Kamis, 19 Juli 2012

Jadi, apa buktinya?

Selagi jumlah penelitian di Indonesia tentang dampak ibu bekerja pada anak masih sedikit, kita sendiri perlu berpikir kritis terhadap pendapat-pendapat ahli yang bilang bahwa ibu bekerja tak membawa efek negatif untuk anak.
Secara sederhana, kita bisa bertanya demikian, "Mengapa kita cenderung lebih sayang kepada ibu daripada ayah? Bukankah ayah juga sayang pada kita, dia mencari uang untuk hidup kita?" Saya kira, jawaban dari pertanyaan itu adalah karena ibu lah yang lebih banyak bersama kita. Ayah lebih jarang kita temui, karena kesehariannya, dia ada di tempat kerjanya. Hal serupa dikatakan Steve Chalke, dalam bukunya "Orangtua Karier", yang diterbitkan oleh Andi. Dia mengatakan bahwa "Anak mengukur kasih dengan waktu." Jadi, anak merasa bahwa cinta kita terhadap dia besar atau kecil itu tergantung dari jumlah waktu yang kita berikan untuk bersama dengannya. 

Ada satu teman saya, juga memilih untuk jadi ibu rumah tangga agar bisa mengasuh sendiri anaknya, menceritakan alasannya mengapa ia memilih peran ini. Dengan jujur ia bilang bahwa tidak ingin seperti mamanya, yang karena adalah wanita karier, kalah dekat dengan anaknya dibanding pembantunya. Pengalaman pribadinya, waktu kecil, ia tak peduli kalau mamanya pergi. Tapi, kalau pembantunya pulang kampung, ia menangis.

Memang aneh, beberapa teman saya yang memilih peran ibu rumah tangga ini justru merupakan anak dari wanita karier. Setidaknya, sampai saat ini, ada 4 orang teman saya yang secara sukarela memilih tinggal di rumah mengurus anak, berasal dari keluarga dengan ibu berkarier di kantor.

Baru saja saya juga menanyakan kepada teman saya yang mengajar di sebuah SMA. Dia sudah mengajar selama 5 tahun. Saya minta dia menceritakan pengamatannya, ada/tidak perbedaan kepribadian antara murid yang ibunya mengasuh di rumah dengan yang ibunya berkarier di kantor. Saya sengaja bertanya kepada dia karena dia adalah guru muda, putri, yang belum menikah, jadi saya kira dia tidak akan bias dalam menilai (dibanding dengan guru yang sudah menjadi ibu). Ternyata, dia berkata memang ada perbedaannya, terutama pada anak-anak yang sangat dia kenal, yaitu murid lesnya. Anak yang ibunya di rumah, lebih terurus. Mereka bersikap lebih hangat secara interpersonal, tidak cuek, dan tidak jadi trouble maker di kelas. Sementara anak-anak yang ibunya tidak hadir secara intens di rumah, kurang terpelihara. Mereka menjadi kurang peduli dengan lingkungan, di kelas menjadi trouble maker. Selain itu, karena cenderung hanya dimanjakan dengan uang, mereka juga kurang mempunyai daya juang. Teman saya menambahkan, memang ada perkecualian. Ada muridnya yang ibunya bekerja, tapi tetap baik, sebabnya adalah karena dia diasuh oleh sanak keluarganya (nenek) yang mengasuh dengan baik dan bisa bersikap tegas terhadapnya, sehingga anak tersebut menemukan sosok pengganti ibunya.

Saya sendiri, tidak mentah-mentah percaya kepada ahli-ahli yang berkata dengan gampang bahwa ibu bekerja di kantor pun tak membawa dampak negatif pada anak. Bukankah mereka yang bilang adalah psikolog atau dokter yang juga adalah wanita karier? Tidakkah karir mereka, sama halnya dengan keyakinan pribadi mereka, sangat mungkin membuat mereka bias dalam menilai? Jadi, percayalah pada apa yang kita yakini, bahwa kita hanya bisa memberikan yang terbaik kepada anak hanya dengan berada di samping mereka sebanyak waktu yang kita miliki.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar