Minggu, 04 Agustus 2013

Anak dan Materialisme

Menjalani peran ibu rumah tangga, bagi kita itu berarti tiap hari kita mesti berjuang mematikan nafsu kita untuk memupuk harta atau kekayaan materi. Kita belajar untuk memalingkan tujuan hidup kita bukan ke arah kemakmuran finansial, melainkan ke arah nilai-nilai lain dalam hidup ini. Tentu saja bukan sebuah perjuangan yang mudah, mengingat uang adalah sarana untuk mencapai kenyamanan hidup di dunia ini. Dan perjuangan pun semakin berat karena dunia tempat tinggal kita ini semakin hari semakin materialistis, mengagungkan kesejahteraan ekonomi di atas segalanya.
Apa ada yang salah dengan sifat materialistis? Kesadaran akan pentingnya benda-benda sebagai pemberi kenyamanan hidup bukan hal yang salah. Akan tetapi, yang kurang tepat adalah ketika benda dipandang sebagai sumber kebahagiaan yang utama. Kita semua tahu ada hal-hal lain yang lebih penting daripada sekedar materi yang dapat memberikan kebahagiaan. Dan karenanya, kita tidak ingin sifat materialistis itu menguasai diri kita, begitu pula anak-anak kita.
Ada sebuah hasil penelitian menarik mengenai dampak pada anak apabila orangtua mencukupi kebutuhan anak akan kasih sayang dan dukungan emosional, yaitu anak menjadi lebih tahan terhadap dorongan materialisme. Sementara ketika orangtua gagal mencukupi kebutuhan anak akan kasih sayang dan dukungan emosional, anak lebih rentan terpengaruh materialisme.
Sebuah penelitian yang dipimpin oleh Suzanna Opree dengan subjek anak usia 8-10 tahun mendapati hasil bahwa anak-anak yang kurang bahagia menghabiskan waktu di depan televisi hampir sama dengan anak-anak yang bahagia. Akan tetapi, anak-anak yang kurang bahagia ini lebih terpengaruh oleh iklan televisi yang menjadikan mereka lebih bersifat materialistis, yaitu lebih asyik dengan benda-benda dan percaya bahwa benda bisa memberikan kebahagiaan dan kesuksesan. (Sumber : http://health.usnews.com/health-news/news/articles/2012/08/21/unhappy-kids-are-more-materialistic-study-finds )
Senada dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh Chaplin, Lan Nguyen, John, dan Deborah Roedder dengan subjek remaja usia belasan tahun menunjukkan bahwa semakin orangtua suportif (memberikan dukungan emosional kepada anak), anak mereka semakin cenderung tidak materialistis. Alasannya adalah karena orangtua yang bersikap suportif kepada anaknya membuat anaknya mengembangkan harga diri lebih tinggi (mempunyai perasaan berharga) -sementara sifat materialistis dilatarbelakangi oleh harga diri yang rendah (self-esteem yang rendah). Semakin anak merasa berharga (mempunyai self-esteem tinggi), semakin dia tidak memandang bahwa kepemilikan barang akan membawa kebahagiaan dan perasaan berharga. Sebaliknya, anak-anak yang merasa tidak berharga, akan cenderung berusaha memiliki barang-barang dalam rangka membuat hidupnya bahagia dan untuk membuat dirinya merasa berharga. Sebagai tambahan, para peneliti juga menemukan bahwa semakin orangtua bersifat materialistis, anak-anak mereka mempunyai harga diri yang semakin rendah.
(Sumber : http://tweenparenting.about.com/od/behaviordiscipline/a/Materialistic-Children.htm )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar