Rabu, 21 Agustus 2013

Makna di Balik Pekerjaan Sederhana

Tiga orang tukang bangunan sedang bekerja pada sebuah proyek. Mereka yang sedang menyusun batu-batu bata dengan semen ditanya oleh seorang anak kecil yang lewat, "Apa yang sedang Bapak lakukan?" Berikut adalah jawaban mereka.
Tukang 1 : "Bapak sedang menumpuk batu-batu bata ini."
Tukang 2 : "Bapak sedang mencari uang."
Tukang 3 : "Bapak sedang membangun sebuah rumah, di mana nanti rumah ini akan menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi pemiliknya, tempat mereka beristirahat dan melepas lelah."

Apa beda ketiga jawaban tersebut? Semua jawaban benar. Akan tetapi, masing-masing jawaban mencerminkan bagaimana tukang bangunan itu menyikapi dan memandang pekerjaannya. Tukang 1 hanya melihat pekerjaannya sebagai sebuah rutinitas. Tukang 2 melihat pekerjaannya secara pragmatis, yaitu sebagai sebuah cara menghasilkan uang. Sementara tukang 3, sungguh-sungguh menjalani pekerjaannya dengan sebuah visi. Tentu kita tahu bahwa visi semacam itu jelas menjadikan tukang tersebut lebih termotivasi dan bergembira dalam menjalani pekerjaannya dibandingkan dengan kedua tukang yang lain.

Hal serupa kita alami dalam menjalani peran kita sebagai ibu rumah tangga. Pekerjaan yang sehari-hari kita lakukan nampak sebagai tugas-tugas yang sepele. Menanak nasi, mengupas bawang, memetik sayur, memasak, mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu, memandikan anak, menyuapi anak, membereskan mainan anak, merapikan barang-barang yang diberantakkan anak, mengelap air minum yang ditumpahkan anak, mengelem mainan anak yang patah, mendorong anak berayun di ayunan, menemani main boneka, menemani anak jalan-jalan melihat sungai dan bebek... bukankah semuanya tugas yang sepele? Begitu sepele sampai kita pun sering berpikir, "Bukankah semua itu sebenarnya cukup dikerjakan oleh seorang pembantu saja?" atau, "Adakah bedanya, jika itu aku kerjakan sendiri, dan jika itu dikerjakan oleh pembantu?" Sulit bagi kita untuk selalu menyadari bahwa lewat tugas-tugas sepele itu lah kita sedang mengerjakan sebuah tugas besar, yaitu mendidik dan membentuk pribadi anak kita.
Sama seperti seorang tukang bangunan yang memulai pekerjaan membangun sebuah rumah hanya dari aktivitas mengayak pasir, mencampur semen, menata batu bata satu demi satu, atau seorang penyulam yang membuat suatu sulaman nan indah dengan cara menjahitkan benang helai demi helai, kita sedang mengerjakan sebuah proyek pembentukan pribadi lewat aktivitas-aktivitas sederhana yang terjadi saat memelihara, mendampingi, dan mengayomi anak. Tak ada jalan lain. Itulah jalan yang mesti ditempuh. Kenyataannya, lewat semua yang nampak sederhana itulah terjadi sebuah proses. Anak kita tidak berkembang secara tiba-tiba, dan proses perkembangannya sebagai seorang individu bukan merupakan sesuatu yang instan. Stanley I. Greenspan menyatakan, bahwa interaksi emosional yang terjadi sehari-hari antara ibu dan anak itulah yang sesungguhnya merupakan proses pembentukan diri anak, baik segi emosional, moral maupun intelektual dan kreativitasnya. Jadi, marilah mulai dari sekarang, kita selalu memandang ke depan, meyakini bahwa hal-hal sederhana dan sepele yang nampak tak berarti ini sesungguhnya adalah langkah-langkah, tapak-tapak menuju apa yang kita harapkan. Sekarang, kalau pertanyaan seperti di atas kita lontarkan pada diri kita, "Apa yang sedang kulakukan?" kita akan jawab, "Aku sedang mendampingi anakku, mengayomi keluargaku, melingkupi mereka dengan cinta kasih, agar mereka bahagia. Aku sedang merajut relasi yang baik dengan anak-anakku, supaya aku bisa mengarahkan dan mendidik mereka menjadi pribadi yang baik." 

2 komentar:

  1. Henny..thank u bgt..ngebuka mataku..g sabar mo nglakuin dgn cara baru bsk pagi..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sip, Ros... hehehe... memang kita harus inget terus visi kita ya... ;)

      Hapus