Minggu, 21 April 2013

WAKTU : Kualitas atau Kuantitas?

Terkait soal pengasuhan, yang sering dibahas psikologi adalah memberikan waktu secara berkualitas untuk anak. Kemudian, dari sini, berkembang anggapan dalam masyarakat, bahwa waktu yang jumlahnya sedikit namun berkualitas, bisa memenuhi kebutuhan anak, atau dengan kata lain, karena yang penting adalah kualitas, maka kuantitasnya seberapa pun tidak jadi soal. Selain itu, cukup banyak pula psikolog yang meyakinkan para ibu pekerja, bahwa masalah tidak akan timbul asalkan mereka meluangkan waktu secara berkualitas sepulang dari kerja. Di sini, saya ingin memperjelas topik ini, karena saya pun pernah mendapat pertanyaan terkait hal ini.
Anak memang membutuhkan 'waktu yang berkualitas', dalam arti, waktu yang dihabiskan bersama orangtuanya dengan interaksi yang berkualitas. Tidak sekedar berada di tempat yang sama dengan orangtuanya, tapi juga berinteraksi, berkomunikasi (verbal dan nonverbal), bertukar emosi dengan orangtua. Anak sangat bahagia ketika ia diajak bicara, diajak bercanda oleh orangtuanya, dan bermain bersama orangtuanya. Di situ ia merasa disayangi, dan merasa diperlakukan sebagai individu yang berharga di mata orangtuanya.
Tapi, permasalahannya, apakah waktu berkualitas yang sedikit jumlahnya, cukup bagi anak? Waktu berkualitas yang sedikit jumlahnya, memang mampu membuat anak bahagia saat itu, akan tetapi, bagaimana dengan saat-saat di luar 'waktu berkualitas' tersebut, yang jumlahnya justru lebih banyak? Apakah pada saat itu kebutuhan anak terpenuhi, dan anak juga menerima perlakuan yang baik?
Saya yakin, semua pasti setuju, bahwa kita makan sehari tiga kali, dan ini tidak bisa digantikan dengan makan sekali saja tapi dengan 3 porsi. Entah tepat atau tidak, tapi saya mengasosiasikan waktu berkualitas ini seperti halnya soal makan. Anak mempunyai kebutuhan sepanjang hari, dan ia butuh dipenuhi kebutuhannya pada saat-saat tersebut. Tidak bisa kalau kebutuhannya ini ditunda. Saat ia lapar, harus segera diberi makan; saat ia mengantuk, harus segera dininabobokkan; saat ia bad mood, harus segera dipeluk, digendong atau dihibur; saat ia basah, harus segera diganti pakaiannya; saat ia kotor, harus segera dibersihkan; saat ia mengalami kecelakaan, harus segera ditolong; saat ia kedinginan, harus segera dihangatkan, dan lain sebagainya. Pengasuhan anak tidak sama dengan tugas pekerjaan yang bisa dilembur. 
Dalam dunia psikologi perkembangan anak, dikenal istilah secure attachment. Sangat amat diharapkan bahwa pada masa-masa awal kehidupan anak, terbentuk secure attachment. Secure attachment ini adalah rasa aman dan kepercayaan yang dirasakan anak terhadap objek lekatnya (pengasuh). Secure attachment ini kelak berpengaruh besar pada kemampuan anak membentuk relasi intim dengan orang lain (intimacy). Nah, bahan dasar terbentuknya secure attachment ini adalah pengalaman dipenuhinya kebutuhan anak oleh figur pengasuhnya. Jadi, anak yang dipenuhi kebutuhannya oleh seorang pengasuh yang sensitif dan responsif, akan berhasil mengembangkan secure attachment. Kalau demikian, mampukah waktu berkualitas yang sedikit jumlahnya menghasilkan secure attachment? Tentu saja tidak. Secure attachment tidak terbentuk dalam waktu yang singkat. Secure attachment terbentuk dari proses, dari waktu anak bangun tidur, sampai ia bangun lagi di hari berikutnya, 24 jam sehari selama tahun-tahun pertama kehidupan anak.
Hampir serupa dengan itu, begitu pula konsep diri dan harga diri anak. Pembentukan konsep diri anak adalah sebuah proses, yaitu bagaimana anak diperlakukan setiap saat, dan bukannya bagaimana anak diperlakukan beberapa jam tiap harinya. Anak yang tiap malam dicium-cium dan dipeluk-peluk, namun ketika siang hari diabaikan, bahkan dimarah-marahi dan dibentak-bentak, tentu saja tidak mengembangkan konsep diri positif semaksimal anak yang setiap harinya pagi-siang-sore-malam diperlakukan penuh kasih.  
Berikutnya, kedalaman relasi ibu-anak. Agar anak bisa mempunyai relasi yang dekat dengan ibu, anak butuh mengalami kebersamaan dengan ibu, interaksi yang berkualitas, dan lagi-lagi, ini juga membutuhkan jumlah waktu yang banyak pula. Kita dekat dengan seseorang, itu hasil dari sebuah proses, yaitu kebiasaan kita bersama dengan orang tersebut. Semakin sering kita bersama orang tersebut, semakin banyak interaksi yang terjadi dan semakin baik kita mengenal orang tersebut. Kita bisa menengok, dengan siapakah kita paling dekat. Pasti orang tersebut adalah orang yang dengannya kita sering bersama. Kita yang sehari-hari bersama anak kita, bisa membandingkan bagaimana relasi anak kita dengan kita (ibunya), dan bagaimana relasi anak dengan ayahnya. Mengapa anak kita lebih dekat pada kita daripada kepada ayahnya? Jawabannya tak lain adalah karena kita lah yang lebih banyak menghabiskan waktu dengannya.
Saya sama sekali tidak mengatakan bahwa anak yang menghabiskan waktu beberapa jam saja bersama ibunya (karena ditinggal ibunya bekerja) akan gagal membentuk secure attachment ataupun gagal membentuk konsep diri yang positif. Tidak berarti demikian. Dalam kasus ibu hanya bisa menghabiskan waktu beberapa jam saja bersama anak, perkembangan anak menjadi tergantung juga pada sosok pengasuh yang menggantikan ibu selama ibu tidak berada bersama anak. Apabila pengasuh tersebut mampu memenuhi kebutuhan anak, dan memperlakukan anak dengan baik, maka anak pun bisa membentuk secure attachment dan konsep diri positif. Ibu harus memahami bahwa kunci perkembangan anak tidak lagi terletak pada dirinya saja. Jadi, dalam hal ini, tugas ibu adalah memastikan bahwa ketika orang lain menggantikan dirinya mengasuh anak, orang tersebut adalah seorang yang mampu mengayomi anak dengan baik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar