Sabtu, 30 Maret 2013

Ibu Rumah Tangga Lebih Depresi?

Yah, satu lagi berita yang menambah buruk citra peran ibu rumah tangga adalah hasil penelitian yang mengungkap bahwa ibu rumah tangga lebih sering mengalami depresi daripada ibu bekerja. Benarkah ini?
Hasil penelitian memang tidak berkata bohong. Akan tetapi, dalam membaca berita-berita tentang hasil penelitian, kita harus cermat. Begitu pula saat kita membaca hasil penelitian yang menyebutkan bahwa ibu rumah tangga lebih cenderung mengalami emosi negatif dibandingkan ibu pekerja. Yang perlu diperhatikan, di antaranya adalah :

Apakah kita telah membaca berbagai hasil penelitian, ataukah hasil penelitian yang kita baca di media-media itu sebenarnya adalah hasil dari satu penelitian saja? Sebagai contoh, saya sebutkan bahwa hasil penelitian yang mendapatkan hasil bahwa ibu rumah tangga lebih depresi dibanding ibu bekerja diliput dalam situs-situs berikut:

  • http://nusaresearch.net/public/news/92-Ibu_Rumah_Tangga_Lebih_Depresi_Daripada_Wanita_Bekerja,_Benarkah?.nsrs
  • http://wolipop.detik.com/read/2013/01/29/121819/2155074/857/ibu-rumah-tangga-lebih-depresi-daripada-wanita-bekerja-benarkah
  • http://health.liputan6.com/read/404406/studi-ibu-rumah-tangga-cenderung-mudah-depresi
  • http://life.viva.co.id/news/read/316215-stress-mana--menjadi-ibu-atau-wanita-karir-

Ternyata, dari keempat berita di atas, semuanya bersumber dari satu buah penelitian yang sama. Anda bisa coba mengeceknya.

Bagaimana dengan subjeknya? Siapakah ibu-ibu yang diteliti tersebut? Apakah mereka adalah ibu dengan anak yang masih kecil, atau ibu dengan anak yang sudah besar? Umumnya, penelitian yang membandingkan kondisi psikologis antara ibu rumah tangga dengan ibu bekerja dikenakan pada ibu-ibu yang baru saja melahirkan dan ibu-ibu yang anaknya masih berusia balita. Berikut adalah hasil penelitian yang diulas dalam
http://health.kompas.com/read/2011/12/14/18174228/Ibu.Rumah.Tangga.Lebih.Mudah.Depresi

Para peneliti dari University of North Carolina menganalisis 1.364  ibu yang baru melahirkan, dan mengikuti perkembangan dalam keluarga tersebut dalam waktu 10 tahun terakhir. Penemuan ini dipublikasikan dalam Journal of Family Psychology yang diterbitkan oleh American Psychological Association.Dalam kasus kesejahteraan, ibu bekerja memiliki tingkat kesehatan yang lebih baik secara keseluruhan, dan gejala depresi yang lebih rendah dibanding ibu rumah tangga. 


Bukankah kita semua tahu, bahwa kondisi emosi negatif, termasuk depresi, wajar sekali jika dialami oleh ibu yang mengasuh anak berusia balita. Faktor pertama adalah karena saat itu ibu baru mengalami masa penyesuaian, pergantian dari peran sebagai pekerja menjadi peran sebagai pengasuh anak. Faktor kedua, anak balita (termasuk bayi), memang lebih menyita tenaga saat kita merawat mereka. Tidak hanya karena mereka belum bisa apa-apa sehingga membutuhkan bantuan kita nyaris 100 persen dalam memenuhi kebutuhan mereka, tetapi juga karena kita harus lebih waspada menjaga mereka dari bahaya. Kita sebagai pengasuhnya, baru bisa beristirahat manakala mereka tertidur. Beda sekali dengan keadaan jika anak kita sudah besar, di mana mereka sudah bersekolah dan sudah lebih mandiri. Saat itu, kita lebih punya waktu untuk diri sendiri. Jadi, bisakah kita membayangkan bagaimana hasilnya jika penelitian dilakukan pada ibu-ibu yang anaknya sudah berusia lebih besar? Saya justru yakin, hasil penelitian akan berbalik. Bukankah ibu rumah tangga baru menikmati hasil jerih payahnya ketika anak sudah besar? Tidakkah saat itu ibu rumah tangga merasa lebih bahagia melihat anak-anaknya yang berkepribadian baik, hasil didikannya?
Di sini, yang ingin saya katakan sebetulnya adalah, bahwa kita tidak perlu jadi merasa malang mendengar berita-berita tersebut. Kita harus kritis membaca berita-berita tersebut. Dan yang tak kalah penting, kita harus menyadari, bahwa bagaimana pun juga, berita kadang bermuatan politik, dalam arti, orang yang menggembar-gemborkan berita tersebut kadangkala mempunyai tujuan yang subjektif, misalnya saja sekelompok kaum pengusung feminisme, yang ingin agar lebih banyak wanita memilih karir. Oya, bukankah yang lebih keras suaranya di media adalah wanita-wanita karir (psikolog, dokter)? Saya rasa, ibu rumah tangga nyaris tak terdengar suaranya, karena mereka terlalu sibuk mengurus anak di rumah, dan juga karena mereka bukan 'orang-orang penting' yang dekat dengan media.

3 komentar:

  1. Jaman skarang saya merasa seperti seolah2 ada kesengajaan supaya ibu-ibu dibuat jauh/terenggut dari anak2nya.. Mereka menganggap itu moderenisasi, tapi saya merasa itu smacam konspirasi agar anak2 kita tidak terawasi oleh orang tua mreka.. Dng bgitu lbh mudah untuk di bentuk zaman.. Yg makin lama makin menggila

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya, sy curiga justru pengusung feminisme gerakan ibu2 berkarir adalah ibu2 yg mempunyai perasaan bersalah krn tidak memberikan waktu terbaik untuk mengasuh anak2nya.. Bukankah mereka yg berkata bhw yg penting adalah kualitas waktu bukan kuantitas adalah para ahli yg berkarir? Sampai sekarang, sy sulit menemukan ahli wanita yg mendukung ibu full-time. Yg saya temukan, adalah Stanley I. Greenspan, Steve Biddulph, Steve Chalke. Kebetulan semuanya adalah pria :)

      Hapus