Kamis, 19 Juli 2012

Sebuah Keanehan

Berdasarkan pengalaman pribadi, hasil mengamati, dan juga hasil wawancara dengan beberapa teman, saya mendapati bahwa wanita yang mempunyai ibu kandung seorang ibu rumah tangga, didorong oleh ibu mereka untuk terus berkarier. Sedangkan beberapa teman wanita saya yang ibu kandungnya adalah wanita karier yang bekerja di kantor, justru memutuskan untuk tetap tinggal di rumah mengurus anak. Aneh, bukan? Ibu saya sendiri, juga sering mewanti-wanti saya dengan pesan antara lain seperti berikut, bahwa wanita harus pandai mencari uang sendiri, tidak bergantung pada suami, suami nanti bisa capek dan bosan kalau istrinya tidak menghasilkan uang, keluarga suamimu bakal merendahkan kamu kalau kamu hanya bergantung pada suami. Pertanyaannya, mengapa para ibu rumah tangga, yang sudah menjalani peran ini bertahun-tahun, justru tidak mendukung anak mereka untuk mengambil peran ibu rumah tangga, dan justru terkesan menakut-nakuti dengan membeberkan tantangan dan kesulitan-kesulitan ibu rumah tangga? Saya kemudian berpikir, ini semua disebabkan karena mereka merasa tidak puas dengan perannya sebagai ibu rumah tangga, dan selalu melihat bahwa ibu-ibu yang berkarier, mempunyai situasi yang lebih baik daripada mereka.    Mereka sering lupa menyadari, betapa usaha keras mereka membesarkan, mengasuh, mendidik kita, dengan cara selalu hadir di sisi kita, telah membuahkan hasil yang luar biasa besar. (Saya selalu sadar, bahwa saya tak mungkin jadi seperti ini, seorang yang berkepribadian baik (hehe), jika ibu saya tidak menjalani peran ibu rumah tangga secara fulltime). Para ibu rumah tangga, sering gagal menyadari betapa berharganya peran yang mereka jalani selama ini. Mereka tidak sadar bahwa diri mereka telah teracuni oleh cara pandang umum di masyarakat yang berusaha menciptakan kesan wanita karier sebagai wanita high class yang lebih keren. Memang wajar jika mereka, para ibu kita yang belum pernah merasakan pengalaman bekerja di kantor, merasa lebih rendah dibandingkan teman-temannya yang bekerja di kantor, karena mereka berpikir pekerjaan kantor lebih sulit (padahal, kenyataannya sama sekali tidak, kan?). Faktor lain yang saya duga membuat mereka tidak puas terhadap peran ibu rumah tangga adalah karena sebagian dari mereka mengalami kekecewaan terhadap suami mereka sendiri. Mereka menganggap bahwa penyebab suami mereka berperilaku mengecewakan adalah karena mereka, istrinya, tidak mempunyai penghasilan apa-apa dan hanya bergantung pada suami sehingga membuat suami bosan. Sebuah cara pandang yang subjektif, karena kita tahu, bahwa entah istri bekerja atau di rumah mengurus anak, sebenarnya tidak akan menentukan baik-buruknya perilaku suami, bahwa suami bisa saja bosan juga kalau istrinya bekerja, sama saja bisa selingkuh entah istrinya bekerja atau di rumah. Di atas semua itu, yang membuat ibu kita tidak ingin kita mengikuti jejaknya adalah keyakinan mereka bahwa hidup kita lebih mudah jika berkarier. Bukankah ibu selalu menginginkan yang terbaik bagi anaknya? Ibu kita tidak ingin kita hidup menderita, merasakan susahnya perjuangan seorang ibu rumah tangga. Dia ingin kita memilih jalan yang lebih enak, lebih mudah, namun sayangnya, lupa memperhitungkan apa yang mungkin terjadi 15 tahun kemudian pada cucu mereka jika kita meninggalkan rumah untuk bekerja di kantor.
Akhirnya, keputusan harus kita ambil sendiri. Boleh-boleh saja orang lain memberikan masukan, akan tetapi, lakukan apa yang kita yakini sebagai hal yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar