Selasa, 04 September 2012

Sebalnya mesti bergantung ...

Ketika sedang bertengkar dengan suami, atau juga kerabat dari keluarga suami, kita sering menyesali keadaan kita yang bergantung pada suami, bergantung secara finansial. Kita sebal dengan keadaan kita yang bergantung, berangan-angan seandainya saja kita mampu untuk menafkahi diri kita dan anak kita sendiri, seandainya kita mampu hidup sendiri. Keadaan kita sekarang, membuat kita tak bisa melakukan apa-apa selain bergantung pada suami, setidaknya untuk sementara waktu ini. Kita masih punya anak-anak, yang harus kita rawat, sehingga tak bisa dengan begitu saja meninggalkannya untuk bekerja di luar. Yah, dengan berat hati kita mengakui, kita bergantung.
Beberapa waktu yang lalu, ketika saya bertengkar lagi dengan suami saya, saya kembali sebal dengan keadaan saya yang bergantung. Akan tetapi, tiba-tiba dalam hati saya, Tuhan seolah mengingatkan saya. Sungguh tidak tepat apabila saya berangan andai saja saya dan juga wanita-wanita lain bisa mandiri merawat dan menghidupi anak seorang diri. Adanya anak, adalah peran dari dua orang, suami dan istri. Tak mungkin seorang anak lahir hanya dari seorang ibu tanpa keterlibatan ayah. Dengan demikian, memang Tuhan menghendaki supaya suami dan istri bersama-sama merawat dan membesarkan anak. Anak adalah tanggung jawab bersama suami-istri, dan tak mungkin bisa tanggung jawab ini dilimpahkan pada satu orang saja. Satu orang saja tak akan sanggup menjalani tanggung jawab ini. Jadi, betapa sombong diri kita kalau kita menginginkan diri kita tidak bergantung. Suka atau tidak, kita harus mengakui bahwa kita adalah manusia yang terbatas, dan kita selalu membutuhkan orang lain, bergantung kepada orang lain. Terima kasih Tuhan, Kau telah mengingatkan aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar