Venker)

Studi dan Komentar Ahli tentang Pengasuhan Nonparental

The consequences of frequent changes of caregivers have also been largely unappreciated. They include delinquency, school dropouts, depression, substance abuse, and difficulties with intimacy. These problems may not be obvious until many years have passed. Thus, parents do not see—or accept—the causal connection between changing caregivers during infancy and toddlerhood, and negative behavior years later. (Being There: The Benefits of a Stay-at-Home Parent by Isabelle Fox with Norman M. Losenz 1996, page 15)

Boys having more than 30 hours a week in nonmaternal childcare had a significantly increased risk of insecure attachment, regardless of the quality of the childcare or other factors.
In November 2008, the NICHD Study of Early Child Care and Youth Development released another report about the follow-up to age 15 years. This presented evidence that...“Higher hours of nonrelative care predicted greater risk-taking and impulsivity at age 15. (Mothering Denied - The sources of love, and how our culture harms infants, women, and society by Dr. Peter Cook, ©2009).


We often hear of “quality-time” versus “quantity-time” from daycare advocates. I do not believe there is much quality-time to be had after putting in an eight to ten hour day at the office or daycare. Parents are too tired and children are as well. Not only did the parents work all day, now they must complete all of the tasks that were not accomplished while at work. The children must go to the grocery store when they are exhausted and starved for attention. Upon arriving at home, parents have to worry about paying the bills, making dinner, doing the dishes, placing phone calls, making sure there are clean clothes for the following day, etc. (Doing Time: What It Really Means To Grow Up In Daycare by May Saubier, ©2012).



Dalam sebuah jajak pendapat yang diadakan Asda, dengan responden lebih dari 5.000 ibu yang berusia 20 - 70 tahun, kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa mereka cemas karena merasa gagal menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan keluarga. Mereka merasa gagal tidak bisa menjadi ibu yang sempurna (Natalia Ririh, "Ibu Bekerja Butuh Dukungan Suami," Jumat, 24 Agustus 2012 http://health.kompas.com/read/2012/08/24/06530769/Ibu.Bekerja.Butuh.Dukungan.Suami)



New findings from studies of the Early Child Care Research Network of the US National Institute of Child Health confirm the undesirable socio-emotional effects in children of non-maternal care, with poorer mother-child relationships and increased aggressiveness and disobedience at age six both at school and at home. http://ftmuk.wordpress.com/childcare-research/

A large scale synthesis from 88 studies concluded that regular non-parental care for more than 20hours a week had an unmistakably negative effect on socio-emotional development, behaviour and attachment of young children. (Violata, C. & Russell, C., ‘Effects of Non-maternal Care on Child Development: A Meta-analysis of Published Research.’ Paper presented at 55th annual convention of the Canadian Psychological Association, Penticton, British Columbia 1994)  http://ftmuk.wordpress.com/childcare-research/


Longer periods of fulltime employment by mothers when their children were aged 1-5 tended to: reduce the child’s chances of obtaining A-level qualifications, increase the child’s risk of unemployment and other economic activity in early adulthood, increase the child’s risk of experiencing psychological distress as a young adult. (Professor John Ermisch, Institute of Social and Economic Research, University of Essex. ‘The Effect of Parents’ Employment on outcomes for children’ (Joseph Rowntree Foundation http://www.jrf.org.uk) 2001)

Jumat, 10 Agustus 2012

Feel good about ourselves

Jengkel dengan image negatif ibu rumah tangga yang beredar di masyarakat kita? Mulai dari hobi ibu rumah tangga ngerumpi, suka mengenakan daster dan berpenampilan ngelomprot, hidup santai enak-enakan menikmati gaji suami tanpa bekerja keras, bodoh dan ketinggalan informasi, sampai cemoohan yang mengatakan bahwa wanita hanya jadi alat bagi pria, dalam bahasa Jawa terkenal istilah tugas wanita 3 M : manak (melahirkan), masak (memasak), macak (berdandan). Semua yang membuat panas telinga.
Kita kaum ibu rumah tangga, sering dipandang sebagai bagian kaum wanita yang gagal dalam perjuangan emansipasi. Tapi, tentu saja itu tidak benar. Kita, bukan menjalani ibu rumah tangga sebagai korban penindasan kaum laki-laki. Kita memilih peran ini, peran sebagai ibu rumah tangga fulltime tanpa paksaan. Kita, sengaja memilih peran ini atas naluri kita untuk merawat anak yang begitu kita cintai. Sama sekali bukan karena kita tak punya kesempatan untuk memilih.
Di zaman modern ini, bukankah bisa dikatakan, semua wanita tingkat pendidikannya sama persis dengan pria? Dengan demikian, kita mempunyai kesempatan berkarier sama persis dengan pria? Apakah ibu-ibu muda yang memilih menjadi ibu rumah tangga fulltime nilainya jelek terus selama sekolah, lulus pas-pas-an, atau mereka tak pernah diterima ketika melamar lowongan pekerjaan? Bukankah semua di antara kita, pernah merasakan dunia kerja, berkarier di sebuah lembaga, perusahaan, atau kantor? Jadi, kita sama sekali tidak bodoh.
Hidup enak bergantung pada gaji suami. Benarkah di rumah berarti kita enak-enakan saja layaknya sedang berlibur? Apakah kita tidur sepuasnya, atau dengan leluasa melakukan hobi kita? Sama sekali tidak. Meskipun di rumah, kita fokus untuk melayani anak kita, memenuhi kebutuhan mereka. Bergantung pada gaji suami, apakah itu keinginan kita? Sama sekali tidak. Kita terpaksa dalam beberapa waktu ke depan ini membiarkan diri kita bergantung pada suami. Seandainya bisa, tentu kita semua merasa lebih senang punya penghasilan sendiri. Bukankah itu juga menyangkut harga diri kita? Kita ingin bisa mandiri secara finansial, ingin mampu menafkahi ayah-ibu kandung kita, di samping juga ingin membeli barang-barang yang kita inginkan. Kita mempunyai keinginan untuk berkarier dan menunjukkan kepandaian kita, hanya saja untuk sementara ini, selagi anak kita sangat membutuhkan kehadiran kita, kita pendam dulu keinginan ini.
Berikutnya, soal penampilan yang kurang rapi. Bukankah aneh, kalau kita bermain bersama anak, menyuapi, memandikan, memasak, mengerjakan urusan rumah tangga dengan busana bepergian? Jadi, daster, atau babydoll adalah kostum kita di rumah, dan itupun, mungkin dengan sedikit noda akibat tumpahan susu anak kita, atau tak sengaja ditempeli tangan anak kita yang kotor sesudah makan kue coklat. Yah, inilah hidup kita. Kalau kita tak mau tangan dan baju kita terkena kotoran, tentu pilihan sebagai ibu rumah tangga fulltime sama sekali tidak tepat untuk kita. Oya, soal daster dan babydoll, kalau dipikir, bukankah semua wanita juga suka mengenakannya jika mereka dalam kondisi santai di rumah, termasuk juga para wanita karier?
Soal ngerumpi. Dari mana kita mendapat kesan itu? Saya yakin sebagian besar dari kita mendapat kesan itu karena melihat tetangga kita, waktu kita kecil dulu, ketika kita sedang bermain di rumah, kita melihat ibu-ibu bercakap-cakap dan memperbincangkan tetangganya yang lain. Zaman sekarang, apakah kita, ibu-ibu rumah tangga juga masih bisa sering bertemu dengan tetangga kita? Jadi, apakah kita juga ngerumpi? Tidak. Ibu-ibu lain, tetangga kita, mereka sudah pergi ke kantor pagi-pagi, dan pulang sore. Lagipula, banyaknya pekerjaan rumah tangga yang menanti, membuat kita takpunya banyak waktu untuk main ke rumah teman. Bercakap-cakap dengan teman, bukankah itu lebih banyak kita lakukan ketika kita masih di kantor dulu? Dengan kata lain, bukankah aktivitas ngerumpi, sebenarnya justru banyak terjadi di kantor ?
Yang terakhir, soal melahirkan, memasak, mengurus rumah tangga sebagai partner suami, bukankah itu tugas mulia? Semestinya itu tugas dan peran ibu ini tidak direndahkan, tidak dijadikan cemoohan untuk senjata mendorong wanita beremansipasi. Melahirkan dan merawat anak, adalah bagian takterpisahkan dari identitas kita sebagai wanita. Itu adalah bagian terbaik yang memang diciptakan Tuhan untuk wanita.



Kamis, 09 Agustus 2012

Let's enjoy it

Libur panjang di rumah .. bukankah baru sekarang ini kita punya, yang sepanjang ini? Kita bebas melakukan apa saja di rumah, tak ada tugas yang harus dikejar waktu penyelesaiannya, tak ada bos yang harus kita taati, tak ada jam kerja yang mengendalikan hidup kita. Memang tak disangkal, rasa bosan itu ada, karena kadang kita menghabiskan waktu untuk melakukan itu-itu saja. Tapi, kita harus menyadari bahwa dengan punya waktu banyak di rumah, banyak manfaat yang bisa kita ambil.
Kalau dipikir, bukankah dari sejak kita masuk Taman Kanak-kanak, kemudian SD, SMP, SMA, Universitas, dan bekerja, kita selalu hidup dalam lingkaran rutinitas, yang membuat kita tak punya banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang menarik minat kita? Sekarang, ketika kita menghabiskan banyak waktu di rumah, tanpa terikat oleh tugas dan benar-benar menjadi bos atas diri kita sendiri, sesungguhnya, kita punya kesempatan emas untuk mengeksplorasi bakat kita. Kita semua tahu, sekolah, tak pernah benar-benar mengeksplorasi bakat kita. Jadi, banyak sekali di antara kita yang bakatnya masih terpendam. Dengan punya banyak waktu di rumah, meski di sela-sela kesibukan kita mengurus rumah tangga, kita bisa coba lagi melakukan apa yang menarik minat kita.
Kalau kita melihat kisah-kisah orang yang sukses secara finansial, bukankah kebanyakan dari mereka adalah wiraswasta yang menggeluti usaha yang sungguh-sungguh merupakan minat mereka? Mereka bukanlah orang-orang kantoran dengan gaji tinggi. Mereka adalah orang-orang sederhana yang berani mulai pelan-pelan, mencoba mengasah keterampilan yang menjadi hobi mereka.
Menjadi ibu rumah tangga sesungguhnya tidak hanya memberikan kita waktu. Sering tidak kita sadari, bahwa penerimaan dan kasih sayang yang kita terima dari anak, mengubah pribadi kita menjadi orang yang lebih 'bebas.' Kalau kita coba introspeksi, bukankah dibanding beberapa tahun lalu, sekarang ini kita menjadi lebih nyaman dengan diri kita sendiri. Saat ini, kita menjadi kurang peduli lagi dengan apa yang dipikirkan orang lain, kurang peduli lagi pada penilaian orang lain terhadap kita. Bagi kita, dicintai tulus oleh anak telah mencukupkan segalanya. 'Kebebasan' inilah yang sebenarnya sangat memungkinkan kita untuk berkreasi tanpa batas. Bukankah kreativitas baru muncul secara luar biasa ketika orang merasa bebas?
Jadi, sekarang, daripada risau dengan kondisi kita yang hanya di rumah saja, atau khawatir bahwa libur panjang kita membuat orang lain menganggap kita malas, lebih baik kita manfaatkan waktu untuk mencoba-coba hal baru, menggali lagi minat dan mengasah keterampilan kita berdasarkan minat kita. Time to explore our talents.

Rabu, 08 Agustus 2012

Long Vacation


Menghabiskan sebagian besar waktu kita dengan berada di rumah, sering membuat kita merasa kurang aktivitas. Mungkin sebabnya adalah karena dulunya kita sibuk dengan banyak kegiatan, pernah bekerja di kantor, atau sering bepergian untuk banyak acara. Kini, ketika kita memutuskan untuk tinggal di rumah mengasuh anak, rasanya kita punya libur yang tak ada habisnya. Punya waktu untuk libur memang menyenangkan, tapi jadi tidak menyenangkan lagi kalau kita tahu bahwa kita akan ‘libur’ selamanya.
Biasanya, ketika menemani anak bermain, sering terlintas dalam pikiran kita bahwa kita ini sedang menghabiskan waktu dengan kegiatan yang tidak begitu penting. Atau dalam hati kita berkata pada diri sendiri, “Kurang kerjaan.” Mari kita selidiki, apa sebabnya kita punya anggapan seperti itu.
Di lingkungan kita, kebanyakan orang seumuran kita, menghabiskan waktu dengan kegiatan di luar rumah. Tidak hanya pria, tapi ibu-ibu seperti kita pun, banyak yang bekerja di kantor, mereka pergi pagi-pagi, dan pulang sore atau bahkan malam hari. Dalam benak kita, masih segar sekali ingatan tentang lingkungan kerja tempat kita bekerja dulu, kesibukan apa yang terjadi di sana. Ini semua membuat kita beranggapan bahwa semua orang bekerja, kecuali kita. Kita tidak sadar, bahwa apa yang kita sebut bekerja, sebenarnya adalah berada di kantor, atau berada di luar rumah. Bekerja adalah mengenakan pakaian kantor, lalu tinggal di kantor, entah mengerjakan tugas atau sekedar bercakap-cakap dengan rekan kantor.
Berikutnya, yang kita anggap sebagai bekerja adalah menghasilkan uang. Uang, benda yang begitu menarik perhatian dan diinginkan semua orang. Kita tidak sadar, bahwa jauh dalam alam bawah sadar, kita dan juga semua orang, memfokuskan hidup kita dalam pencarian akan uang. Dengan demikian, aktivitas yang kita pandang penting adalah aktivitas yang menghasilkan uang, dan bekerja demi memperoleh uang menjadi kita nilai penting sekali dalam hidup. Sebaliknya, aktivitas apapun yang tidak menghasilkan uang, seberat apapun aktivitas itu, kita anggap bukan bekerja, dan bahkan kita anggap tidak penting.
Hmm, mari kita menertawakan diri sendiri. Bagaimana bisa, semua itu mengaburkan pandangan kita, dan membuat kita jadi tidak menyadari bahwa memberi makan anak, menidurkan, menjaga kebersihan tubuhnya, mengajaknya bermain dengan aman, membuat ia tumbuh gembira dan sehat, bukan pekerjaan penting?
Kita memang di rumah, hanya di rumah, tapi tak berarti kita tidak melakukan apa-apa. Pekerjaan kita selalu ada, bahkan tak kenal waktu. Justru kita lah yang tak punya libur, dan tak kenal upah lembur. Pekerjaan kita bernama "Dedikasi."

Kamis, 26 Juli 2012

Satu penghasilan, tak jadi masalah


Ketika menjalani peran ibu rumah tangga, tak disangkal, kita kadangkala merasa iri pada keluarga lain yang mempunyai pendapatan ganda karena sang istri juga berkarier. Banyak wanita memutuskan untuk berkarir juga karena alasan ini, yaitu agar keluarga mendapat lebih banyak penghasilan. Akan tetapi, kalau kita mau lebih seksama memperhatikan, keberadaan kita di rumah, justru bisa menghemat cukup banyak uang. Mungkin, kita tak perlu mengeluarkan uang untuk membiayai babysitter, tak perlu memasukkan anak ke sekolah pada usia terlalu dini (program pra-playgroup/toddler), tak perlu sering jajan atau beli masakan luar karena kita memasak, tak perlu sering membeli kosmetik, parfum yang mahal, dan busana kerja, juga tak perlu banyak menghabiskan pulsa untuk menanyakan keadaan anak, sebagaimana kalau kita adalah wanita yang bekerja di kantor.
Orang seringkali tak sadar, bahwa bekerja di kantor, akan menimbulkan biaya-biaya yang bisa mengurangi pendapatan bersih itu sendiri. Mereka hanya melihat sepintas besarnya pendapatan yang akan diperoleh keluarga dari total pendapatan suami dan istri, namun lupa memperhitungkan biaya lain-lain itu.
Di samping itu, orang seringkali menyesuaikan gaya hidupnya dengan pendapatannya. Jadi, kalau yang didapat banyak, yang dihabiskan juga akan banyak pula. Kalau kita mengamati, orang yang berpenghasilan besar, belum tentu menabung banyak juga. Penghasilan tidak berbanding lurus dengan jumlah uang yang ditabung. Alasannya, karena orang mudah sekali berperilaku konsumtif. Orang yang pendapatannya lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan pangan, akan menghabiskan uangnya untuk keperluan lain yang sebenarnya kurang penting, hanya demi memuaskan keinginan saja, misalnya bertamasya ke luar kota, atau bahkan ke luar negeri, makan-minum di kafe atau restoran bergengsi. Jadi, ujung-ujungnya, bagian pendapatan yang ditabung, mungkin malah tak beda jauh dengan jumlah yang kita tabung.
Hidup dalam keluarga dengan satu pendapatan, akan melatih kita, ibu rumah tangga, mengatur pengeluaran dengan lebih bijak. Mau tak mau, kita terpaksa berusaha hidup hemat. Akan tetapi, kalau kita pikir lebih jauh, bukankah ini sebenarnya latihan untuk menjadi kaya? Sikap hidup hemat, adalah salah satu jalan meraih kesuksesan finansial.
Sesungguhnya, bagi anak kita, ada dampak positifnya jika mereka sehari-hari melihat langsung bagaimana kita menggunakan uang dengan hati-hati, penuh pertimbangan. Mereka akan belajar mengelola uang dengan lebih baik pula. Anak-anak yang hidup dalam keadaan serba kecukupan, biasa dimanjakan dengan uang, dan segala keinginannya segera dipenuhi, cenderung tumbuh menjadi orang yang kurang punya daya juang.
Menyadari hal ini, tak lagi tepat kalau kita bertanya terus pada diri sendiri, “Berapa yang seharusnya bisa kuperoleh ya, kalau saja aku bekerja?” Daripada bertanya seperti itu, lebih baik kita bertanya, “Berapa uang keluarga yang bisa kuhemat ya, dengan aku memilih peran sebagai ibu rumah tangga fulltime ini?”

Daftar pengeluaran yang bisa dihemat :
Susu formula (karena kita beri ASI), biaya ke dokter (karena kita selalu menjaga kebersihannya dan memberinya makanan bergizi), popok sekali pakai (pampers), gaji babysitter, makan di resto, pulsa telepon, kosmetik, busana bepergian, biaya sekolah kelas pra-playgroup/toddler, biaya les baca-tulis-hitung. 

Selasa, 24 Juli 2012

"Meluangkan waktu secara berkualitas," hanya tinggal teori


Saya sangat tidak percaya bahwa jika kita sehari-hari berkarir di luar rumah, dalam keadaan pisah dengan anak selama berjam-jam, kita kemudian masih bisa meluangkan waktu secara berkualitas ketika pulang ke rumah. Satu alasannya adalah karena kedekatan emosional itu pasti akan terkikis, sekecil apapun terkikisnya. Maksud saya, ibu, sama halnya dengan anak, akan menjadi terbiasa dengan keadaan terpisah itu. Bukti dari ini adalah apa yang biasa saya lihat ketika berjalan-jalan di mal. Anak, yang biasa sehari-hari bersama pembantunya atau babysitternya, ketika di mal, juga digandeng atau digendong oleh babysitternya, meskipun saat itu mamanya juga bersamanya. Mamanya, lebih suka berjalan dulu di depan, karena merasa anaknya telah dijaga aman oleh babysitternya. Beberapa waktu yang lalu, ketika berbelanja di swalayan, saya bahkan melihat, dua orang anak perempuan, duduk di dalam keranjang belanjaan yang didorong oleh babysitternya, sementara mamanya, lebih suka mendorong keranjang berisi barang-barang belanjaannya. Tak ada kontak atau kebersamaan yang hangat antara kedua anak perempuan itu dengan mamanya. Menyedihkan sekali, kan? Bukankah sama sekali tidak masalah, kalau si babysitter lah yang disuruh mendorong keranjang berisi barang, agar mamanya bisa mendorong keranjang yang diduduki kedua anaknya itu?
Semua ini semakin membuat saya semakin jengkel kepada para psikolog yang selalu menggembar-gemborkan bahwa tak ada masalah jika ibu bekerja, berkarir. Semestinya, mereka berbicara lebih bijaksana, agar publik tidak salah menangkap pesan. 

It's all about child's self-concept, what matters most


Alasan utama mengapa kita pantas mempertahankan agar pengasuhan anak tetap di tangan kita adalah karena masa kecil anak merupakan masa pembentukan konsep dirinya. Menyerahkan pengasuhan anak ke tangan orang lain, berarti kita mempertaruhkan konsep diri anak tersebut.
Anak belajar menghargai dirinya sendiri dengan cara melihat bagaimana orang lain memperlakukan dirinya. Kalau ia merasa diterima, dihargai, menerima banyak ekspresi kasih sayang lewat pelukan, ciuman, senyuman, ia merasa dirinya berharga. Sebaliknya, kalau ia terlalu sering dimarahi, dikritik, diejek, dijelek-jelekkan, bahkan diperlakukan kasar, ia merasa bahwa dirinya tidak berharga.
Konsep diri yang terbentuk selama bertahun-tahun masa kecil anak, akan dibawanya ke masa remaja, hingga dewasa. Jika dalam diri anak telah terbentuk sebuah konsep diri yang positif, ia akan merasa nyaman dengan dirinya sendiri, bahagia menjadi dirinya sendiri, dan hal ini akan menuntunnya mengembangkan kepribadian yang menyenangkan, yaitu ceria, mampu bersikap hangat terhadap orang lain, mudah merasa bahagia, tidak mudah tersinggung, tidak mudah putus asa, dan masih banyak lagi. Sebaliknya, konsep diri negatif adalah sumber dari segala masalah. Orang yang mempunyai konsep diri negatif, tidak mempunyai rasa percaya pada dirinya sendiri, jauh di dalam hatinya ia tidak merasa berharga, sehingga mudah sekali tersinggung atas kata-kata orang lain. Ia juga cenderung bersikap negatif kepada orang lain, berprasangka buruk, memusuhi orang lain. Pembawaannya dari luar, bisa tampak sebagai seseorang yang pemalu, atau sebaliknya, suka sekali mencari perhatian orang lain dan agresif terhadap orang lain.
Seseorang yang mempunyai konsep diri positif, tidak selalu nampak sebagai orang yang percaya diri untuk tampil di depan orang banyak, berbicara di depan umum, seperti yang orang lain sering pahami sebagai arti sebuah kepercayaan diri. Kepercayaan dirinya adalah keyakinannya bahwa dirinya baik dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dan tetap berharga tanpa peduli bagaimana sikap orang lain. Kepercayaan diri dari dalam ini akan membuat seseorang berpembawaan tenang dan stabil.
Ketika seorang anak diasuh oleh ibunya sendiri, pada umumnya anak akan sering dipeluk, dicium, diajak tersenyum, diajak bicara, meski juga tak disangkal, ada saat di mana sang ibu marah kepadanya. Kasih ibu yang teramat dalam kepada anaknya, secara tidak sadar akan mengalir lewat kata-kata dan tiap tindakannya terhadap anak, yang akan membuat anak merasa berharga. Akan tetapi, bagaimana jika sehari-hari anak lebih banyak bersama orang lain, pembantu, atau babysitter misalnya? Apakah pembantu akan berperilaku persis sama seperti ibu, suka mencium, mengajak tersenyum, berbicara dengan lembut? Saya rasa tidak. Saya sendiri, ketika berjalan-jalan dengan anak saya di sekitar rumah, pernah melihat bagaimana seorang pembantu berbicara kepada anak momongannya seperti ini, “Tuh, si A itu cakep, kan, nggak kayak kamu, jelek.” Waduh, waduh… seandainya saya adalah mama dari anak itu, saya tentu tidak akan rela anak saya dikata-katai “jelek” seperti itu. 
Jadi, satu hal yang sangat jelas menjadi sisi positif kita sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh anak kita dengan tangan kita sendiri adalah kita punya kesempatan emas untuk membentuk konsep diri yang positif pada diri anak kita, sebuah bekal yang akan dibawa anak kita selamanya untuk mengarungi kehidupan ini dengan bahagia. Sayang sekali, sampai saat ini saya belum mempunyai kesempatan untuk melakukan penelitian. Seandainya bisa dilakukan penelitian, saya yakin sekali, bahwa perbedaan antara anak-anak yang dibesarkan ibu seorang ibu rumah tangga dengan anak-anak yang dibesarkan ibu seorang wanita karier terletak pada konsep diri anak. 

Kamis, 19 Juli 2012

Oh, kenapa aku bukan Supermom?

Gambaran wanita karier : cekatan menyiapkan sarapan pagi untuk anak, pintar menangani urusan kerjaan di kantor, pulang dan menghabiskan waktu secara berkualitas dengan anak di malam hari. Supermom, oh, supermom!! 
Benarkah ada wanita yang Supermom seperti itu? Sayangnya, kenyataannya tidak. Kalau kita tidak bisa, wanita lain juga sama saja, tidak. Kita hanya manusia biasa, yang hanya punya tenaga terbatas, dan hanya bisa berada di satu tempat. Kita tidak bisa melakukan dua peran yang berbeda sama-sama sempurnanya. Suzanne Venker, dalam bukunya, menjelaskan bahwa wanita tidak bisa sukses di karier bersamaan persis dengan sukses sebagai ibu rumah tangga. Yang mungkin dilakukan adalah sukses di keduanya, tapi tidak dalam waktu yang sama. 

Kita, yang punya pengalaman bekerja di kantor, bisa membayangkan, apakah sepulang dari kantor, kita masih punya energi penuh untuk memandikan anak, menyuapi, kemudian bermain dan bercanda dengan ceria bersama mereka. Tentu tidak, bukan? Begitu pula teman-teman kita yang berkarir.
Kemudian, bayangkan, apakah kita bisa benar-benar memahami anak kita, kalau kita hanya berada di rumah   bersama mereka waktu sore hingga malam? Sebuah penelitian besar-besaran yang diadakan oleh NICHD Early Child Care Research Network yang melibatkan 1300 bayi dan keluarganya, menemukan bahwa ibu yang merawat anak mereka secara penuh di rumah menunjukkan perilaku yang sedikit lebih sensitif atau responsif terhadap kebutuhan anak dibandingkan dengan ibu dari anak yang mendapat pengasuhan nonparental (Adapun sensitivitas dan responsivitas ibu terhadap kebutuhan anak ini merupakan variabel yang berkaitan dengan pembentukan rasa aman (secure attachment) yang sangat penting untuk perkembangan sosial anak di masa selanjutnya). Sumber: Bee and Boyd, 2007, h. 395-396.
Saya sendiri mengamati, tetangga-tetangga saya, yang sehari-hari bekerja di kantor, karena terbiasa meninggalkan anak, ketika mereka tidak bekerja dan punya kesempatan untuk bersama anak pun, juga jadi tidak benar-benar menggunakan kesempatan itu untuk bersama anak. Dengan kata lain, kondisi terbiasanya mereka tidak bersama anak, menyebabkan mereka lebih mudah, lebih bersedia meninggalkan anak, sekalipun untuk kepentingan lain yang tidak mendesak. 

Di samping itu, ibu-ibu yang memilih untuk berkarier di kantor, banyak dari mereka yang mengatakan bahwa sesungguhnya mereka tidak benar-benar bisa berkonsentrasi di kantor karena memikirkan anak mereka di rumah, terutama ketika anak mereka sedang sakit.  

Kita, yang sengaja memilih untuk berperan sebagai ibu rumah tangga fulltime, bisa disebut bijaksana, karena kita paham akan kekuatan kita sendiri. Ada pepatah yang mengatakan bahwa orang yang bijaksana adalah orang yang paham akan kekuatan dirinya. Kita menyadari bahwa kita memiliki energi yang terbatas, sehingga tidak mampu melakukan 2 peran sekaligus, bekerja full di kantor dan kemudian di rumah masih mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Kita juga bisa mengira-ngira bahwa diri kita tak mampu menjadi ibu yang maksimal yang mengenal anak kita dengan baik seandainya  diri kita melakukan peran ganda ini. 

Jadi, jangan lagi ada di benak kita gambaran Supermom. Supermom hanyalah tokoh khayalan dalam imajinasi. Yang ada di dunia ini adalah ibu-ibu yang tidak sempurna, yang tenaganya terbatas, dan bisa lelah. Kita hanya bisa menjadi ahli di satu bidang, yaitu bidang yang mana kita kehendaki untuk fokus di dalamnya, bidang yang kita curahkan perhatian dan tenaga kita untuknya. Pikirkan saja betapa kita sekarang menjadi semakin hebat dalam mengurus anak kita.  

"Sia-sia saja studiku" ?

Tidak ingin menyia-nyiakan pendidikan dan gelar yang telah diraih adalah salah satu alasan paling umum mengapa wanita memilih meninggalkan anak untuk berkarir di kantor. Saya sendiri tak menyangkal bahwa saya juga kadang risau kalau-kalau orang memandang aneh diri saya dan berkata demikian, "Sudah sekolah tinggi-tinggi, kok sekarang hanya di rumah?"
Apa yang sering terlontar dari mulut orang, "hanya ibu rumah tangga," "hanya di rumah", "hanya momong anak," ... tidakkah Anda sadar, kata "hanya" itu benar-benar menyebalkan, bukan? Sekali lagi, kita berhadapan dengan masyarakat yang teracuni konsep feminisme salah.
Sekarang, coba kita berpikir, kalau kita terpelajar, mempunyai pendidikan yang tinggi, bukankah kita adalah orang yang lebih tepat untuk mendidik anak kita? Mengapa kita rela menyerahkan anak kita untuk dididik pembantu yang tidak jelas pendidikannya? Apakah kalau kita mempunyai gelar, hidup kita jadi terlalu berharga untuk diberikan kepada anak kita?
Saya memilih menjadi ibu rumah tangga untuk bisa mengasuh anak saya karena saya yakin bahwa ilmu Magister Psikologi saya membuat saya punya kesempatan untuk memberikan pengasuhan yang terbaik. Dan ternyata, tidak hanya saya yang berpendidikan S2 memilih untuk jadi ibu rumah tangga fulltime. Di Amerika, cukup banyak wanita dengan gelar pendidikan yang lebih tinggi, doktor, yang memilih menunda karier mereka demi mengasuh anak dengan tangan mereka sendiri.

Sebuah Keanehan

Berdasarkan pengalaman pribadi, hasil mengamati, dan juga hasil wawancara dengan beberapa teman, saya mendapati bahwa wanita yang mempunyai ibu kandung seorang ibu rumah tangga, didorong oleh ibu mereka untuk terus berkarier. Sedangkan beberapa teman wanita saya yang ibu kandungnya adalah wanita karier yang bekerja di kantor, justru memutuskan untuk tetap tinggal di rumah mengurus anak. Aneh, bukan? Ibu saya sendiri, juga sering mewanti-wanti saya dengan pesan antara lain seperti berikut, bahwa wanita harus pandai mencari uang sendiri, tidak bergantung pada suami, suami nanti bisa capek dan bosan kalau istrinya tidak menghasilkan uang, keluarga suamimu bakal merendahkan kamu kalau kamu hanya bergantung pada suami. Pertanyaannya, mengapa para ibu rumah tangga, yang sudah menjalani peran ini bertahun-tahun, justru tidak mendukung anak mereka untuk mengambil peran ibu rumah tangga, dan justru terkesan menakut-nakuti dengan membeberkan tantangan dan kesulitan-kesulitan ibu rumah tangga? Saya kemudian berpikir, ini semua disebabkan karena mereka merasa tidak puas dengan perannya sebagai ibu rumah tangga, dan selalu melihat bahwa ibu-ibu yang berkarier, mempunyai situasi yang lebih baik daripada mereka.    Mereka sering lupa menyadari, betapa usaha keras mereka membesarkan, mengasuh, mendidik kita, dengan cara selalu hadir di sisi kita, telah membuahkan hasil yang luar biasa besar. (Saya selalu sadar, bahwa saya tak mungkin jadi seperti ini, seorang yang berkepribadian baik (hehe), jika ibu saya tidak menjalani peran ibu rumah tangga secara fulltime). Para ibu rumah tangga, sering gagal menyadari betapa berharganya peran yang mereka jalani selama ini. Mereka tidak sadar bahwa diri mereka telah teracuni oleh cara pandang umum di masyarakat yang berusaha menciptakan kesan wanita karier sebagai wanita high class yang lebih keren. Memang wajar jika mereka, para ibu kita yang belum pernah merasakan pengalaman bekerja di kantor, merasa lebih rendah dibandingkan teman-temannya yang bekerja di kantor, karena mereka berpikir pekerjaan kantor lebih sulit (padahal, kenyataannya sama sekali tidak, kan?). Faktor lain yang saya duga membuat mereka tidak puas terhadap peran ibu rumah tangga adalah karena sebagian dari mereka mengalami kekecewaan terhadap suami mereka sendiri. Mereka menganggap bahwa penyebab suami mereka berperilaku mengecewakan adalah karena mereka, istrinya, tidak mempunyai penghasilan apa-apa dan hanya bergantung pada suami sehingga membuat suami bosan. Sebuah cara pandang yang subjektif, karena kita tahu, bahwa entah istri bekerja atau di rumah mengurus anak, sebenarnya tidak akan menentukan baik-buruknya perilaku suami, bahwa suami bisa saja bosan juga kalau istrinya bekerja, sama saja bisa selingkuh entah istrinya bekerja atau di rumah. Di atas semua itu, yang membuat ibu kita tidak ingin kita mengikuti jejaknya adalah keyakinan mereka bahwa hidup kita lebih mudah jika berkarier. Bukankah ibu selalu menginginkan yang terbaik bagi anaknya? Ibu kita tidak ingin kita hidup menderita, merasakan susahnya perjuangan seorang ibu rumah tangga. Dia ingin kita memilih jalan yang lebih enak, lebih mudah, namun sayangnya, lupa memperhitungkan apa yang mungkin terjadi 15 tahun kemudian pada cucu mereka jika kita meninggalkan rumah untuk bekerja di kantor.
Akhirnya, keputusan harus kita ambil sendiri. Boleh-boleh saja orang lain memberikan masukan, akan tetapi, lakukan apa yang kita yakini sebagai hal yang lebih baik.

Jadi, apa buktinya?

Selagi jumlah penelitian di Indonesia tentang dampak ibu bekerja pada anak masih sedikit, kita sendiri perlu berpikir kritis terhadap pendapat-pendapat ahli yang bilang bahwa ibu bekerja tak membawa efek negatif untuk anak.
Secara sederhana, kita bisa bertanya demikian, "Mengapa kita cenderung lebih sayang kepada ibu daripada ayah? Bukankah ayah juga sayang pada kita, dia mencari uang untuk hidup kita?" Saya kira, jawaban dari pertanyaan itu adalah karena ibu lah yang lebih banyak bersama kita. Ayah lebih jarang kita temui, karena kesehariannya, dia ada di tempat kerjanya. Hal serupa dikatakan Steve Chalke, dalam bukunya "Orangtua Karier", yang diterbitkan oleh Andi. Dia mengatakan bahwa "Anak mengukur kasih dengan waktu." Jadi, anak merasa bahwa cinta kita terhadap dia besar atau kecil itu tergantung dari jumlah waktu yang kita berikan untuk bersama dengannya. 

Ada satu teman saya, juga memilih untuk jadi ibu rumah tangga agar bisa mengasuh sendiri anaknya, menceritakan alasannya mengapa ia memilih peran ini. Dengan jujur ia bilang bahwa tidak ingin seperti mamanya, yang karena adalah wanita karier, kalah dekat dengan anaknya dibanding pembantunya. Pengalaman pribadinya, waktu kecil, ia tak peduli kalau mamanya pergi. Tapi, kalau pembantunya pulang kampung, ia menangis.

Memang aneh, beberapa teman saya yang memilih peran ibu rumah tangga ini justru merupakan anak dari wanita karier. Setidaknya, sampai saat ini, ada 4 orang teman saya yang secara sukarela memilih tinggal di rumah mengurus anak, berasal dari keluarga dengan ibu berkarier di kantor.

Baru saja saya juga menanyakan kepada teman saya yang mengajar di sebuah SMA. Dia sudah mengajar selama 5 tahun. Saya minta dia menceritakan pengamatannya, ada/tidak perbedaan kepribadian antara murid yang ibunya mengasuh di rumah dengan yang ibunya berkarier di kantor. Saya sengaja bertanya kepada dia karena dia adalah guru muda, putri, yang belum menikah, jadi saya kira dia tidak akan bias dalam menilai (dibanding dengan guru yang sudah menjadi ibu). Ternyata, dia berkata memang ada perbedaannya, terutama pada anak-anak yang sangat dia kenal, yaitu murid lesnya. Anak yang ibunya di rumah, lebih terurus. Mereka bersikap lebih hangat secara interpersonal, tidak cuek, dan tidak jadi trouble maker di kelas. Sementara anak-anak yang ibunya tidak hadir secara intens di rumah, kurang terpelihara. Mereka menjadi kurang peduli dengan lingkungan, di kelas menjadi trouble maker. Selain itu, karena cenderung hanya dimanjakan dengan uang, mereka juga kurang mempunyai daya juang. Teman saya menambahkan, memang ada perkecualian. Ada muridnya yang ibunya bekerja, tapi tetap baik, sebabnya adalah karena dia diasuh oleh sanak keluarganya (nenek) yang mengasuh dengan baik dan bisa bersikap tegas terhadapnya, sehingga anak tersebut menemukan sosok pengganti ibunya.

Saya sendiri, tidak mentah-mentah percaya kepada ahli-ahli yang berkata dengan gampang bahwa ibu bekerja di kantor pun tak membawa dampak negatif pada anak. Bukankah mereka yang bilang adalah psikolog atau dokter yang juga adalah wanita karier? Tidakkah karir mereka, sama halnya dengan keyakinan pribadi mereka, sangat mungkin membuat mereka bias dalam menilai? Jadi, percayalah pada apa yang kita yakini, bahwa kita hanya bisa memberikan yang terbaik kepada anak hanya dengan berada di samping mereka sebanyak waktu yang kita miliki.



Jumat, 13 Juli 2012

Buku Teori Pro Peran Ibu Rumah Tangga


Buku ini adalah buku yang mengupas tentang mitos-mitos ibu bekerja. Pengarang buku ini, Suzanne Venker, adalah seorang yang mendukung ibu-ibu untuk mengambil peran ibu rumah tangga secara full-time, menomorsatukan anak daripada karier. Sangat disayangkan, hingga saat ini, buku ini belum diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Padahal, menurut saya, di Indonesia, isu ibu bekerja vs ibu rumah tangga sangat perlu dperdebatkan secara terbuka, yaitu dengan cara adil membahas teori-teori yang saling bertentangan itu melalui media massa. Bukankah yang ada di Indonesia saat ini hanyalah teori-teori dan pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada masalah dan risiko bagi anak kalau ibu bekerja? (Saking inginnya saya mendapat buku ini, saya titip pada tetangga saya yang tinggal di Texas, dan akhirnya, buku ini sampai ke tangan saya).

Krisis Identitas?

Salah satu yang disebut-sebut menjadi sumber stres ibu rumah tangga adalah krisis identitas yang dialami karena tidak lagi menyandang predikat, status, jabatan, atau pangkat seperti ketika masih berkarir di dunia kerja. Sebenarnya, hal ini tergantung bagaimana kita memandang peran ibu rumah tangga sendiri. Ibu rumah tangga bukanlah ibu yang tidak bekerja. Kita semua paham benar, bahwa di rumah, banyak sekali pekerjaan. Mengasuh anak, mulai dari menyuapi, memandikan, membantu anak buang air di toilet, menemani anak bermain, semuanya adalah pekerjaan. Pekerjaan ibu rumah tangga adalah pekerjaan full-time, dan memang harus dipandang demikian. Kita yang sehari-hari mengerjakan peran ini, memahami bahwa hanya ada dua jalan, mengambil tugas ini sepenuhnya, atau melimpahkan tugas ini pada orang lain. Kita mengerti benar bahwa tak bisa tugas ini dirangkap untuk dilakukan bersama dengan tugas kantor. Jika kita memilih untuk bekerja di kantor, berarti tugas ini kita limpahkan kepada orang lain.
Tugas mengasuh anak adalah tugas paling mulia dan luhur yang bisa dikerjakan oleh wanita. Sesungguhnya, secara tidak sadar, ketika kita mengasuh anak, kita sedang memenuhkan identitas kita sebagai seorang wanita. Seorang wanita punya naluri alamiah untuk merawat, menyayangi anaknya. Oleh karena itu, sekarang, singkirkan rasa "kehilangan identitas" itu dari pikiran kita. Pikirkan saja, betapa ibu-ibu yang adalah wanita karier merasa iri ketika melihat kebersamaan kita yang hangat dengan anak kita, ketika kita bisa bercanda lepas dengan anak kita. Dan eits, jangan-jangan, mereka justru terkikis identitasnya sebagai ibu?

Kamis, 12 Juli 2012

Penelitian Psikologi : "Tak ada dampak negatif pada anak jika ibu bekerja"?


Mungkin Anda pernah mendengar bahwa penelitian Psikologi tentang ibu bekerja mendapati hasil bahwa tidak ada dampak negatif pada anak. Tentu saja ini membuat kita bertanya-tanya, kalau begitu, untuk apa kita repot-repot berkomitmen untuk mengasuh anak sendiri di rumah. 
Sesungguhnya, hingga saat ini, penelitian Psikologi mendapatkan hasil yang berbeda-beda, bahkan hasil penelitian saling berlawanan. Tidak mudah meneliti efek bekerjanya ibu hanya dengan cara membandingkan antara anak-anak yang tidak diasuh oleh ibunya karena ibu bekerja di luar rumah dengan anak-anak yang diasuh langsung oleh ibu di rumah, mengingat begitu banyak variabel yang turut mempengaruhi dan sulit untuk dikontrol. Dengan kata lain, bekerja atau tidak bekerjanya ibu (keberadaan ibu di rumah), tidak secara langsung memberikan dampak kepada anak (perkembangan kognitif, emosional, sosial, kepribadian anak), sebab banyak hal lain yang turut mempengaruhi. Variabel-variabel yang turut berpengaruh tersebut antara lain :
·    Bentuk pengasuhan/perawatan nonparental yang diterima anak (diasuh kerabat di rumah, diasuh babysitter di rumah, dititipkan di rumah orang lain, dititipkan di tempat penitipan anak, dan sebagainya)
·         Kualitas pengasuhan/perawatan nonparental
·         Lamanya waktu anak diasuh oleh orang lain
·         Situasi lingkungan tempat anak diasuh
·         Stimulasi kognitif yang diberikan kepada anak
·         Teknik pendisiplinan yang diterima anak
·         Kepribadian/temperamen ibu
·         Tingkat sensitivitas dan responsivitas ibu terhadap anak
·         Kualitas interaksi ibu dengan anak
·         Tingkat depresi ibu
·         Sikap ibu terhadap pekerjaan
·         Sikap ibu terhadap pengasuhan anak
·         Persepsi ibu terhadap kepribadian anak
·         Kepribadian/temperamen anak
(Sumber : Bee dan Boyd, 2007, h. 392-398)

Mengingat hal tersebut, tidaklah tepat kalau kita langsung menyimpulkan bahwa bekerjanya ibu di luar rumah tidak mengakibatkan dampak negatif pada anak. 
Peganglah keyakinan, bahwa jika kita mengasuh anak seoptimal mungkin, pengasuhan kita pasti lebih bagus dampaknya pada anak daripada pengasuhan yang bisa diberikan babysitter, atau tempat penitipan anak. Kita mempunyai kesempatan untuk memberikan pengasuhan terbaik. Bukankah tak ada orang yang lebih menyayangi anak kita daripada kita sendiri, ibunya?

Sumber pustaka :
Bee, H., Boyd, D., 2007. The Developing Child, eleventh edition. Boston : Allyn and Bacon.